Rencana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang saat ini sedang dibahas di DPR menjadi perhatian serius bagi banyak kalangan, terutama mereka yang memahami pentingnya prinsip desentralisasi dalam tata kelola pemerintahan Indonesia.
Salah satu pasal dalam draf revisi yang menimbulkan kekhawatiran adalah rencana pemberian kewenangan penuh kepada Presiden untuk mengangkat, memutasi, dan memberhentikan pejabat pimpinan tinggi pratama dan madya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Jika rencana ini diterapkan, maka kewenangan strategis yang sebelumnya berada di tangan kepala daerah akan ditarik kembali ke pusat. Hal ini berpotensi mencederai semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan sejak masa reformasi.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin prinsip otonomi daerah dapat diwujudkan jika kepala daerah tidak lagi memiliki kendali atas penunjukan pejabat strategis di wilayahnya? Kepala daerah akan kesulitan menjalankan program-program prioritas jika tidak memiliki wewenang untuk memilih mitra kerja birokrasi yang sejalan dengan visi mereka. Padahal, kepala dinas dan pejabat birokrasi strategis merupakan aktor kunci dalam pelaksanaan pelayanan publik di daerah.
Lebih jauh, ketentuan ini juga menimbulkan potensi hilangnya akuntabilitas. Bila pejabat daerah diangkat oleh pusat, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban bila kinerjanya buruk? Kepala daerah tidak akan memiliki kendali terhadap pejabat tersebut, namun tetap harus menanggung dampak kegagalan pelayanan publik. Ini merupakan bentuk pemisahan tanggung jawab yang tidak adil dan dapat merusak sistem pengawasan yang selama ini dibangun di daerah.
Tak hanya itu, konflik antara pemerintah pusat dan daerah sangat mungkin terjadi. Ketika pejabat yang ditunjuk oleh pusat tidak memahami konteks sosial, budaya, maupun kebutuhan masyarakat lokal, kebijakan yang diambil cenderung tidak tepat sasaran.
Akibatnya, proses pengambilan keputusan menjadi lambat, komunikasi tersendat, dan pelayanan publik terganggu. Sentralisasi justru berisiko menciptakan birokrasi yang kaku, tertutup, dan jauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Kritik terhadap revisi UU ASN ini semakin menguat karena hingga kini, aturan pelaksana dari revisi UU ASN tahun 2023 sebelumnya belum juga ditetapkan, padahal seharusnya sudah selesai paling lambat enam bulan setelah undang-undang tersebut disahkan.
Ketidakjelasan ini menimbulkan kebingungan dalam pengelolaan aparatur sipil negara. Setelah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibubarkan, fungsi pengawasan ASN kini berada di tangan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun, penggabungan fungsi pengawasan dan pelaksana manajemen ASN dalam satu lembaga membuka peluang konflik kepentingan yang serius.
Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada 2024 menjadi bukti nyata lemahnya sistem pengawasan saat ini. Sebanyak 24 daerah tercatat harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), dan keterlibatan ASN dalam politik praktis menjadi salah satu penyebabnya.
Hal ini seharusnya menjadi peringatan bahwa yang dibutuhkan bukanlah penarikan wewenang ke pusat, tetapi perbaikan sistem yang sudah ada, termasuk penguatan regulasi dan kelembagaan pengawasan.
Memang benar bahwa secara prinsip, kewenangan pengangkatan ASN berasal dari Presiden. Namun, dalam sistem pemerintahan yang menganut desentralisasi, kewenangan itu semestinya didelegasikan secara nyata kepada daerah. Delegasi ini tidak boleh hanya bersifat administratif atau simbolik, melainkan harus disertai dengan tanggung jawab dan kepercayaan terhadap kapasitas daerah dalam mengelola urusannya sendiri.
Karena itu, pertanyaan utama yang harus dijawab oleh pembuat kebijakan adalah: apakah revisi UU ASN ini akan menyelesaikan persoalan yang ada, atau justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks?
Jangan sampai upaya perbaikan birokrasi malah berujung pada kemunduran demokrasi lokal dan melemahkan peran daerah dalam sistem pemerintahan nasional. Reformasi birokrasi memang penting, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara yang merusak prinsip-prinsip dasar bernegara sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945.





