Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada 25 April 2025 yang menyatakan bahwa empat pulau—Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, sontak memicu reaksi keras dari masyarakat Aceh.
Keputusan tersebut bukan hanya menyangkut persoalan teknis garis batas wilayah administratif semata, tetapi telah menyentuh aspek yang jauh lebih dalam: harga diri, sejarah, dan identitas kultural masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh merasa bahwa kebijakan ini diambil secara sepihak dan minim transparansi. Lebih dari itu, keputusan ini tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang secara langsung terdampak.
Dalam konteks negara demokrasi, keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan bukanlah bonus tambahan, melainkan hak fundamental yang wajib dihormati.
Secara historis dan kultural, keempat pulau tersebut telah sejak lama menjadi bagian integral dari wilayah Aceh. Nelayan dari berbagai daerah di Aceh—mulai dari Aceh Selatan hingga Aceh Tamiang—telah memanfaatkan sumber daya alam di wilayah ini jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Bahkan, peta kolonial Belanda dan dokumen pascakemerdekaan memperkuat klaim tersebut.
Hubungan masyarakat pesisir Aceh dengan pulau-pulau ini bersifat turun-temurun dan kultural. Bukan sekadar persinggahan sementara, tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan sosial-ekonomi mereka sehari-hari.
Dalam perspektif hukum, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara—yang hingga kini belum pernah dicabut—seharusnya menjadi acuan kuat dalam menentukan batas administratif wilayah.
Selain itu, dokumen lain seperti SK Agraria tahun 1965 dan Peta TNI tahun 1978 juga menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh.
Tak kalah penting, bukti administratif berupa pembayaran pajak oleh warga setempat kepada Pemerintah Aceh selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa Aceh secara de facto mengelola dan bertanggung jawab atas wilayah tersebut.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah pusat yang tiba-tiba mengalihkan wilayah tersebut ke provinsi lain tanpa evaluasi historis dan administratif yang menyeluruh sangat layak dipertanyakan legalitas dan keadilannya.
Permendagri No. 141 Tahun 2017 secara tegas menyebutkan bahwa penentuan batas wilayah harus melalui proses musyawarah, kajian historis, serta klarifikasi dokumen. Namun, apakah prosedur ini telah dijalankan sebagaimana mestinya? Apakah masyarakat adat dan tokoh lokal telah dilibatkan dalam diskusi kebijakan? Bila jawabannya adalah tidak, maka legitimasi keputusan tersebut menjadi lemah.
Dalam sistem demokrasi Pancasila, musyawarah bukan hanya formalitas, melainkan substansi dari tata kelola negara yang menghormati hak dan martabat masyarakat lokal. Melewatkan partisipasi publik dalam kebijakan yang menyangkut tanah kelahiran mereka adalah bentuk perampasan suara rakyat.
Keputusan administratif ini juga mencederai aspek identitas masyarakat. Warga yang mendiami dan menggantungkan hidup pada pulau-pulau tersebut merupakan penutur bahasa Aceh, dengan budaya dan tradisi yang melekat erat pada identitas pesisir Aceh. Menempatkan mereka tiba-tiba sebagai bagian dari Sumatera Utara bukan saja menciptakan alienasi, tetapi juga potensi konflik sosial.
Identitas bukanlah benda yang dapat dipindahkan begitu saja lewat surat keputusan. Jika negara abai terhadap aspek sosiokultural dalam setiap kebijakan, maka kebijakan itu berpotensi menjadi pemicu disintegrasi. Dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, perlakuan semacam ini bisa menciptakan luka sosial yang sulit disembuhkan.
Tak sedikit masyarakat yang mencurigai bahwa keputusan ini erat kaitannya dengan kepentingan terhadap sumber daya alam. Disebut-sebut bahwa kawasan perairan di sekitar pulau-pulau tersebut menyimpan potensi cadangan minyak dan gas bumi yang besar. Jika benar, maka publik memiliki alasan kuat untuk mempertanyakan apakah keputusan ini murni pertimbangan administratif, atau ada motivasi ekonomi dan politik di baliknya.
Mengingat sejarah panjang hubungan yang kerap menegang antara Aceh dan pemerintah pusat, keputusan yang tidak terbuka dapat memperdalam ketidakpercayaan.
Sejarah mengajarkan bahwa ketidakadilan struktural bisa memicu resistensi yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menanggapi masalah ini dengan pendekatan yang adil dan transparan.
Menyikapi sengketa semacam ini, penyelesaian tidak bisa dilakukan secara sepihak. Negara harus membentuk tim independen yang terdiri dari ahli hukum, sejarawan, dan perwakilan masyarakat adat untuk meninjau ulang kebijakan yang menimbulkan polemik ini.
Bahkan, jika perlu, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dapat dimintai tafsir hukum untuk memastikan bahwa keputusan diambil dalam koridor keadilan dan supremasi hukum.
Pemerintah tidak boleh membiarkan hukum tunduk pada kepentingan jangka pendek. Jika ruang keadilan tidak diberikan, masyarakat akan mencari jalan sendiri, yang bisa berujung pada konflik horizontal atau bahkan ketegangan antar daerah.
Presiden Prabowo akhirnya menegaskan bahwa keempat pulau tersebut tetap menjadi bagian dari wilayah Aceh. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, pada 17 Juni 2025 di Istana Negara, setelah melalui kajian administratif dan mendengar berbagai masukan.
Keputusan ini memberikan kelegaan bagi masyarakat Aceh dan menjadi bukti bahwa koreksi kebijakan masih memungkinkan ketika negara mau mendengar.
Namun, ini sekaligus menjadi peringatan keras bahwa proses pengambilan kebijakan harus berhati-hati, inklusif, dan berbasis pada data historis, hukum, dan sosial budaya yang valid.
Negara yang kuat bukan ditentukan oleh kekuasaan administratif semata, tetapi oleh kemampuannya menjaga keadilan, kesetaraan, dan kehormatan tiap daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.





