Sengketa lahan di Pulau Rempang mencerminkan tarik-ulur antara ambisi pembangunan nasional dan hak-hak masyarakat adat Melayu yang telah mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun. Pembangunan nasional kerap dipahami sebagai simbol kemajuan, modernisasi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, di balik janji-janji tersebut, terdapat narasi yang kerap tak terdengar—cerita tentang masyarakat yang tersingkir, tradisi yang terpinggirkan, serta konflik yang muncul antara negara dan warganya yang mempertahankan ruang hidup mereka.
Salah satu contoh nyata dari paradoks ini terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini menjadi medan tarik-menarik antara proyek strategis nasional bertajuk “Rempang Eco City” dan eksistensi masyarakat Melayu lokal yang telah tinggal di wilayah tersebut selama berabad-abad.
Pulau Rempang bukanlah sebidang tanah kosong yang tak bertuan. Ia menyimpan sejarah panjang, identitas budaya, serta keberlangsungan hidup masyarakat adat Melayu. Ketika negara hadir dengan proyek pembangunan, pendekatan yang diambil justru cenderung represif dan mengabaikan realitas sosial-kultural masyarakat setempat.
Masyarakat Melayu yang mendiami Pulau Rempang bukan pendatang. Mereka merupakan bagian dari suku asli Kepulauan Riau, yang jejak sejarahnya terhubung erat dengan Kerajaan Melayu, Kesultanan Riau-Lingga, dan jaringan budaya maritim di kawasan Selat Malaka. Mereka hidup dari laut, hutan, dan pertanian sederhana, dengan sistem nilai berbasis tradisi lisan, hukum adat, dan solidaritas komunitas yang kuat.
Tanah bagi mereka bukan hanya sumber ekonomi, melainkan juga warisan leluhur, tempat pemakaman keluarga, dan simbol kelangsungan budaya. Rumah panggung khas Melayu, surau tua, serta makam leluhur yang tersebar di berbagai kampung menjadi bukti nyata keterikatan mereka terhadap tanah ini. Namun, semua itu kini berada di ambang kehancuran akibat pembangunan kawasan industri dan pemukiman modern yang dirancang tanpa dialog, partisipasi, dan penghormatan terhadap budaya lokal.
Secara historis, masyarakat Melayu telah mendiami Pulau Rempang sejak abad ke-19, bahkan mungkin lebih awal. Mereka hidup dalam struktur sosial adat yang khas, di mana tanah dipandang sebagai milik kolektif dan sakral.
Dalam hukum adat, seperti yang dijelaskan oleh Van Vollenhoven, wilayah seperti Rempang termasuk dalam rechtgemeenschap atau komunitas hukum adat yang memiliki hak ulayat—hak kolektif atas tanah yang diwariskan turun-temurun dan tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak luar tanpa persetujuan adat.
Ter Haar Bzn, pakar hukum adat lainnya, menekankan pentingnya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai sumber hukum yang sah. Dalam konteks Rempang, struktur adat seperti kepala adat dan tok batin seharusnya menjadi bagian dari proses perencanaan pembangunan.
Namun, negara justru mengedepankan pendekatan formal, administratif, dan teknokratis seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan izin lokasi, tanpa mengindahkan struktur hukum adat yang telah lama berlaku.
Pemerintah, melalui Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), mengklaim bahwa proyek Rempang Eco City akan menciptakan lapangan kerja dan mendatangkan investasi asing. Sayangnya, logika pembangunan yang ekonomi-sentris ini justru menempatkan tanah sebagai objek investasi, bukan sebagai ruang hidup bermakna bagi masyarakat lokal. Di sinilah letak benturan nilai yang paling mendasar.
Indonesia adalah negara hukum, tetapi dalam praktiknya, hukum negara sering kali tidak menjangkau masyarakat adat secara adil. Hukum negara mengutamakan dokumen formal seperti sertifikat hak milik, yang bagi masyarakat adat sangat sulit diperoleh karena prosesnya birokratis dan mahal.
Padahal Pasal 18B UUD 1945 dan UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 telah memberikan pengakuan terhadap hak ulayat dan eksistensi masyarakat hukum adat.
Namun, lemahnya implementasi hukum ini menjadikan masyarakat adat kelompok yang paling rentan dalam menghadapi agenda pembangunan. Negara masih lebih memilih hukum tertulis yang formalistik dibandingkan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Ini menciptakan ketimpangan struktural yang memperparah konflik.
Menurut teori pluralisme hukum dari Boaventura de Sousa Santos, negara seharusnya tidak memonopoli definisi hukum. Di masyarakat majemuk seperti Indonesia, banyak sistem hukum yang saling berinteraksi. Negara mestinya hadir sebagai fasilitator yang adil, bukan sebagai pemaksakan satu sistem hukum atas yang lain.
Relokasi yang ditawarkan kepada masyarakat Rempang dianggap tidak manusiawi. Rumah baru dan kompensasi materi tidak bisa menggantikan kehilangan yang jauh lebih besar: tanah leluhur, makam keluarga, tempat ibadah, dan solidaritas sosial yang telah terbentuk selama generasi. Relokasi paksa bukanlah solusi, melainkan bentuk kekerasan struktural yang mengingkari prinsip Hak Asasi Manusia dan asas keadilan sosial.
Masyarakat Melayu Rempang bukan menolak pembangunan. Mereka menolak cara pembangunan yang eksploitatif dan tidak menghargai kearifan lokal. Mereka hanya ingin menjadi bagian dari pembangunan, bukan korban dari pembangunan itu sendiri.
Konstitusi Indonesia dan berbagai kebijakan mengakui keberadaan masyarakat adat. Namun, pengakuan itu sering hanya menjadi simbol tanpa implementasi nyata. Negara yang lahir dari keberagaman justru berulang kali mengabaikan keberagaman itu dalam praktik pembangunan.
Dalam kasus Rempang, pemerintah seolah lupa bahwa masyarakat adat juga bagian dari bangsa ini. Mereka adalah warga negara yang sah, yang berhak atas ruang hidup, tanah, dan identitas budaya. Pengabaian terhadap mereka adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat kebhinekaan itu sendiri.
Sengketa Pulau Rempang tidak sekadar tentang pembangunan. Ini adalah refleksi dari konflik antara dominasi hukum negara dengan hukum adat yang terus terpinggirkan. Pembangunan seharusnya tidak menjadi alat penindasan, tetapi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Masyarakat Melayu Rempang telah menunjukkan bahwa pembangunan harus dilakukan dengan menghormati hak, budaya, dan partisipasi lokal.
Negara harus mengubah pendekatannya: dari eksploitatif menjadi inklusif, dari monolog menjadi dialog. Jika tidak, maka konflik seperti Rempang akan terus berulang. Hukum negara yang abai terhadap hukum adat tidak akan membawa kemajuan, melainkan hanya melahirkan ketimpangan, konflik, dan hilangnya sejarah.





