Aktivitas penambangan pasir ilegal di Dusun Rejosari RT 05 RW 05, Kalurahan Serut, Kapanewon Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini semakin mengkhawatirkan.
Fenomena ini bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga menyentuh persoalan sosial, ekonomi, hingga hukum yang kompleks. Di balik geliat ekonomi yang tampak menjanjikan bagi sebagian warga, tersimpan ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan.
Kegiatan penambangan tersebut umumnya dilakukan di luar wilayah yang memiliki izin resmi. Area yang menjadi sasaran kerap berada di sepanjang aliran sungai dan lereng perbukitan karst yang rentan mengalami degradasi ekologis.
Ironisnya, banyak kegiatan tambang dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari untuk menghindari razia aparat. Kondisi ini membuat pengawasan dari pemerintah menjadi semakin sulit.
Seorang tokoh masyarakat setempat menuturkan bahwa penambangan ilegal telah mengubah struktur tanah dan memicu longsor kecil yang mengancam pemukiman warga sekitar.
“Kami khawatir jika kegiatan ini terus berlangsung, anak cucu kami tidak bisa lagi menikmati kualitas lingkungan yang sehat,” ujarnya dengan nada cemas.
Jika ditelaah dari sudut pandang fungsionalisme struktural, fenomena ini dapat dipahami sebagai bentuk upaya masyarakat dalam mempertahankan fungsi ekonomi keluarga. Penambangan pasir ilegal menjadi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cepat, meski harus menabrak hukum dan merusak lingkungan.
Dalam konteks ini, masyarakat seolah terjebak dalam dilema antara bertahan hidup atau menjaga kelestarian alam. Namun, apa yang dianggap sebagai mekanisme bertahan justru menciptakan ketimpangan sosial dan ekologis yang makin dalam.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Drs. Suryanto, menegaskan bahwa aktivitas penambangan tanpa izin jelas melanggar ketentuan hukum.
“Penambangan tanpa izin bertentangan dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kami terus bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku, sekaligus melakukan edukasi kepada masyarakat,” ujarnya, Jumat (27/9).
Langkah penegakan hukum sejatinya sudah berjalan. Berdasarkan laporan Tempo, terdapat 14 orang yang telah dimintai keterangan sebagai saksi, mulai dari pengelola, operator ekskavator, sopir truk, hingga warga sekitar.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, pelaku penambangan tanpa izin dapat dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Namun, penegakan hukum semata tidak akan cukup. Pemerintah daerah perlu menempuh strategi yang lebih menyentuh akar masalah: keterbatasan ekonomi masyarakat. Tanpa alternatif mata pencaharian yang layak, masyarakat akan terus tergoda menambang pasir secara ilegal.
Diperlukan pendekatan yang berkelanjutan, misalnya melalui pemberdayaan ekonomi lokal, pembentukan koperasi pasir rakyat dengan sistem izin terbatas, atau pengembangan sektor pariwisata berbasis konservasi di wilayah karst Gunungkidul.
Selain itu, edukasi lingkungan harus diperkuat. Masyarakat perlu memahami bahwa kekayaan alam bukan sumber daya yang tak terbatas. Mengambil pasir tanpa kendali sama halnya dengan mengikis masa depan sendiri. Alam yang rusak tak hanya kehilangan keindahannya, tetapi juga fungsi ekologisnya sebagai penopang kehidupan.
Gunungkidul yang selama ini dikenal dengan keindahan alam karst dan sungai bawah tanahnya, semestinya dijaga bersama. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, masyarakat kehilangan warisan alam yang seharusnya diwariskan kepada generasi berikutnya. Pemerintah, aparat, dan warga harus bergandengan tangan agar kesejahteraan tidak dibayar dengan penderitaan alam.





