Bangka Belitung lama dikenal sebagai salah satu penghasil timah terbesar di Indonesia. Kekayaan alam ini semestinya menjadi sumber kesejahteraan masyarakat sekaligus penopang devisa negara. Namun, di balik kilau logam putih itu, tersimpan persoalan yang tak kunjung tuntas: kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta lemahnya pengawasan negara terhadap aktivitas penambangan, baik yang berizin maupun yang beroperasi secara ilegal.
Selama bertahun-tahun, penambangan timah menjadi urat nadi ekonomi masyarakat. Minimnya alternatif pekerjaan membuat banyak warga menggantungkan hidup pada aktivitas tambang. Ketergantungan ini menciptakan paradoks: sektor tambang memang menggerakkan ekonomi lokal, tetapi pada saat yang sama memicu maraknya praktik ilegal.
Di berbagai titik, tambang rakyat beroperasi tanpa izin, merusak ekosistem laut dan daratan, bahkan menimbulkan korban jiwa akibat kecelakaan, seperti longsor ataupun tenggelam di kolong bekas galian.
Lemahnya pengawasan negara menjadi salah satu akar persoalan. Pemerintah kerap hadir hanya setelah terjadi bencana atau konflik, bukan pada fase pencegahan. Padahal, pengawasan semestinya dilakukan sejak pemberian izin, tahap produksi, hingga pemulihan lingkungan pascatambang.
Temuan di lapangan memperlihatkan banyak perusahaan tidak menjalankan kewajiban reklamasi. Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, berubah menjadi danau buatan berbahaya yang mengancam keselamatan warga dan merusak keseimbangan ekosistem.
Kerumitan bertambah dengan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kementerian ESDM, dinas lingkungan hidup, hingga aparat penegak hukum sering bergerak tidak sinkron.
Koordinasi yang lemah membuat pengawasan berjalan setengah hati. Di sisi lain, penambang ilegal memanfaatkan celah tersebut untuk beroperasi tanpa rasa takut. Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang lah yang paling merasakan dampaknya, mulai dari pencemaran air hingga berkurangnya wilayah tangkap nelayan.
Kelemahan pengawasan juga tercermin pada penegakan hukum yang tidak konsisten. Banyak kasus penambangan ilegal berhenti di meja penyidik tanpa kejelasan tindak lanjut. Sanksi yang dijatuhkan pun kerap tidak menimbulkan efek jera.
Di tengah kondisi ini, muncul dugaan keterlibatan oknum aparat maupun pejabat daerah yang melindungi aktivitas tambang ilegal demi keuntungan pribadi. Ketika hukum dapat dinegosiasikan, perlindungan lingkungan hanya tinggal jargon.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebenarnya telah menegaskan kewajiban negara untuk mengawasi dan menjamin keberlanjutan lingkungan. Namun implementasinya belum sesuai harapan.
Penguatan koordinasi lintas-instansi, tata kelola perizinan yang transparan, serta penggunaan teknologi pemantauan berbasis satelit perlu menjadi prioritas untuk mendeteksi dan menindak aktivitas tambang ilegal dengan cepat.
Dalam jangka panjang, Bangka Belitung membutuhkan diversifikasi ekonomi. Ketergantungan pada tambang harus dikurangi dengan mengembangkan sektor lain seperti pariwisata, perikanan berkelanjutan, dan pertanian modern. Langkah ini penting agar masyarakat tidak terus terjebak dalam lingkaran eksploitasi alam yang berpotensi merusak masa depan.
Lemahnya pengawasan negara terhadap penambangan timah bukan hanya persoalan teknis birokrasi, melainkan cerminan rapuhnya komitmen moral dan politik dalam menjaga lingkungan hidup. Negara yang abai berarti membiarkan kerusakan berlangsung atas nama pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat Bangka Belitung membutuhkan keberpihakan nyata: kebijakan yang tegas, pengawasan yang konsisten, serta langkah pemulihan lingkungan yang terukur. Hanya dengan itu, kekayaan alam dapat benar-benar menjadi berkah, bukan kutukan yang diwariskan kepada generasi mendatang.





