Tanah Adat dan Perjuangan Identitas: Menelusuri Sengketa Negeri Tamilouw di Pulau Seram

Iloustrasi foto. ()kompas/Raja Negeri Hatumete Bernard Lilihata
Iloustrasi foto. ()kompas/Raja Negeri Hatumete Bernard Lilihata

Pulau Seram, yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, merupakan salah satu pulau terbesar di kawasan tersebut. Pulau ini dikenal luas karena kekayaan budaya dan adat istiadat yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

Tradisi, ritus keagamaan, dan sistem hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun tetap dijaga dan dijalankan. Hal ini menjadikan Pulau Seram sebagai salah satu pusat kebudayaan Maluku yang hidup dan dinamis.

Bacaan Lainnya

Keunikan tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk dalam cara mereka menjaga hubungan dengan alam dan wilayah adat, yang menjadi bagian integral dari identitas kolektif mereka.

Namun, di balik keindahan alam dan kearifan lokal yang terus dipertahankan, Pulau Seram menyimpan dinamika sosial dan hukum yang kompleks. Salah satu isu krusial yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir adalah persoalan sengketa tanah adat, yang mencerminkan benturan antara kepentingan masyarakat adat dan kepentingan ekonomi dari pihak luar, khususnya perusahaan besar dan investor yang berambisi mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut.

Salah satu konflik yang menjadi perhatian publik adalah sengketa antara masyarakat adat Negeri Tamilouw dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan ini berusaha menguasai sebagian besar wilayah hutan adat yang telah lama dikelola dan dijaga masyarakat setempat. Mereka mengklaim memiliki izin dari pemerintah untuk membuka lahan perkebunan.

Namun, masyarakat adat Tamilouw menolak keras kehadiran perusahaan tersebut, karena lahan yang dimaksud merupakan tanah ulayat yang dianggap sakral, memiliki nilai historis, dan sarat makna spiritual.

Masyarakat Tamilouw menilai bahwa proses perizinan dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan sah dari pemilik wilayah adat, sebagaimana diatur dalam hukum adat dan sejarah penguasaan tanah. Berbagai langkah perlawanan pun ditempuh, baik melalui jalur hukum formal maupun aksi sosial di lapangan, demi mempertahankan hak atas tanah adat mereka.

Konflik ini mencerminkan dilema yang lebih luas di Indonesia: antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Persoalan seperti ini tidak hanya menyangkut soal kepemilikan lahan, tetapi juga menyentuh persoalan identitas budaya, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Kasus Tamilouw menjadi cerminan penting bahwa perlindungan hak masyarakat adat masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional.

Dalam perspektif hukum adat, tanah bukan sekadar sebidang lahan yang bisa diperjualbelikan. Ia merupakan bagian dari kosmologi masyarakat adat—mengandung nilai spiritual dan keberlangsungan hidup kolektif komunitas.

Van Vollenhoven, tokoh penting dalam studi hukum adat, menyebutkan bahwa tanah adat adalah hak ulayat, yaitu hak kolektif masyarakat hukum adat yang tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak luar tanpa musyawarah dan persetujuan bersama.

Di Negeri Tamilouw, sistem kekerabatan adat disebut soa. Setiap soa memiliki batas wilayah yang dijaga secara turun-temurun dan diwariskan sesuai dengan norma adat. Namun, ketika investasi dan proyek-proyek luar masuk ke wilayah adat, batas antara hukum negara dan hukum adat mulai kabur. Konflik menjadi tak terhindarkan.

Pada 2019, sebuah perusahaan swasta mengklaim telah memperoleh izin dari pemerintah daerah untuk mengelola sekitar 1.200 hektare lahan yang merupakan hutan adat Tamilouw. Perusahaan beralasan bahwa wilayah tersebut termasuk hutan produksi yang bisa dikembangkan menjadi kebun sawit. Namun, masyarakat menolak keras klaim tersebut, menyatakan bahwa tidak pernah ada persetujuan adat yang sah dalam proses tersebut.

Ketegangan pun meningkat. Masyarakat Tamilouw melakukan demonstrasi, mendirikan pos penjagaan, dan mengadukan persoalan ini ke berbagai lembaga, termasuk Komnas HAM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sayangnya, kehadiran aparat keamanan yang mendampingi aktivitas perusahaan justru memperkeruh situasi.

Padahal, secara konstitusional, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dalam praktiknya, implementasi pasal tersebut sering kali terbentur oleh ketiadaan regulasi daerah yang mengatur secara konkret hak ulayat dan tata kelola wilayah adat.

Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat Tamilouw memilih kembali pada kekuatan hukum adat. Mereka menggelar musyawarah adat (Saniri Negeri) dan mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan bahwa lahan yang diklaim perusahaan adalah bagian dari tanah ulayat yang tidak bisa dialihkan. Berbagai ritual adat pun digelar sebagai bentuk penolakan spiritual terhadap perambahan wilayah mereka.

Langkah ini memperlihatkan bagaimana hukum adat bekerja: penyelesaian konflik tidak selalu harus lewat jalur litigasi atau pengadilan formal. Penyelesaian secara musyawarah, simbolik, dan berbasis nilai-nilai komunitas menjadi pilihan utama. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip hukum restoratif yang menekankan pada pemulihan hubungan sosial, bukan semata-mata menghukum atau mengganti kerugian materiil.

Dalam kasus Tamilouw, masyarakat tidak hanya menuntut penghentian aktivitas perusahaan, tetapi juga pemulihan kawasan yang telah dirusak serta permintaan maaf secara adat. Ini menunjukkan bahwa keadilan dalam konteks hukum adat mencakup dimensi moral, ekologis, dan spiritual yang tidak selalu dipahami dalam kerangka hukum formal.

Kasus Tamilouw hanyalah salah satu dari sekian banyak konflik lahan adat di Indonesia. Dari Papua hingga Kalimantan, dari Nusa Tenggara hingga Sumatra, masalah serupa terus berulang. Di balik itu semua, akar permasalahan tetap sama: tidak jelasnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat.

Teori hukum adat yang dikemukakan oleh Ter Haar menegaskan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat harus dibaca dari kebiasaan, nilai-nilai, dan struktur sosial yang ada. Oleh karena itu, penguatan sistem hukum adat dan integrasinya dengan hukum nasional merupakan langkah penting yang harus segera diwujudkan.

Pemerintah daerah seharusnya menjadi ujung tombak dalam upaya ini. Penerbitan Peraturan Daerah yang mengakui dan melindungi hak ulayat, pemetaan wilayah adat, dan mekanisme penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal menjadi langkah konkret yang harus diambil.

Kasus Tamilouw mengingatkan kita bahwa hukum bukan hanya deretan pasal dalam buku undang-undang. Hukum hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum adat bukan warisan masa lalu yang usang, melainkan sistem nilai yang telah terbukti mampu menjaga harmoni sosial dan keberlanjutan lingkungan. Sudah waktunya kita berhenti memandang hukum adat sebagai pelengkap, dan mulai mengakuinya sebagai salah satu pilar utama keadilan sosial di Nusantara.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *