Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia: Perspektif Sosiologi Hukum

Ilustrasi gambar/penulis
Ilustrasi gambar/penulis

Penegakan hukum di Indonesia kerap menjadi sorotan, khususnya ketika kasus-kasus besar mengemuka dan memperlihatkan konflik antara nilai-nilai sosial dan pelaksanaan hukum. Salah satu contohnya adalah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru.

Dalam kasus ini, KPK menyita lebih dari Rp1 miliar yang diduga berasal dari penyimpangan anggaran daerah. Peristiwa ini mengungkap lemahnya integritas dan akuntabilitas dalam birokrasi pemerintah.

Bacaan Lainnya

Dari perspektif sosiologi hukum, kasus ini menunjukkan kesenjangan mendasar antara norma hukum formal dan nilai sosial yang berlaku. Di sejumlah daerah, praktik korupsi sering dianggap sebagai hal yang lumrah karena norma sosial yang permisif. Pandangan ini menunjukkan bahwa reformasi hukum harus mencakup transformasi budaya masyarakat, tidak hanya perubahan aturan.

Kasus korupsi tersebut juga memperlihatkan bahwa hukum sering kali hanya menjadi alat formal yang kurang efektif jika tidak didukung oleh pengawasan ketat dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, KPK memiliki peran penting sebagai agen perubahan untuk mematahkan budaya diam (culture of silence) yang selama ini membungkam kasus-kasus korupsi.

Namun, penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari tantangan bias kekuasaan. Salah satu contoh adalah pengawasan terhadap kasus korupsi di lingkungan militer. Dalam putusan terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat militer.

Langkah ini merupakan kemajuan signifikan dalam menciptakan keadilan universal di sektor hukum. Meski demikian, implementasi putusan ini memerlukan dukungan lintas sektor untuk memastikan semua pihak, termasuk militer, tunduk pada prinsip hukum yang sama.

Melalui pendekatan sosiologi hukum, dapat dilihat bahwa penegakan hukum tidak sekadar penerapan aturan, tetapi juga perjuangan untuk merekonstruksi norma sosial yang mendukung keadilan dan transparansi.

Transformasi ini membutuhkan kolaborasi antara negara, masyarakat, dan institusi hukum guna menciptakan sistem hukum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa mengesampingkan supremasi hukum.

Pendekatan holistik juga menjadi keharusan dalam reformasi penegakan hukum di Indonesia. Reformasi ini tidak hanya menitikberatkan pada perangkat hukum, tetapi juga memperhatikan faktor sosial, budaya, dan institusional yang memengaruhi efektivitasnya.

Baca Juga: Filsafat Kesendirian Ibn Bajjah: Konsep ‘Manusia Terasing’ dalam Islam

Pendidikan hukum, misalnya, harus menjadi prioritas, tidak hanya bagi calon praktisi hukum tetapi juga masyarakat luas. Program sosialisasi undang-undang dan pencegahan korupsi di tingkat lokal dapat memperkuat kesadaran hukum dan membangun budaya yang lebih menghormati hukum.

Selain pendidikan, teknologi berperan penting dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas. Pemanfaatan sistem digital seperti e-budgeting atau aplikasi pelaporan berbasis teknologi telah terbukti mampu mengurangi praktik manipulasi anggaran. Penerapan teknologi ini di sejumlah daerah di Indonesia berhasil meningkatkan efisiensi dan meminimalkan interaksi langsung yang sering menjadi celah bagi praktik korupsi.

Keberhasilan reformasi hukum tidak hanya bergantung pada sistem, tetapi juga pada keberanian pemimpin politik dan penegak hukum untuk bersikap tegas terhadap korupsi. Langkah seperti pemberian perlindungan kepada pelapor (whistleblowers) dan penguatan pengawasan internal menjadi sangat krusial. Dengan dukungan masyarakat yang aktif, ruang gerak pelaku korupsi dapat terus dipersempit.

Pengalaman internasional juga menawarkan banyak pelajaran yang relevan bagi Indonesia. Negara-negara Skandinavia, misalnya, berhasil mengintegrasikan nilai kejujuran dan transparansi ke dalam pendidikan sejak dini.

Baca Juga: Analisis Filsafat Sejarah dalam Konteks Pembangunan dan Fungsi Religius Candi Pari sebagai Cermin Sejarah Jawa Timur

Hasilnya, masyarakat di negara-negara tersebut tumbuh dengan norma sosial yang tegas menolak korupsi. Meski demikian, pendekatan seperti ini harus disesuaikan dengan konteks budaya lokal Indonesia agar lebih efektif.

Pada akhirnya, sosiologi hukum memberikan pandangan bahwa penegakan hukum yang ideal tidak hanya berfokus pada sanksi, tetapi juga pada pembentukan nilai kolektif yang mendukung supremasi hukum. Kasus OTT Pj Wali Kota Pekanbaru dan perluasan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi di lingkungan militer adalah pengingat bahwa hukum harus tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat serta tantangan zaman.

Transformasi dalam penegakan hukum memang membutuhkan waktu dan upaya berkelanjutan. Namun, dengan konsistensi dan kolaborasi semua pihak, cita-cita menciptakan masyarakat yang lebih adil, transparan, dan bebas dari korupsi bukanlah hal yang mustahil.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *