Peluru Mematikan di Tengah Kota Semarang oleh Oknum Kepolisian

Ilustrasi foto/ist
Ilustrasi foto/ist

Kasus penembakan yang menewaskan siswa SMKN 4 Semarang berinisial GRO oleh anggota kepolisian, Aipda Robig Zaenudin, memicu kecaman luas dari masyarakat, khususnya warganet. Dalam insiden ini, pelaku mengaku menembak korban untuk melerai tawuran antar kelompok gangster. Namun, tindakan tersebut justru memperkuat stigma negatif terhadap lembaga kepolisian di mata masyarakat.

Tugas kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban memang tidak ringan. Namun, dalam menjalankan tanggung jawab tersebut, anggota polisi wajib menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dan proporsionalitas.

Bacaan Lainnya

Penggunaan senjata api, sesuai prosedur, seharusnya menjadi langkah terakhir setelah opsi lain tidak lagi memungkinkan. Tahapan penggunaan senjata meliputi tembakan peringatan ke udara, tembakan ke tanah, hingga tindakan melumpuhkan yang diarahkan ke kaki. Sayangnya, dalam kasus ini, pelaku langsung menembak korban hingga tewas, yang jelas melanggar prosedur tersebut.

Baca Juga: Pertunjukan Orkestra “Gadda da Vida”: Simfoni Cinta yang Rapuh namun Bermakna

Tindakan Aipda Robig tidak hanya melanggar kode etik kepolisian tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, tindakan tersebut melanggar Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, serta Pasal 37 Kovenan Internasional tentang Hak Anak.

Sebagaimana disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), anak-anak yang melanggar hukum tidak boleh diperlakukan secara kejam atau dilukai secara fisik.

Kasus ini semakin memicu tanda tanya ketika pihak sekolah korban, SMKN 4 Semarang, menegaskan bahwa GRO adalah siswa berprestasi yang aktif di ekstrakurikuler Paskibraka. Catatan akademik dan kepribadian korban tidak menunjukkan adanya indikasi keterlibatan dalam aktivitas gangster atau tawuran. Pernyataan ini mengundang pertanyaan besar: bagaimana seorang siswa yang dikenal disiplin dan berprestasi bisa terlibat dalam situasi tersebut?

Baca Juga: “Cafe Cali”: Cafe ala Bali di Jakarta Pusat dengan Pemandangan City Light yang Mempesona

Saat ini, Kepolisian Daerah Jawa Tengah sedang menangani kasus ini dengan dugaan tindakan berlebihan. Namun, apa yang terjadi menimbulkan kekecewaan mendalam. Sebagai penegak hukum, kepolisian seharusnya bertindak bijak dalam mengambil keputusan, memastikan semua tindakan sesuai prosedur dan aturan perundang-undangan.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengatakan, “Di negeri ini hanya ada tiga polisi yang jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.” Ucapan ini menyiratkan perlunya reformasi mendalam di tubuh kepolisian. Pendidikan dan pelatihan anggota kepolisian harus lebih menekankan nilai moral, etika, dan keterampilan teknis, agar tragedi seperti ini tidak terulang di masa depan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *