Kasus yang menimpa dua warga masyarakat adat Dayak Kualan, Tarsisius Fendy dan Ricky Prasetya Mainaiki, menyoroti problematika relasi antara hukum adat dan hukum negara yang tak kunjung berpihak pada keadilan komunitas adat.
Mereka berdua kini harus berurusan dengan aparat kepolisian setelah dilaporkan oleh PT Mayawana Persada (MP), perusahaan perkebunan kayu yang beroperasi di wilayah Kalimantan Barat. Tuduhan yang dilayangkan adalah pemerasan, padahal tindakan yang mereka lakukan adalah menuntut pemenuhan sanksi adat atas kerusakan kebun yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Menurut Ahmad Syukri, Ketua Lingkar Advokasi dan Riset Kalbar (Link-AR Kalbar), pemanggilan terhadap Fendy dan Ricky oleh pihak kepolisian bukanlah perkara kriminal murni. “Ini adalah upaya kriminalisasi yang sistematis dan bentuk pembungkaman demokrasi di pedesaan dalam upaya menegakkan pelaksanaan hukum adat, bukan tindakan pidana pemerasan,” tegasnya dalam rilis pers tertanggal 15 Oktober 2024.
Kisah ini bermula pada 3 Desember 2023, saat masyarakat adat Dayak Kualan dari Dusun Lelayang dan Dusun Sabar Bubu, Desa Kualan Hilir, serta sebagian warga dari Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, memasang portal adat (mandoh adat) guna menghentikan aktivitas perusahaan di tanah adat yang disengketakan. Tindakan ini dipicu oleh penggusuran sepihak yang dilakukan oleh PT MP tanpa pemberitahuan, disertai pembakaran pondok ladang milik masyarakat.
Melalui negosiasi, pihak perusahaan menyatakan kesediaannya mengikuti proses penyelesaian adat dan sepakat untuk hadir dalam upacara adat yang dijadwalkan pada 5 Desember 2023 di Dusun Sabar Bubu. Bahkan, dana untuk pelaksanaan upacara telah diserahkan. Namun ironisnya, pada hari yang telah disepakati, perwakilan perusahaan tidak hadir, dan komitmen itu pun menguap tanpa kejelasan.
Situasi semakin membingungkan ketika pada 14 Januari 2024, Kepolisian Resor Ketapang justru memanggil Fendy dan Ricky untuk dimintai keterangan atas dugaan pemerasan, ancaman, dan tindak kekerasan, mengacu pada pasal 368, 335, dan 333 KUHP.
Meski telah memberikan klarifikasi pada 16 Januari 2024, pemanggilan berlanjut. Pada 30 September 2024, surat panggilan pertama dilayangkan, diikuti surat panggilan kedua pada 10 Oktober 2024, dengan jadwal kehadiran pada 15 Oktober.
Tono, salah satu pegiat masyarakat adat, menyayangkan langkah hukum tersebut. Menurutnya, seharusnya pihak kepolisian dan perusahaan menghormati peradilan adat yang selama ini menjadi sistem penyelesaian konflik di komunitas.
“Kasus ini menambah daftar panjang korban ketidakadilan terhadap masyarakat adat yang mempertahankan warisan leluhur mereka. Ini bukan hanya pembungkaman, tetapi indikasi kuat adanya upaya penguasaan sumber daya alam secara sepihak,” tegasnya.
Realitas yang dihadapi masyarakat Dayak Kualan sangat memprihatinkan. Hutan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka secara turun-temurun mulai terancam. Akses terhadap hutan yang selama ini mereka kelola dibatasi, bahkan lahan-lahan kebun dirampas. Situs-situs sakral pun ikut dirusak. Salah satunya adalah Tanah Colap Torun Pusaka Bukit Sabar Bubu, lokasi yang disucikan oleh masyarakat adat.
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan telah menyebabkan banjir berkepanjangan, memperburuk kehidupan warga, dan mengancam dengan potensi bencana kebakaran hutan dan lahan di masa depan. Deforestasi dan gangguan pada ekosistem gambut yang sebelumnya stabil, kini mulai menampakkan dampak buruknya secara nyata.
Sebagai upaya memperjuangkan haknya, pada April lalu, perwakilan masyarakat adat mendatangi Jakarta untuk mengadukan pelanggaran yang dilakukan oleh PT MP. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merespons dengan menerbitkan surat penghentian aktivitas penebangan di wilayah logged over area (LOA) dan memerintahkan perusahaan melakukan pemulihan lingkungan. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda pelaksanaan pemulihan tersebut oleh perusahaan.
Persoalan ini tidak hanya menyangkut dua individu yang kini berstatus sebagai saksi dalam penyelidikan, tetapi menyangkut masa depan seluruh komunitas adat. Jika negara terus abai terhadap keberadaan hukum adat dan membiarkan perusahaan besar berlindung di balik aturan formalistik hukum pidana, maka kita sedang menyaksikan proses sistematis dari penghancuran budaya, lingkungan, dan kehidupan masyarakat adat.
Yang dibutuhkan saat ini bukan kriminalisasi, melainkan pengakuan dan perlindungan atas hak masyarakat adat untuk menjalankan mekanisme hukum yang telah diwariskan secara turun-temurun. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan alat penindas.





