Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya dan adat istiadat. Keberagaman ini kerap menimbulkan tantangan dalam menyelaraskan nilai-nilai lokal dengan hukum nasional dan prinsip-prinsip agama. Salah satu praktik yang menimbulkan polemik adalah adat syurbul khamr atau meminum minuman keras yang masih dilakukan di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Tradisi ini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai bagian dari budaya lokal, bahkan dipercaya memiliki nilai kesehatan dan spiritual. Namun, dari sudut pandang hukum pidana Islam maupun hukum positif Indonesia, praktik ini menghadirkan konsekuensi hukum yang tidak bisa diabaikan. Artikel ini akan membahas analisis hukum terhadap praktik adat syurbul khamr, serta menyoroti dinamika sosial yang menyertainya.
Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap Syurbul Khamr
Dalam hukum pidana Islam, syurbul khamr digolongkan sebagai jarimah hudud, yaitu jenis tindak pidana yang ketentuannya bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis, dengan hukuman yang tetap. Larangan mengenai khamr tercantum secara eksplisit dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Rasulullah SAW juga menegaskan larangan ini:
“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr itu haram. Barang siapa meminum khamr di dunia dan mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia tidak akan mendapatkannya di akhirat.” (HR. Muslim)
Dalam mazhab Hanafi, pelaku syurbul khamr dikenai hukuman cambuk sebanyak 80 kali, sedangkan mazhab Syafi’i menetapkan 40 kali cambukan. Hukuman ini bersifat tetap (had), sehingga tidak bergantung pada kebijakan hakim.
Meski dalam Islam terdapat kaidah “al-‘adah muhakkamah” (adat dapat dijadikan dasar hukum), kaidah ini hanya berlaku apabila adat tidak bertentangan dengan nash syar’i. Dalam hal ini, adat minum khamr tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Hukum Positif Indonesia dan Minuman Keras
Dalam hukum positif Indonesia, perbuatan terkait konsumsi minuman keras juga diatur, meskipun tidak sekeras hukum Islam. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur dalam Pasal 492 dan 536 mengenai sanksi bagi orang yang mabuk dan mengganggu ketertiban umum. Hukuman yang dikenakan dapat berupa pidana kurungan atau denda ringan.
Selain itu, pengaturan teknis mengenai peredaran dan konsumsi minuman beralkohol terdapat dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/M-DAG/PER/4/2014, yang bertujuan membatasi distribusi minuman keras di masyarakat.
Beberapa daerah bahkan telah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) khusus yang membatasi atau melarang peredaran minuman beralkohol, meskipun di Rembang belum terdapat Perda yang secara spesifik menanggapi syurbul khamr sebagai tradisi lokal.
Realitas Sosial: Studi Kasus di Rembang
Praktik syurbul khamr di Kabupaten Rembang menjadi perhatian karena dilaksanakan secara terbuka dalam acara-acara adat, seperti syukuran panen. Di salah satu desa di Kecamatan Pamotan, misalnya, pernah terjadi ketegangan antara tokoh agama dan pemuka adat pada tahun 2020. Tokoh agama menilai praktik minum-minuman keras yang dilakukan secara massal mencemari moral generasi muda dan bertentangan dengan nilai agama.
Sebaliknya, kelompok adat berpendapat bahwa syurbul khamr merupakan warisan budaya leluhur yang menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur. Ketegangan ini akhirnya diatasi melalui musyawarah yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah desa dan pihak kepolisian. Hasilnya, tradisi syukuran tetap diperbolehkan namun tanpa kehadiran minuman keras.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ditemukan pula praktik adat syurbul khamr yang dilakukan oleh ibu-ibu pasca melahirkan di Desa Tengger, Kecamatan Sale, Rembang. Tradisi ini diyakini dapat mempercepat pemulihan luka pascamelahirkan. Keyakinan masyarakat terhadap adat ini sangat kuat sehingga praktik tersebut terus dijalankan dari generasi ke generasi.
Namun, dari sudut pandang hukum pidana Islam dan hukum positif, kebiasaan ini tidak dapat dibenarkan karena substansinya menggunakan minuman keras, yang jelas dilarang dalam kedua sistem hukum tersebut.
Tinjauan Yuridis dan Sosiologis
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-haknya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman dan prinsip NKRI. Namun, pengakuan ini bersifat bersyarat. Ketika suatu praktik adat bertentangan dengan prinsip moral, hukum, dan ketertiban umum, negara berhak membatasi atau bahkan menghapusnya.
Dari sisi sosiologis, benturan antara hukum dan budaya mencerminkan tantangan dalam proses modernisasi hukum di tengah masyarakat yang masih memegang kuat tradisi. Di sinilah dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga pendekatan edukatif yang berbasis budaya dan nilai-nilai agama.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Syurbul khamr, baik dalam konteks umum maupun sebagai ritual pasca melahirkan, merupakan praktik yang secara tegas dilarang dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum positif Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya dilarang, tindakan tersebut tetap memiliki konsekuensi hukum jika mengganggu ketertiban umum.
Keberadaan adat seharusnya tidak dijadikan pembenaran atas praktik yang merugikan masyarakat atau bertentangan dengan hukum dan nilai moral. Harmonisasi antara hukum, agama, dan budaya harus dilakukan secara bijaksana dan berkelanjutan.
Langkah-langkah strategis yang dapat diambil antara lain penguatan peran tokoh agama dan tokoh adat sebagai agen perubahan, penyusunan regulasi daerah yang tegas namun edukatif, serta peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan hukum dan agama. Pemerintah daerah juga perlu lebih aktif dalam melakukan pendekatan partisipatif agar transformasi budaya dapat terjadi secara alami dan tidak menimbulkan resistensi.
Dengan sinergi antara nilai hukum, agama, dan budaya, diharapkan masyarakat Rembang dan daerah lainnya mampu mewarisi tradisi yang selaras dengan nilai-nilai keadilan, moralitas, dan kemanusiaan.





