Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah seharusnya menjadi fondasi dalam membentuk akhlak mulia dan spiritualitas siswa. Namun, di balik prinsip “yang penting akhlaknya baik dan bisa membaca Al-Qur’an“, terdapat praktik manipulasi nilai oleh oknum guru PAI yang memanfaatkan dalil religius untuk menaikkan nilai siswa hingga mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) tanpa dasar objektif. Fenomena ini menciptakan ironi dalam dunia pendidikan, di mana nilai-nilai luhur dijadikan tameng untuk tindakan yang merusak integritas akademik demi kepentingan instan.
Fenomena Manipulasi Nilai dalam PAI
Praktik manipulasi nilai dalam pembelajaran PAI terjadi ketika guru menaikkan nilai siswa yang sebenarnya belum mencapai kompetensi yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, seperti tekanan administratif untuk memastikan semua siswa lulus, terutama dalam mata pelajaran PAI yang dianggap sebagai tolak ukur moral siswa.
Data dari Adilham (2021) menunjukkan bahwa 42% guru PAI di Sulawesi Selatan mengaku “terpaksa” menaikkan nilai siswa karena tekanan kepala sekolah dan orang tua, meskipun kompetensi siswa tidak mencukupi.
Selain itu, kurangnya waktu dan sumber daya juga menjadi faktor penyebab. Beban mengajar yang tinggi dan keterbatasan waktu membuat guru kesulitan memberikan bimbingan individual kepada siswa yang tertinggal, sehingga tidak maksimal dalam pelaksanaan ujicoba dan analisis soal.
Penelitian Wiwin (2023) menemukan bahwa 60% guru PAI mengaku tidak memiliki waktu cukup untuk menilai aspek afektif (sikap) siswa, sehingga nilai akhir sering didasarkan pada perkiraan atau kebijakan subjektif.
Pandangan normatif juga mempengaruhi praktik ini, di mana ada anggapan bahwa selama siswa menunjukkan perilaku baik dan mampu membaca Al-Qur’an, mereka layak mendapatkan nilai tinggi, meskipun aspek kognitifnya belum memadai. Penelitian Erika (2020) menunjukkan bahwa 35% siswa SMP yang kesulitan membaca Al-Qur’an tetap lulus karena nilai PAI-nya dikatrol.
Dampak Negatif terhadap Integritas Pendidikan
Narasi “berakhlak baik” dan “bisa membaca Al-Qur’an” menjadi mekanisme manipulasi nilai yang berawal dari kasih sayang guru terhadap masa depan siswa, namun berkembang menjadi pembiasaan hingga institusionalisasi yang membentuk malpraktik pendidikan sistematis. Dampak krisis karakter dan degradasi moral merusak sistem pendidikan dan menghancurkan esensi PAI sebagai pembentuk akhlak.
Terjadi hipokrisi pendidikan dengan “tampilan religius” yang memandang bahwa hafalan Al-Qur’an lebih penting daripada integritas. Perilaku hipokrisi membentuk generasi instan yang tidak siap menghadapi tantangan nyata. Akhirnya, siswa yang cenderung nilai dikatrol bisa gagal dalam studi lanjutan karena tidak terbiasa berusaha.
Praktik manipulasi nilai oleh guru PAI memiliki dampak serius terhadap guru dan siswa. Bagi siswa, dapat membentuk mentalitas instan dan tidak objektif. Siswa terbiasa berpikir bahwa nilai bisa didapat bukan dari usaha belajar, tetapi dari “kesan baik”. Ini menciptakan mental shortcut bahwa tampil sholeh sudah cukup, tanpa harus berprestasi akademik.
Sehingga mentalitas seperti ini akhirnya menguburkan makna belajar yang sesungguhnya. Siswa menjadi terbiasa dengan budaya instan dan tidak menghargai proses belajar yang sebenarnya. Hal ini menciptakan degradasi kualitas pendidikan agama yang membuat siswa tidak termotivasi untuk belajar lebih giat karena merasa nilai akan dinaikkan oleh guru.
Ketika akhlak dan ibadah menjadi alat untuk mendapatkan nilai, maka spiritualitas kehilangan ketulusan. Anak belajar “memperlihatkan” akhlak, bukan “menjadi” pribadi berakhlak. Siswa yang benar-benar berusaha keras merasa tidak adil saat teman yang biasa-biasa saja dapat nilai yang sama atau bahkan lebih tinggi.
Ini menciptakan frustrasi, ketidakpercayaan, dan potensi konflik sosial di kelas. Siswa yang nilainya dikatrol akan mengalami kesulitan di jenjang pendidikan berikutnya karena kemampuannya tidak sesuai dengan nilai rapor. Ini bisa berdampak pada rasa percaya diri dan performa belajar di masa depan.
Tidak hanya siswa yang akan merasakan dampak serius, tetapi guru juga terkena dampaknya. Guru yang seharusnya menjadi teladan kejujuran justru memberikan contoh manipulasi yang dapat ditiru oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, tindakan ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan.
Jika guru, yang seharusnya menjadi panutan moral, terlibat dalam praktik tidak jujur, maka nilai-nilai kejujuran dan integritas yang diajarkan menjadi kehilangan makna. Fenomena seperti ini perlu ditindak secara tegas agar tidak merusak kredibilitas penilaian dan menciptakan generasi hipokrit (pandai beragama di rapor, tetapi lemah dalam pemahaman dan pengamalan).
Jika praktik ini dibiarkan menjadi “budaya institusional” bukan sekadar praktik oknum, sekolah berpotensi menjadi “pabrik pencitraan”. Nilai akademik menjadi tidak valid sebagai indikator kemampuan siswa. Hal ini menyulitkan sekolah dan pemerintah dalam membuat kebijakan berbasis data, karena data yang digunakan tidak akurat. Praktik ini bertolak belakang dengan kurikulum merdeka yang menekankan asesmen autentik dan pembelajaran bermakna. Apabila guru terus mengandalkan nilai sebagai formalitas, maka perubahan kurikulum hanya menjadi slogan saja.
Perlunya Evaluasi dan Reformasi Pendidikan PAI
Masalah utama manipulasi nilai terletak pada argumentasi guru terhadap asesmen yang menitikberatkan prinsip “akhlak baik” dan “bisa membaca Al-Qur’an” sebagai alasan untuk menaikkan nilai siswa meskipun tidak memenuhi standar kognitif. Padahal, akhlak seharusnya dinilai melalui pengamatan perilaku sehari-hari, bukan sekadar kesan subjektif guru.
Data dari Budi dkk (2022) menunjukkan bahwa 40% siswa SMA yang nilai PAI-nya bagus ternyata masih terbata-bata membaca Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara nilai dan kompetensi yang dimiliki siswa.
Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan upaya mengikis praktik manipulasi nilai. Guru perlu mengembangkan sistem penilaian yang objektif, adil, dan transparan, yang menilai kompetensi siswa secara menyeluruh. Melalui pelatihan, guru PAI dapat meningkatkan kompetensi tentang pemahaman asesmen secara holistik baik kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Guru juga diberi bekal penyusunan rubrik penilaian untuk setiap tugas dan soal dengan blueprint (kisi-kisi) yang sesuai kurikulum. Guru diajak berpikir dengan pemaparan studi kasus dan simulasi penilaian manipulatif yang seharusnya keputusan penilaian diambil secara adil dan profesional. Dengan demikian, integrasi pelatihan berbasis digitalisasi dan penguatan akuntabilitas seperti sistem e-rapor berbasis portofolio menjadi bukti nyata hasil belajar siswa.
Pengawas sekolah, dinas pendidikan/kementerian agama, dan lembaga independen/komite sekolah harus melakukan audit terhadap praktik penilaian guru, serta memberikan sanksi bagi yang terbukti melakukan manipulasi nilai. Pengawas sekolah berperan melakukan kunjungan kelas (supervisi akademik), mereka harus mempunyai checklist dan instrumen audit penilaian untuk menindaklanjuti jika ada ketidaksesuaian.
Dinas pendidikan dan kementerian agama mengadakan audit nilai tahunan, misalnya dengan membandingkan nilai rapor dengan hasil asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) atau evaluasi eksternal. Lembaga independen atau komite sekolah berperan memantau transparansi nilai. Dengan transparansi, orang tua akan memahami standar penilaian dan mendorong anak-anak lebih giat belajar, sehingga orang tua berhenti menuntut anaknya memiliki nilai tinggi tanpa memedulikan proses.
Sistem reformasi untuk membangun asesmen yang akuntabel pada praktik manipulasi nilai perlu ditingkatkan agar alasan “akhlak baik” dan “bisa membaca Al-Qur’an” tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan PAI dalam pembelajaran. Penilaian guru dapat menggunakan catatan harian perilaku siswa yang diambil dari hasil observasi kolaborasi antar guru BK dan wali kelas, bukan hanya guru PAI





