Indonesia tengah menghadapi krisis kejujuran dalam dunia pendidikan. Fenomena ini tergambar jelas dalam hasil penelitian Permana (2018) yang dilakukan di salah satu SMA. Dari 7% sampel siswa, 80% mengaku pernah mencontek, dengan metode yang beragam: 38% menyontek ke teman, dan 26% memanfaatkan meja tulis. Sementara itu, data dari Indicators of School Crime and Safety (2016) menunjukkan bahwa 87% siswa bermasalah dengan perilaku di sekolah, termasuk ketidakjujuran akademik.
Maraknya perilaku mencontek ini tak lepas dari sistem pendidikan yang lebih menitikberatkan pada hasil ketimbang proses. Siswa merasa terdorong untuk mencari jalan pintas demi meraih nilai tinggi, baik karena tekanan dari lingkungan maupun karena adanya peluang untuk curang. Sayangnya, tindakan seperti ini tak hanya melanggar norma, tapi juga menciptakan kebiasaan buruk yang akan terbawa hingga ke dunia kerja.
Fenomena ini menjadi semakin mengkhawatirkan ketika kecurangan terjadi pada momen-momen penting, seperti dalam pelaksanaan UTBK 2025. Ujian yang seharusnya menjadi ajang seleksi murni dan kompetitif malah ternodai oleh berbagai modus kecurangan, bahkan melibatkan pegawai dan alumni dari institusi pendidikan ternama. Jika kebiasaan budaya mencontek ini tidak segera diberantas, akan sulit melahirkan generasi yang berintegritas dan mampu membawa perubahan positif bagi bangsa.
Namun, ada satu hal menarik: banyak siswa yang enggan mencontek ketika mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), meski masih melakukannya di mata pelajaran lain. Fakta ini menunjukkan adanya pengaruh kuat dari mata pelajaran PAI dalam menanamkan nilai moral siswa, khususnya nilai kejujuran dan tanggung jawab. Siswa merasa lebih diawasi dan lebih segan karena merasa diajarkan untuk selalu sadar akan pengawasan Allah.
Sayangnya, pengaruh ini belum sepenuhnya mengakar dalam kehidupan siswa di luar jam pelajaran PAI. Nilai yang diajarkan belum diinternalisasi secara mendalam dan hanya bersifat sesaat. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan besar bagi para guru agama. Mereka harus mampu menanamkan nilai Islam sebagai prinsip universal yang berlaku di setiap aspek kehidupan siswa, bukan hanya saat berada di kelas.
Salah satu penyebab utama suburnya perilaku mencontek adalah tekanan akademik yang tinggi. Dalam sistem pendidikan Indonesia, nilai menjadi tolok ukur utama keberhasilan, bukan proses belajar itu sendiri.
Banyak siswa merasa bahwa mereka harus selalu mendapat nilai sempurna agar tidak mengecewakan guru atau orang tua. Karena takut gagal atau tidak lulus, dan dengan persiapan yang kurang matang, mereka memilih jalan pintas. Lemahnya rasa percaya diri, rendahnya motivasi belajar, dan keengganan untuk berusaha keras turut memperparah keadaan.
Selain itu, sistem evaluasi pendidikan yang terlalu berorientasi pada hafalan dan ujian tertulis semakin mempersempit ruang siswa untuk memahami makna kejujuran. Nilai-nilai moral tidak mendapat ruang yang cukup untuk tumbuh. Evaluasi yang hanya fokus pada angka membuat siswa lupa bahwa belajar seharusnya juga menumbuhkan karakter dan integritas.
Tak bisa dipungkiri, pemahaman siswa terhadap nilai kejujuran juga masih sangat terbatas. Banyak yang menganggap pelajaran agama hanya sebagai teori, bukan sesuatu yang harus diterapkan dalam kehidupan nyata.
Minimnya kesadaran akan konsekuensi moral dari perbuatan mencontek, baik secara agama maupun sosial, menjadikan perbuatan tersebut dianggap sepele. Ditambah lagi dengan pengawasan yang lemah saat ujian, serta kurangnya sanksi tegas, menjadikan mencontek sebagai hal yang biasa dan lumrah di sekolah.
Peran lingkungan sekitar pun tak kalah penting. Ketika budaya mencontek dibiarkan tumbuh, baik di sekolah maupun di masyarakat, maka semakin sulit untuk memberantasnya. Terlebih, teknologi yang seharusnya mendukung pembelajaran malah menjadi alat untuk mempermudah kecurangan. Akses contekan digital melalui ponsel atau media sosial tak jarang menjadi andalan siswa dalam menghadapi ujian.
Dalam situasi ini, pendidikan agama Islam memiliki peran strategis. Kejujuran, tanggung jawab, dan kerja keras merupakan nilai-nilai inti dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, pembelajaran PAI harus lebih dari sekadar menyampaikan teori.
Guru PAI harus mampu mengajak siswa merenungi dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Siswa perlu memahami bahwa keberhasilan sejati datang dari proses yang jujur dan usaha yang sungguh-sungguh, bukan dari kecurangan.
Untuk mewujudkan hal ini, pembelajaran akhlak dalam PAI perlu dirancang sedemikian rupa agar aplikatif dan menyatu dalam kehidupan siswa. Metode pengajaran harus bersifat kontekstual, menyenangkan, dan penuh keteladanan. Guru agama perlu menjadi contoh nyata dalam sikap dan perbuatan agar nilai yang disampaikan tidak hanya berhenti di ruang kelas.
Evaluasi pembelajaran dalam PAI pun perlu dibenahi. Penilaian tidak boleh hanya bertumpu pada hasil ujian tulis. Evaluasi yang beragam seperti proyek berbasis nilai, refleksi diri, penilaian teman sebaya, dan portofolio bisa menjadi alternatif. Metode ini memungkinkan siswa untuk merefleksikan nilai kejujuran dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam bentuk hafalan.
Sadar akan pengawasan Allah juga perlu ditanamkan secara mendalam. Ketika siswa merasa bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatannya, termasuk saat ujian, maka secara otomatis mereka akan berpikir dua kali sebelum berbuat curang. Kesadaran ini harus dilatih secara terus-menerus, dan tidak hanya menjadi retorika dalam materi pelajaran.
Pemberantasan budaya mencontek tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada guru PAI. Seluruh warga sekolah—kepala sekolah, guru mata pelajaran, staf, hingga petugas keamanan—harus ikut berkontribusi.
Orang tua di rumah pun memiliki peran penting dalam menanamkan nilai kejujuran dan integritas sejak dini. Sinergi antara sekolah dan keluarga adalah kunci dalam membentuk karakter siswa yang kuat dan tahan godaan untuk mencontek.
Dengan demikian, memberantas budaya mencontek bukan sekadar persoalan teknis di ruang ujian, melainkan bagian dari pembangunan karakter yang menyeluruh. PAI sebagai pelajaran yang mengajarkan nilai-nilai dasar kehidupan harus mengambil peran sentral dalam proses ini.
Saat siswa sudah terbiasa berlaku jujur dalam setiap aspek kehidupan, maka cita-cita untuk menciptakan generasi yang berintegritas dan bertanggung jawab bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.





