Pengelolaan Tanah Kas Desa sebagai bagian dari aset milik desa sejatinya menjadi sumber pemasukan yang penting bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, pemanfaatan tanah ini tidak jarang menimbulkan persoalan, terutama dalam bentuk penyalahgunaan wewenang oleh oknum perangkat desa. Salah satu bentuk pemanfaatan yang paling rawan diselewengkan adalah melalui mekanisme sewa Tanah Kas Desa.
Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Tanah Kas Desa merupakan salah satu bagian dari aset desa yang dapat diperoleh dari berbagai sumber. Sumber tersebut mencakup kekayaan desa yang dibeli dari APBN, APBD, atau APBDes; hibah dan sumbangan; perjanjian atau kontrak; hasil kerja sama antar desa; serta sumber-sumber sah lainnya.
Tanah ini kemudian dimanfaatkan untuk mendukung pendapatan desa, salah satunya melalui sistem sewa. Namun, praktik sewa Tanah Kas Desa sangat rentan terhadap penyimpangan. Dalam sejumlah kasus, pemanfaatannya justru berujung pada persoalan hukum yang melibatkan kepala desa, perangkat desa, hingga pihak penyewa.
Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa secara tegas mengatur mekanisme pemanfaatan aset desa. Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa aset desa, termasuk Tanah Kas Desa, dapat dimanfaatkan melalui empat skema, yaitu sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan, dan bangun guna serah atau bangun serah guna.
Lebih lanjut, Pasal 12 Permendagri tersebut menjelaskan bahwa sewa atas Tanah Kas Desa tidak boleh mengubah status kepemilikan aset. Jangka waktu sewa dibatasi maksimal tiga tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan.
Dalam perjanjian sewa, harus dicantumkan hal-hal seperti identitas para pihak, objek dan luas sewa, nilai sewa, jangka waktu, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk ketentuan terkait force majeure atau keadaan kahar.
Sayangnya, dalam praktik, perjanjian tersebut sering kali tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Contoh kasus yang kerap terjadi di lapangan antara lain adalah pengalihan sewa oleh penyewa kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan desa, pemanfaatan tanah yang menyimpang dari isi perjanjian, hingga penggunaan tanpa izin sama sekali.
Padahal, semua hasil pemanfaatan Tanah Kas Desa harus disetor ke Rekening Kas Desa sebagai bagian dari pendapatan desa, sesuai dengan Pasal 18 Permendagri 1/2016. Jika dana dari hasil sewa tidak tercatat dalam kas desa, hal ini berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang mutlak dalam pengelolaan aset desa.
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), semua perjanjian sewa menyewa juga harus memenuhi unsur sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika terjadi sengketa, penyelesaian harus dilakukan melalui musyawarah. Bila tidak berhasil, maka sengketa dapat dibawa ke jalur hukum, baik melalui Pengadilan Negeri maupun Lembaga Arbitrase, sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian awal.
Perangkat desa memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa pengelolaan aset desa dilakukan secara profesional dan sesuai aturan. Mereka juga harus tegas dalam menyelesaikan pelanggaran yang terjadi.
Di sisi lain, peran aktif masyarakat desa juga sangat penting. Warga desa harus memahami fungsi Tanah Kas Desa dan turut serta mengawasi penggunaannya. Jika menemukan indikasi penyalahgunaan, masyarakat berhak melaporkan ke pihak berwenang.
Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai peraturan, transparansi, keterlibatan masyarakat, dan pengawasan internal yang ketat adalah kunci utama dalam mencegah penyalahgunaan aset desa. Tanah Kas Desa seharusnya menjadi sumber kebaikan bersama, bukan malah menjadi ladang penyimpangan yang merugikan masyarakat.





