Peran Guru dalam Membangun Generasi Indonesia Emas di Era Digital

Ilustrasi foto/depositphotos
Ilustrasi foto/depositphotos

Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun peradaban. Di tangan guru, masa depan generasi bangsa digenggam. Sebagai pendidik, guru memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter, pengetahuan, dan keterampilan generasi muda.

Dalam konteks Indonesia, visi Indonesia Emas 2045 menjadi cita-cita besar yang hanya dapat diwujudkan melalui peran pendidikan yang optimal. Namun, pendidikan di Indonesia masih menghadapi tantangan seperti disparitas kualitas pendidikan, rendahnya kesejahteraan guru, dan kurangnya adaptasi terhadap perkembangan teknologi modern.

Bacaan Lainnya

Artikel ini mengulas peran strategis guru dalam membangun generasi Indonesia Emas, dengan merujuk pada pemikiran tokoh Muslim era modern, seperti Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman. Selain itu, artikel ini menghubungkan gagasan mereka dengan tantangan pendidikan di Indonesia serta dampak perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI).

Pemikiran Tokoh Muslim Era Modern tentang Pendidikan

Muhammad Abduh: Pendidikan sebagai Alat Transformasi Sosial

Muhammad Abduh, reformis Muslim abad ke-19, menekankan pendidikan sebagai sarana utama memperbaiki kondisi umat.[1] Ia berpendapat bahwa pendidikan harus mencakup aspek moral dan intelektual, serta mengkritik sistem pendidikan tradisional yang hanya berfokus pada hafalan. Abduh mendorong integrasi ilmu agama dan ilmu modern untuk menciptakan individu yang mampu menjawab tantangan zaman.[2]

Dalam konteks Indonesia, pandangan Abduh relevan untuk mendorong pembaruan kurikulum pendidikan yang tidak hanya berbasis pengetahuan, tetapi juga pengembangan karakter dan keterampilan kritis. Guru harus menjadi agen transformasi sosial yang membangun integritas moral dan sikap adaptif pada peserta didik.

Fazlur Rahman: Pendidikan Holistik untuk Keseimbangan Dunia dan Akhirat

Fazlur Rahman, intelektual Muslim abad ke-20, menekankan pentingnya pendidikan holistik yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan ilmu pengetahuan modern. Ia berargumen bahwa pendidikan harus membentuk manusia seimbang antara tanggung jawab duniawi dan ukhrawi.[3] Rahman mengkritik dualisme dalam sistem pendidikan Islam yang memisahkan ilmu agama dan ilmu sekuler.

Di Indonesia, gagasan ini dapat diwujudkan melalui penguatan peran guru dalam menyampaikan nilai-nilai keagamaan yang relevan dengan tantangan kehidupan modern, seperti etika teknologi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Tantangan Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru

Rendahnya kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil, menjadi tantangan besar. Kondisi ini berpotensi menurunkan motivasi dan kualitas pengajaran. Pemikiran Abduh tentang penghormatan terhadap guru relevan untuk mendorong pemerintah memberikan perhatian lebih pada kesejahteraan mereka. Kebijakan yang mendukung kenaikan gaji, pemberian insentif, serta akses pelatihan berkala dapat menjadi solusi.

Baca Juga: Upaya Efektif DLH Surabaya dalam Pengendalian Pencemaran Air Sungai Brantas

Ketimpangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi masalah utama. Fazlur Rahman menekankan pentingnya akses pendidikan merata. Guru dapat berperan menjembatani kesenjangan ini melalui pengabdian di daerah tertinggal. Namun, hal ini memerlukan dukungan kebijakan pemerintah, seperti peningkatan infrastruktur dan distribusi tenaga pengajar.

Era Revolusi Industri 4.0 menuntut literasi digital sebagai keterampilan penting. Sayangnya, banyak guru di Indonesia masih gagap teknologi. Pelatihan intensif dan fasilitas memadai sangat diperlukan agar guru mampu memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran efektif. Hal ini sesuai dengan visi Abduh dan Fazlur Rahman yang menekankan adaptasi pendidikan terhadap perkembangan zaman.

Peran AI dalam Pendidikan

Perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan (AI), menawarkan peluang besar dalam pendidikan. AI dapat membantu menciptakan pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa.

Dengan menganalisis data belajar, AI dapat merekomendasikan materi yang paling sesuai untuk setiap siswa. Selain itu, AI dapat menjembatani kesenjangan pendidikan di daerah terpencil melalui platform pembelajaran daring.

Namun, penggunaan AI juga menghadirkan tantangan, seperti interaksi yang sulit menggantikan kualitas hubungan manusia, etika dalam pendidikan, dan potensi ketergantungan pada teknologi. Dalam menghadapi perkembangan ini, peran guru tetap tak tergantikan. Guru harus mampu mengintegrasikan teknologi, termasuk AI, ke dalam proses pembelajaran yang mendukung tujuan pendidikan. Pendidikan karakter tetap menjadi tanggung jawab guru untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika pada siswa.

Guru memiliki peran strategis dalam membangun generasi Indonesia Emas. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moral, spiritual, dan ilmu pengetahuan modern sebagaimana digagas oleh Muhammad Abduh dan Fazlur Rahman, guru dapat menjadi agen perubahan yang melahirkan generasi berkarakter, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global. Untuk mendukung peran ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Baca Juga: Kontribusi UMKM terhadap Keberlanjutan Ekonomi Kota

Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan meliputi peningkatan kesejahteraan guru, penyusunan kurikulum adaptif terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan dunia kerja, serta pelatihan literasi digital secara masif.

Dengan upaya bersama ini, cita-cita Indonesia Emas 2045 bukanlah sekadar mimpi, melainkan visi yang dapat dicapai melalui kerja keras dan dedikasi seluruh elemen bangsa, terutama guru sebagai pilar utama pendidikan.


Referensi:

[1] Syamsul Bahri, Oktariadi. Konsep Pembaharuan dalam Perspektif Pemikiran Muhammad Abduh. Al-Murshalah 2016 2 (2): 35.

[2] Jatmiko Wibisono, Dkk. Konsep Pemikiran Pembaharuan Muhammadiyah Bidang Pendidikan (Studi Pemikiran Muhammad Abduh). Attractive: Innovative Education Journal 2023 5 (2): 515.

[3] Mukhammad Ilyasin. Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik: Menakar Manajemen Pendidikan Paripurna Berbasis Rasionalistik-Wahyuistik. At-Turas 2016 3 (1): 79.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *