Pertunjukan Orkestra “Gadda da Vida”: Simfoni Cinta yang Rapuh namun Bermakna

Pertunjukan orkestra Gadda da Vida/dokumentasi pribadi
Pertunjukan orkestra Gadda da Vida/dokumentasi pribadi

Pertunjukan musik orkestra adalah sebuah persembahan musikal yang disajikan oleh sekelompok musisi, memainkan berbagai alat musik secara bersamaan di bawah arahan seorang konduktor. Awalnya dikenal dengan karya-karya klasik, kini orkestra telah bertransformasi, menghadirkan musik pop untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Salah satu inovasi tersebut terlihat dalam pertunjukan Gadda da Vida, yang diselenggarakan oleh MiXth Event Organizer di Gedung Auditorium Universitas Brawijaya, Malang, pada 30 November 2024.

Bacaan Lainnya

Acara ini merupakan perayaan Dies Natalis MiXth Event Organizer dengan tema besar “In the Garden of Eden.” Sebagai bintang utama, The Premier Orchestra memukau penonton dengan alunan musik yang memadukan elemen klasik dan modern. Tidak hanya orkestra, acara ini juga diramaikan dengan penampilan tarian, marching band, serta paduan suara dari FOCS, UMM Choir, dan Ekalavya Suara Brawijaya.

Dalam pertunjukan Gadda da Vida, para penyelenggara berusaha memperkenalkan musik klasik kepada generasi muda dengan menggabungkan unsur musik pop dan klasik. Sayangnya, sajian ini didominasi oleh lagu pop yang diaransemen dalam format klasik, sehingga kurang memberikan ruang bagi karya klasik murni untuk bersinar. Padahal, memasukkan beberapa komposisi klasik bisa menjadi langkah penting untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap genre tersebut.

Baca Juga: “Cafe Cali”: Cafe ala Bali di Jakarta Pusat dengan Pemandangan City Light yang Mempesona

Salah satu hal menarik dalam pertunjukan ini adalah subtema bertajuk “A Fragile Tapestry of Love: Torn and Mended by The Threads of Time.” Narasi ini menggambarkan perjalanan hidup manusia melalui berbagai fase, mulai dari kebahagiaan, kehilangan, pengkhianatan, perubahan, hingga perbaikan diri.

Pesan moral yang kuat ini tersampaikan lewat sembilan adegan yang masing-masing merepresentasikan fase kehidupan. Namun, minimnya penanda pergantian adegan membuat penonton kesulitan memahami transisi antarbagian.

Pertunjukan dimulai tepat waktu pukul 19.00 dengan lagu pembuka “Havasi”, yang diiringi marching band. Sayangnya, penonton yang duduk di tribun atas tidak dapat menyaksikan aksi marching band secara langsung, melainkan hanya melalui layar Videotron di sisi kanan dan kiri panggung. Hal serupa terjadi saat para penari tampil, membuat pengalaman visual bagi penonton di tribun atas kurang optimal.

Dalam lagu “I See The Light” pada adegan kedua, terdapat kesalahan kecil oleh pemain saksofon. Untungnya, masalah ini segera diatasi sehingga tidak memengaruhi keharmonisan keseluruhan pertunjukan.

Baca Juga: Chipset Ngebut di Era Sekarang: Seberapa Penting?

Hal serupa juga terjadi pada lagu “Amin Paling Serius” di adegan ketujuh, di mana penyanyi sempat kesulitan mengambil nada pada bagian chorus. Beberapa instrumen, seperti terompet dan saksofon, juga terdengar kurang maksimal dalam beberapa lagu karena keterbatasan jumlah alat yang digunakan.

Meski demikian, Gadda da Vida tetap menjadi pengalaman yang luar biasa. Penonton diajak merasakan berbagai fase kehidupan melalui perpaduan musik, visual, dan narasi yang mendalam. Konsep unik ini sukses menarik perhatian banyak orang dan memberikan warna baru dalam dunia pertunjukan orkestra.

Ke depannya, diharapkan acara serupa dapat terus diselenggarakan di Kota Malang dengan tema yang lebih segar dan inovatif. Langkah ini tidak hanya akan memperkenalkan musik orkestra kepada masyarakat, tetapi juga membangun apresiasi yang lebih luas terhadap seni pertunjukan ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *