Duyung (Dugong dugon) merupakan mamalia laut yang saat ini menghadapi risiko tinggi kepunahan. Sejak tahun 1982, spesies ini telah dimasukkan dalam Global Red List oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status “Vulnerable to Extinction” atau rentan punah.
Selain itu, duyung tercantum dalam Appendix I CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti perdagangan bagian tubuhnya dilarang secara ketat dalam skala internasional.
Di Indonesia, duyung mendapat perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memasukkan duyung sebagai satu dari 20 spesies prioritas untuk dilindungi.
Salah satu alasan utama mengapa duyung berada dalam kondisi rentan adalah karena karakteristik biologisnya yang unik. Duyung memiliki tingkat reproduksi yang lambat. Mereka baru mencapai kedewasaan seksual pada usia 9–10 tahun, dengan masa kehamilan selama 14 bulan, dan hanya melahirkan satu anak setiap 2,5 hingga 5 tahun.
Dengan laju pertumbuhan populasi yang rendah seperti ini, sangat sulit bagi duyung untuk memulihkan populasinya apabila jumlahnya terus mengalami penurunan akibat aktivitas manusia.
Data yang dikumpulkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan bahwa ancaman terhadap duyung sangat nyata. Dalam enam bulan pertama tahun 2017, tercatat empat ekor duyung tertangkap.
Sebagian besar merupakan tangkapan sampingan (by-catch) dari kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring. Yang lebih mengkhawatirkan adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat: 84 persen responden dalam survei tidak mengetahui bahwa duyung termasuk satwa yang dilindungi.
Dari sisi ukuran, duyung dewasa memiliki panjang tubuh antara 2,5 hingga 3 meter dengan berat mencapai 225 hingga 450 kilogram. Namun, duyung yang tertangkap di Bangka Belitung umumnya berbobot hanya 100–200 kilogram.
Artinya, yang tertangkap adalah individu yang masih remaja atau belum dewasa, yang bahkan belum sempat berkembang biak. Fakta ini memperparah ancaman terhadap keberlangsungan spesies ini karena populasi tidak dapat diperbaharui secara alami.
Keberadaan duyung sangat penting bagi keseimbangan ekosistem laut, terutama ekosistem padang lamun yang merupakan habitat utamanya. Duyung dapat mengonsumsi 25–30 kilogram lamun basah setiap hari, membantu menjaga pertumbuhan lamun agar tetap sehat. Karena itu, kehadiran duyung di suatu wilayah bisa menjadi indikator alami akan kesuburan perairan laut.
Di wilayah Bangka Belitung, duyung kerap dijumpai di sekitar Pulau Semujur, Selat Gelasa, dan Pulau Bebuar. Kawasan-kawasan ini diperkirakan memiliki padang lamun yang subur. Dalam penelitian oleh Anderson (1981), disebutkan bahwa duyung memilih perairan dangkal seperti gosong atau estuaria untuk melahirkan, sebagai cara untuk menghindari predator seperti hiu.
Analisis SWOT dalam penelitian di Bangka Belitung menyimpulkan bahwa meskipun perlindungan hukum terhadap duyung sudah kuat, masih banyak tantangan besar. Salah satu kekuatan utama adalah status perlindungan dari hukum nasional maupun internasional, ditambah peran penting duyung sebagai indikator ekosistem dan adanya pengawas perikanan dan penyidik sipil (PPNS).
Namun di sisi lain, lemahnya pengawasan terhadap praktik penangkapan ikan ilegal, rendahnya kesadaran masyarakat, serta belum adanya pelatihan teknis penanganan duyung yang tertangkap secara tidak sengaja menjadi kendala serius.
Sementara itu, peluang yang dapat dimanfaatkan adalah penetapan kawasan konservasi yang dikelola oleh masyarakat, menjadikan duyung sebagai flagship species, serta mendorong riset dan pemantauan populasi duyung secara berkala. Di sisi lain, tantangan besar berupa terus menurunnya populasi duyung bisa mengakibatkan kepunahan lokal, yang pada akhirnya mengganggu kestabilan ekosistem laut.
Langkah-langkah konkret harus segera diambil untuk melindungi duyung, terutama di wilayah Bangka Belitung yang memiliki habitat penting bagi spesies ini. Upaya konservasi perlu mencakup penetapan kawasan konservasi laut khusus, peningkatan patroli dan pengawasan oleh aparat dan masyarakat, edukasi kepada warga lokal, penegakan hukum yang tegas, pemetaan habitat lamun, serta riset ilmiah berkelanjutan.
Penting juga untuk melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya melepaskan duyung yang tertangkap secara tidak sengaja. Studi menunjukkan bahwa di daerah Kurau Timur, Kabupaten Bangka Tengah, masyarakat masih mengonsumsi daging duyung sebagai lauk dan menjadikannya bagian dari tradisi kuliner turun-temurun.
Mereka beranggapan bahwa melepas duyung kembali ke laut adalah tindakan yang mubazir. Persepsi ini perlu diubah dengan pendekatan budaya dan agama, agar masyarakat memahami bahwa melindungi satwa yang hampir punah adalah bagian dari kewajiban moral untuk menjaga ciptaan Tuhan.
Selain itu, pelatihan kepada nelayan mengenai teknik penanganan duyung yang tertangkap tidak sengaja sangat dibutuhkan. Hal ini penting untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup duyung ketika dilepaskan kembali. Pemerintah juga perlu mendorong penggunaan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan minim risiko terhadap satwa dilindungi.
Kawasan seperti Pulau Semujur, Selat Gelasa, dan Pulau Bebuar sebaiknya segera ditetapkan sebagai kawasan konservasi duyung oleh pemerintah daerah. Pengelolaan kawasan ini harus bersifat partisipatif, melibatkan masyarakat lokal sebagai bagian dari pengawasan dan penjagaan. Dengan keterlibatan aktif warga, rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap perlindungan spesies laut seperti duyung akan semakin kuat.
Status “Vulnerable” yang disematkan oleh IUCN serta perlindungan dari CITES seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak, baik pemerintah, akademisi, LSM, maupun masyarakat luas, akan urgensi upaya pelestarian duyung.
Bila tidak ada langkah terkoordinasi dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin duyung akan lenyap dari perairan Indonesia. Hilangnya duyung bukan hanya kehilangan satu spesies, tapi juga kehilangan penjaga alami ekosistem padang lamun serta bagian dari warisan budaya dan alam yang seharusnya kita jaga bersama