Keberadaan teknologi digital tak terdengar asing lagi di semua kalangan. Disaat membuka mata sekalipun hal yang kita cari sekarang ialah ponsel pintar. Penggunaan media digital semakin lama seolah-olah sudah menjadi bagian keluarga di kehidupan masa kini.
Perkembangan budaya menjadi salah satu dampak berkembangnya media digital. Budaya atau culture menjadi tanda sebuah tempat dulunya pernah dihuni. Tak asing lagi masyarakat di penjuru dunia memegang erat budaya daerah setempat. Melestarikan budaya yang menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya.
Dengan kecanggihan teknologi masa kini. Suatu budaya semakin dikenal oleh masyarakat luas. Mengetahui seluk beluk suatu budaya yang sampai kini masih begitu dijaga oleh sekelompok masyarakat. Begitu banyaknya budaya yang ada di dunia.
Terutama di Indonesia yang terkenal dengan julukan Negara Multikultural dengan keanekaragaman budaya yang begitu luas. Kenduri, Tedak Siten, Tingkeban, budaya wayang kulit, dan masih banyak lainnya, dimana masih begitu fenomenal di kalangan masyarakat.
Namun, bukan semakin lestari justru malah mengkhawatirkan. Kecanggihan teknologi yang dianggap memiliki nilai positif, malah berdampak negatif terhadap budaya. Budaya menjadi biasa saja dengan kehadiran teknologi yang justru salah kaprah.
Budaya yang seharusnya lestari, berkembang sepanjang masa. Seketika pudar dengan hadirnya teknologi. Sontak membuat saya prihatin dengan keadaan yang sangat mengenaskan tersebut.
Hal tersebut pernah saya jumpai di daerah tempat tinggal saya. Dimana salah satunya adalah budaya kenduri atau selamatan. Biasanya acara tersebut bertujuan untuk mengirimkan doa bagi orang yang sudah meninggal atau acara brokohan seperti sawah, motor dan sebagainya.
Secara logika yang namanya kirim doa sudah pasti salah satu adat yang memerlukan kesakralan dan kekhusyukan. Namun sangat disayangkan, orang-orang yang melakukan tradisi kenduri alih-alih kehilangan fokus dan lebih memilih memainkan ponselnya sendiri.
Anehnya mereka tidak merasakan keganjilan saat memainkan ponsel pintarnya. Malah mereka senyum-senyum sendiri di tengah masyarakat yang sedang memanjatkan doa. Rata-rata ialah Gen Z. Minimnya kesadaran Gen Z tentang budaya leluhur lambat laun akan menganggap budaya kenduri sebagai budaya biasa saja hampir dianggap tidak penting. Bahkan budaya kenduri akan lenyap ditelan masa.
Bukan hanya budaya kenduri saja yang dikhawatirkan suatu saat akan lenyap. Tetapi budaya wayang kulit. Wayang kulit suatu tradisi yang kental akan budaya Jawa. Disutradarai oleh seorang Dalang. Beberapa bulan lalu saya sempat melihat pagelaran wayang kulit di daerah sekitar tempat tinggal saya.
Namun, dominan hanya bapak-bapak atau orang-orang sesepuh yang melihat pagelaran wayang kulit. Sama sekali tidak ada jejak Gen Z yang melirik tentang budaya Wayang Kulit. Mereka menganggap bahwa budaya wayang kulit adalah budaya kuno yang tidak sefrekuensi dengan Gen mereka yakni Gen Z apalagi Gen Alpha.
Sungguh sangat disayangkan, Gen Z lebih memilih memainkan ponsel pintarnya di gelapnya malam sambil begadang. Membiarkan budaya wayang kulit diminati oleh masyarakat seadanya. Padahal kelak Gen Z yang akan meneruskan budaya leluhur tersebut.
Kedua problem di atas tentu pernah dialami oleh beberapa orang di luar sana. Budaya yang seharusnya lestari mendadak mati dengan minimnya kesadaran terutama dari Gen Z. Entahlah, apa yang ada dipikiran mereka. Jikalau budaya mati bukankah suatu tempat dikatakan mati juga.
Di era globalisasi saat ini, seharusnya kita lebih bijak menghadapi situasi yang berkenaan dengan budaya. Sekali kita lengah, hak kebudayaan akan mudah dirampas oleh negara lain.
Masalah-masalah ini jika dibiarkan begitu saja akan berdampak negatif bagi perkembangan budaya leluhur. Suatu budaya akan tetap lestari apabila dikembangkan, dijaga dan terus menjadi tradisi sepanjang masa.
Namun miris sekali, keberadaan Gen Z begitu akrab dengan Gen strawberry. Karakteristik generasi yang memiliki jutaan kreatifitas, ribuan ide namun tumbang hanya dengan tekanan semata. Perlu diketahui bahwa teknologi yang bisa dikendalikan dengan sangat baik, akan berdampak baik pula bagi penggunanya. Budaya yang disebarluaskan dengan cara yang baik maka akan mudah dikenal oleh masyarakat dengan baik pula.
Generasi strawberry merupakan masalah besar di era globalisasi. Walaupun menyandang sejuta ide namun generasi strawberry juga dikenal dengan generasi yang mudah pesimis, mudah menyerah dan egois.
Bayangkan saja jika bukan Gen Z yang akan meneruskan budaya lalu siapa lagi? Tidak memungkinkan para leluhur akan terus hidup sepanjang masa. Perlu digaris bawahi juga bahwa Gen Z di era saat ini sangat mengkhawatirkan sekali.
Keingintahuan yang rendah akan budaya, dapat menghambat persebaran budaya. Terlebih media digital sudah merajalela di seluruh dunia. Pengaruh algoritma dalam perkembangan budaya sangat didominasi dengan munculnya berbagai situs AI (artificial Intelligence).
Berbagai aplikasi berupa AI dapat diakses oleh berbagai kalangan. Beberapa inti terkait budaya dapat dengan mudah diakses tanpa harus buka apk google. Kecanggihan AI hampir setara dengan situs-situs yang lainnya.
Di era globalisasi saat ini, untuk menghadapi pengaruh dari dunia digital yang diperlukan ialah mawas diri. Pengenalan budaya bisa melalui platform digital asalkan sesuai dengan kebutuhan. Karena Gen Z telah dikuasai oleh media digital yang sangat canggih.
Tidak memungkinkan jika pengenalan budaya lewat tuturan sesepuh atau para leluhur. Mungkin mereka akan menganggap sesuatu yang konyol atau kuno. Budaya yang disebar lewat platform digital akan menjadi ajang bahwa budaya masih bisa disebarluaskan tidak harus lewat dunia nyata tapi dunia maya.
Kebiasaan Gen Z begitu akrab dengan dunia serba digital. Begitupun dengan budaya wayang kulit semakin lama jarang diminati oleh Gen Z. Semua media digital akan berdampak positif asalkan sesuai dengan tupoksinya.
Wayang kulit sangat mendarah daging dengan istilah kejawen, dan itu tidak selevel dengan Gen Z yang serba canggih. Suatu budaya akan tetap lestari apabila kembangkan, dijaga, dan senantiasa menjadi tradisi bagi masyarakat setempat.
Asalkan memiliki peminat untuk mendukung daya tarik bagi masyarakat. Percuma juga apabila suatu budaya dikenal namun hanya sebatas dikenal tidak diminati atau bahkan hanya dilestarikan. Peran yang dapat diambil untuk menanggulangi budaya yang semakin merosot karena ulah media digital yakni menjadikan media digital sebagai platform penyebarluasan suatu budaya.
Semisal budaya wayang kulit di publish di suatu media sosial supaya masyarakat bisa mengenal dan mengakses tayangan wayang kulit dengan mudah tanpa harus terjun langsung ke lokasi. Nahasnya, sesudah di publish di media sosial peminat wayang kulit lagi-lagi kalangan Baby Boomer.
Generasi Z lebih sibuk dengan dunia malamnya, menghabiskan secangkir kopi sambil bermain ponsel pintarnya. Andai peristiwa malam sunyi itu digunakan untuk memutar tayangan tentang budaya wayang kulit atau budaya yang lain. Semua andaian itu hanya sebatas andai. Media digital sudah melahab keseluruhan isi otak gen Z.
Budaya akan terus lestari apabila penggunaan teknologi yang sewajarnya. Sebab jika kita lengah maka budaya akan dengan mudah diambil oleh negara lain. Dengan hadirnya media digital suatu budaya akan berkembang pesat namun bisa menyusut.
Semua tergantung bagaimana menggunakan dan digunakan secara sewajarnya. Bilamana ponsel pintar hanya digunakan ala kadarnya mungkin pengaruh media digital tidak terlalu berimbas pada budaya atau bidang lainnya.
Media digital akan membawa pengaruh yang baik bagi pengguna yang bijak begitupun sebaliknya. Pemanfaatan media digital dapat digunakan dengan mempublish suatu budaya supaya dikenal oleh masyarakat luas.





