Konflik Tanah Ulayat dan Kearifan Hukum Adat di Sumatera Barat

Ilustrasi foto/mongabay
Ilustrasi foto/mongabay

Hukum adat merupakan sistem hukum yang tumbuh dan berkembang dari nilai-nilai, norma, dan kebiasaan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Sistem ini memiliki otoritas tersendiri dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat adat.

Di Indonesia, salah satu isu paling pelik terkait hukum adat adalah konflik tanah ulayat, terutama di wilayah yang masih menjunjung tinggi tradisi adat seperti Sumatera Barat. Sengketa antara masyarakat adat dan perusahaan kerap kali menjadi medan pertarungan antara hukum adat dan hukum negara.

Bacaan Lainnya

Tanah ulayat tidak sekadar sebidang lahan. Ia adalah simbol identitas, sumber kehidupan, dan warisan spiritual yang menyatukan komunitas adat. Oleh karena itu, konflik atas tanah ulayat bukan hanya menyangkut persoalan kepemilikan, tetapi juga menyentuh nilai-nilai fundamental masyarakat adat.

Sengketa Tanah Ulayat di Nagari Koto Malintang

Salah satu konflik yang mencuat adalah di Nagari Koto Malintang, Sumatera Barat. Di sana, terjadi sengketa antara masyarakat adat dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan tersebut mengklaim tanah ulayat masyarakat sebagai bagian dari konsesi mereka, dengan dasar perizinan dari pemerintah daerah. Padahal, masyarakat adat menegaskan bahwa tidak pernah ada musyawarah atau persetujuan dari ninik mamak, tokoh adat yang memiliki kewenangan atas tanah ulayat.

Masuknya perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) memicu penolakan keras dari masyarakat. Mereka melakukan aksi protes dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, perjuangan ini tidak berjalan mudah.

Beberapa warga yang mempertahankan tanah adat mengalami intimidasi dan bentrok dengan aparat. Situasi ini menunjukkan bahwa konflik tanah ulayat melibatkan relasi kuasa yang timpang antara masyarakat adat, perusahaan, dan negara.

Konflik makin pelik karena perbedaan pandangan antara hukum adat dan hukum negara. Pemerintah daerah memandang tanah ulayat sebagai bagian dari wilayah administrasi yang sah digunakan untuk investasi. Sebaliknya, masyarakat adat menilai bahwa tanah ulayat bersifat komunal dan tidak dapat diperjualbelikan tanpa musyawarah adat.

Teori dan Landasan Hukum Adat

Konsep hak ulayat dalam hukum adat mengacu pada kepemilikan kolektif suatu komunitas adat terhadap tanah yang diwariskan secara turun-temurun. Pengelolaan dan pengalihan hak atas tanah tersebut harus dilakukan melalui kesepakatan bersama yang melibatkan seluruh elemen masyarakat adat.

Teori hukum adat yang dikembangkan oleh Soepomo, tokoh perumus sistem hukum nasional Indonesia, menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup di masyarakat dan berfungsi mengatur perilaku sosial berdasarkan nilai dan norma lokal. Ciri khasnya adalah pendekatan restoratif, yang lebih mengedepankan mediasi, musyawarah, dan mufakat ketimbang pendekatan represif atau litigasi formal.

Hukum adat juga memiliki dasar hukum dalam sistem hukum nasional. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan zaman.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat adat tetap dihormati selama masih nyata dan sesuai kepentingan nasional.

Lebih jauh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menguatkan kedudukan hukum adat dengan menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, melainkan milik masyarakat hukum adat. Ini menjadi yurisprudensi penting yang memperkuat posisi masyarakat adat dalam mempertahankan tanah ulayat mereka dari klaim sepihak.

Upaya Penyelesaian dan Tantangan yang Dihadapi

Masyarakat adat di Nagari Koto Malintang menempuh jalur hukum adat terlebih dahulu untuk menyatakan bahwa tanah ulayat tidak bisa dialihkan tanpa persetujuan adat. Namun karena konflik tetap berlanjut, kasus ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tantangan besar pun muncul, salah satunya adalah minimnya dokumen legal yang bisa menguatkan klaim masyarakat. Hal ini wajar, mengingat hukum adat lebih banyak menggunakan ingatan kolektif, saksi adat, dan peta historis sebagai dasar hukum.

Meski begitu, masyarakat adat berhasil menunjukkan bukti berupa kesaksian adat, dokumen dari masa kolonial, dan narasi sejarah yang mendukung eksistensi tanah ulayat tersebut. Perjuangan panjang akhirnya membuahkan hasil: pengadilan memenangkan gugatan masyarakat adat dan membatalkan izin perusahaan atas tanah tersebut.

Keputusan ini menjadi preseden hukum yang penting bagi masyarakat adat lain di Indonesia. Namun persoalan belum selesai. Implementasi keputusan tersebut sering kali terganjal berbagai hambatan, mulai dari lambannya birokrasi hingga tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Selain melalui jalur hukum, masyarakat juga melakukan advokasi lewat organisasi masyarakat sipil, media massa, dan jaringan internasional. Dukungan dari akademisi, aktivis lingkungan, dan lembaga HAM internasional menjadi penting dalam memperkuat posisi tawar masyarakat adat di tingkat nasional dan global.

Refleksi dan Harapan ke Depan

Konflik di Nagari Koto Malintang memperlihatkan betapa kuatnya posisi hukum adat dalam menjaga hak masyarakat terhadap tanah ulayat. Meskipun bertarung di ruang yang didominasi oleh sistem hukum negara, hukum adat terbukti masih memiliki legitimasi moral dan sosial yang kuat.

Ke depan, negara harus lebih serius dalam mengakomodasi keberadaan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Perlu ada sinkronisasi kebijakan yang mengatur hubungan antara hukum negara dan hukum adat agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Penguatan kelembagaan masyarakat adat juga penting, terutama dalam pencatatan tanah ulayat secara legal agar lebih diakui oleh negara.

Selain itu, edukasi hukum kepada masyarakat adat harus terus dilakukan. Hal ini penting agar komunitas adat mampu memperjuangkan hak-haknya tanpa harus selalu bergantung pada pihak luar. Kesadaran hukum yang tinggi akan memperkuat posisi masyarakat adat dalam menghadapi tekanan eksternal.

Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi semua pihak bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar masyarakat adat. Investasi dan pembangunan ekonomi harus sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan penghormatan terhadap budaya lokal.

Pengakuan terhadap hak ulayat bukanlah sekadar bentuk romantisme budaya, melainkan bentuk nyata dari keadilan sosial. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya, termasuk masyarakat adat, dari ketimpangan dan ketidakadilan struktural yang selama ini membayangi hak atas tanah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *