Bagi mahasiswa, magang sering dianggap sebagai tiket emas menuju dunia kerja. Dengan dalih menambah pengalaman dan membangun koneksi, banyak yang rela bekerja keras demi mempercantik CV. Namun, bagaimana jika magang justru terasa seperti kerja rodi? Tugas menumpuk, deadline ketat, jam kerja panjang, tetapi upah? Nol besar.
Sebagian orang berpendapat bahwa magang tanpa upah adalah investasi masa depan. Ilmu dan pengalaman dinilai lebih berharga daripada uang. Namun, kenyataannya, banyak peserta magang yang diberi beban kerja layaknya karyawan tetap tanpa kompensasi apa pun.
Fenomena ini memunculkan dilema besar, apakah magang tanpa upah benar-benar kesempatan belajar atau hanya akal-akalan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah? Jika tidak diatur dengan baik, magang bisa jadi eksploitasi terselubung. Oleh karena itu, penting untuk memahami lebih dalam agar tidak terjebak dalam jebakan magang yang merugikan.
Di Indonesia, program magang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri.
Dalam Pasal 21 UU No. 13 Tahun 2003, magang didefinisikan sebagai bagian dari pelatihan kerja yang dilakukan di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja berpengalaman. Program ini seharusnya memberikan keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi peserta.
Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak perusahaan memanfaatkan program magang sebagai tenaga kerja murah, bahkan tanpa kompensasi yang layak. Padahal, Pasal 10 Permenaker No. 6 Tahun 2020 telah mengatur bahwa peserta magang berhak atas uang saku, fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja, serta sertifikat magang. Dengan kata lain, membiarkan peserta magang bekerja tanpa imbalan sama sekali adalah bentuk pelanggaran hukum.
Bagi mahasiswa, magang merupakan kesempatan untuk mengenal dunia kerja sebelum benar-benar masuk ke dalamnya. Program ini dapat memberikan pengalaman dalam memahami budaya perusahaan, sistem kerja, serta etika profesional.
Selain itu, magang juga memungkinkan mahasiswa mengasah keterampilan teknis dan soft skills yang tidak selalu diajarkan di bangku kuliah. Banyak perusahaan menggunakan program magang sebagai metode rekrutmen, di mana peserta yang berprestasi memiliki peluang lebih besar untuk menjadi karyawan tetap. Magang juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membangun jaringan profesional yang bermanfaat di masa depan.
Namun, tidak semua pengalaman magang memberikan manfaat nyata. Banyak peserta justru mendapati bahwa mereka hanya menjadi tenaga kerja murah tanpa mendapatkan pelatihan atau pengalaman yang berarti.
Di berbagai industri, terutama media, desain grafis, dan startup, praktik magang tanpa upah semakin marak. Bentuk eksploitasi yang sering ditemukan adalah beban kerja berat tanpa imbalan, di mana peserta magang sering kali diberi tugas dan tanggung jawab layaknya karyawan tetap, tetapi tanpa gaji atau jaminan kerja.
Selain itu, beberapa perusahaan hanya memberikan tugas administratif atau pekerjaan repetitif tanpa ada bimbingan yang jelas. Mahasiswa juga harus menanggung sendiri biaya transportasi, makan, dan kebutuhan lainnya tanpa kompensasi. Ketimpangan akses juga menjadi masalah, karena mahasiswa dari keluarga kurang mampu lebih sulit mengikuti magang tanpa upah karena mereka harus mencari penghasilan untuk biaya hidup.
Dalam artikel “Fenomena Eksploitasi Mahasiswa Magang-Kerja Praktik oleh Perusahaan” yang diterbitkan di Kumparan, beberapa mahasiswa melaporkan pengalaman kerja yang menyerupai karyawan tetap, tetapi tanpa mendapatkan hak-hak dasar seperti upah, tunjangan, dan bimbingan yang memadai.
Mereka diminta bekerja dalam waktu yang panjang dengan beban tugas yang berat, sementara perusahaan tidak memberikan kompensasi yang layak atau manfaat yang seharusnya diperoleh peserta magang. Praktik ini mencerminkan eksploitasi terhadap mahasiswa magang, di mana mereka diperlakukan sebagai tenaga kerja murah tanpa perlindungan yang cukup.
Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 dan Permenaker No. 6 Tahun 2020, peserta magang berhak atas uang saku, fasilitas keselamatan, dan sertifikat. Namun, masih banyak perusahaan yang mengabaikan ketentuan ini, sehingga merugikan mahasiswa.
Di beberapa negara, seperti Prancis dan Jerman, magang tanpa upah hampir tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi tertentu. Indonesia bisa mempertimbangkan regulasi yang lebih ketat untuk melindungi mahasiswa dari eksploitasi.
Pemerintah harus memastikan bahwa Permenaker No. 6 Tahun 2020 benar-benar diterapkan, dengan pengawasan ketat terhadap perusahaan yang tidak memberikan hak peserta magang. Perusahaan juga harus lebih transparan dalam menetapkan tugas dan manfaat yang diberikan kepada peserta magang.
Jika tidak ada gaji, perusahaan harus memastikan adanya pelatihan dan mentoring yang jelas. Mahasiswa sendiri juga perlu lebih selektif dalam memilih program magang. Mereka harus mencari tahu apakah program tersebut benar-benar memberikan manfaat atau hanya memanfaatkan tenaga kerja murah.
Untuk memastikan bahwa program magang memberikan manfaat optimal bagi peserta, berbagai pihak perlu berperan aktif dalam meningkatkan kualitasnya. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan program magang serta menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah diakses oleh peserta.
Perusahaan perlu menerapkan kebijakan yang lebih adil dengan memberikan pelatihan yang layak serta kompensasi yang sesuai. Perguruan tinggi juga harus menyeleksi program magang yang direkomendasikan, sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman yang berkualitas.
Mahasiswa sendiri harus lebih kritis dalam memilih program magang. Sebelum mendaftar, mereka disarankan untuk mencari informasi mengenai perusahaan dan hak-hak mereka sebagai peserta magang.
Magang seharusnya menjadi ajang belajar, bukan sekadar kerja gratis berkedok pengalaman. Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang terjebak dalam program magang yang tidak jelas—beban kerja berat, tanpa bimbingan, apalagi kompensasi.
Padahal, jika dilakukan dengan benar, magang bisa menjadi pintu gerbang menuju karier yang lebih cerah. Supaya magang tidak hanya menjadi ajang eksploitasi, semua pihak harus ikut andil. Pemerintah perlu lebih tegas dalam mengawasi perusahaan, kampus harus selektif dalam merekomendasikan program magang, dan perusahaan wajib memberikan pengalaman yang benar-benar bermanfaat, bukan sekadar memanfaatkan tenaga murah.
Mahasiswa juga harus lebih kritis dalam memilih program magang. Jangan sampai hanya demi ‘poin pengalaman’, malah terjebak di tempat yang tidak menghargai usaha mereka. Dengan regulasi yang lebih ketat dan kesadaran mahasiswa yang lebih tinggi, magang bisa benar-benar menjadi jembatan emas ke dunia kerja, bukan sekadar batu sandungan.