Revisi Undang-Undang TNI: Langkah Sunyi Militer Kembali Menguasai Negara?

Ilustrasi foto/jawapos
Ilustrasi foto/jawapos

Revisi RUU TNI 2025 bukan sekadar perubahan regulasi, melainkan lonceng yang menggema keras: militer kembali ke panggung utama. Jika ini disahkan, TNI tidak lagi sekadar alat pertahanan, tetapi kekuatan politik, ekonomi, dan hukum yang siap mengambil kembali kendali yang pernah mereka genggam erat di era Orde Baru.

Reformasi yang dirintis sejak 1998 tampaknya hanya menjadi jeda singkat dalam sejarah panjang dominasi militer di Indonesia. Batas antara sipil dan militer yang coba dijaga dengan susah payah kini sedang dihancurkan perlahan.

Bacaan Lainnya

RUU ini menghapus larangan prajurit aktif menduduki jabatan sipil, membuka jalan bagi perwira militer untuk kembali bercokol di kementerian, lembaga negara, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini bukan sekadar penyimpangan dari UU TNI 2004, melainkan kembalinya Dwifungsi ABRI dalam kemasan baru.

Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan hanya soal individu militer yang diberi posisi, tetapi juga bagaimana institusi TNI kembali diposisikan sebagai pilar utama negara. Dengan regulasi ini, militer tidak hanya menjadi aktor keamanan, tetapi juga eksekutor kebijakan publik. Demokrasi dalam arti supremasi sipil sedang dikikis sedikit demi sedikit.

Lebih jauh, RUU ini memberikan kewenangan lebih besar bagi TNI dalam urusan yang sebelumnya berada di bawah domain sipil dan kepolisian. Dengan dalih “Operasi Militer Selain Perang” (OMSP), militer diberi kuasa untuk menangani narkotika, keamanan siber, hingga pengamanan proyek strategis nasional.

Ini lebih dari sekadar anomali; ini adalah upaya sistematis menormalisasi keterlibatan militer dalam kehidupan sipil. Ketika tentara diberikan mandat untuk masuk ke ranah penegakan hukum dan ekonomi, apa bedanya dengan negara militeristik?

Jika TNI sudah ikut mengurus narkotika, lalu apa tugas kepolisian? Jika mereka diberi hak mengamankan proyek strategis, bagaimana nasib mekanisme pengawasan sipil terhadap kebijakan ekonomi negara?

Masalahnya tidak berhenti di situ. RUU ini juga membuka celah besar bagi militerisasi ekonomi. Dengan legalisasi keterlibatan TNI dalam proyek strategis nasional, kita sedang berbicara tentang potensi kembalinya ekonomi militer, sebuah model yang pernah memperkaya elite tertentu di masa lalu.

Food Estate, Mining Business Group, dan proyek-proyek lain kini menjadi lahan bermain baru bagi tentara. Jika kita belajar dari sejarah, campur tangan militer dalam ekonomi bukan hanya soal pelanggaran prinsip profesionalisme, tetapi juga ladang subur bagi korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Reformasi yang menghapus bisnis militer nyatanya hanya menjadi jeda sejenak sebelum mereka menemukan celah untuk kembali.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan dari RUU ini bukan hanya isinya, tetapi juga cara ia diproses. Rapat Panja yang digelar di hotel pada 16 Maret 2025 bukan sekadar kebetulan, tetapi bukti nyata bahwa ada kepentingan yang ingin diamankan jauh dari sorotan publik.

Legislasi model ini mengingatkan kita pada gaya lama: aturan dibuat secara elitis, tanpa transparansi, tanpa ruang bagi partisipasi masyarakat. Ketika regulasi yang begitu strategis dibahas di balik pintu tertutup, kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya sedang mengendalikan negara ini?

Dari perspektif hukum, RUU ini adalah bentuk pembangkangan terhadap ketentuan yang lebih tinggi. TAP MPR No. VI dan No. VII Tahun 2000 dengan tegas memisahkan peran TNI dan Polri serta melarang militer terlibat dalam bisnis dan ekonomi.

Mengabaikan TAP MPR ini sama saja dengan merobek paksa warisan reformasi, menempatkan supremasi sipil sebagai konsep kosong yang tak lebih dari sekadar jargon politik. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi sebuah pernyataan terbuka: militer tidak lagi tunduk pada aturan yang dirancang untuk mengontrol mereka.

Di titik ini, sulit untuk tidak melihat benang merah antara RUU ini dengan naiknya Prabowo Subianto ke tampuk kekuasaan. Seorang mantan jenderal yang namanya begitu erat dengan sejarah kelam militer di era Orde Baru, kini memimpin negara dengan rancangan regulasi yang perlahan mengembalikan pola lama.

Jika mengacu pada teori otoritarianisme militer Juan Linz, ini adalah skenario klasik demokrasi semu, di mana militer tetap berada di belakang layar, mengontrol jalannya pemerintahan melalui berbagai mekanisme formal dan informal.

Revisi RUU TNI 2025 adalah momentum krusial yang akan menentukan ke mana arah demokrasi Indonesia. Jika ini disahkan, kita tidak hanya berbicara tentang militer yang semakin dalam menguasai sektor sipil, tetapi juga bagaimana negara ini secara perlahan tapi pasti bergerak menuju otoritarianisme.

Reformasi 1998 sudah terlalu mahal untuk dikorbankan begitu saja. Ini bukan sekadar perdebatan akademik atau isu hukum semata, tetapi tentang bagaimana negara ini akan dikelola dalam dekade-dekade mendatang.

Jika kita memilih diam, sejarah akan kembali menelan kita bulat-bulat. Militer akan semakin dalam mencengkeram kekuasaan, bukan hanya dalam urusan pertahanan, tetapi juga dalam kebijakan ekonomi, pengelolaan sumber daya, hingga administrasi pemerintahan daerah.

Kita tidak lagi hidup di negara demokrasi, melainkan dalam bayang-bayang dominasi militer yang sah secara hukum. Pertanyaannya bukan lagi apakah ini akan terjadi, tetapi sejauh mana kita akan membiarkannya berlanjut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *