Usia reformasi Indonesia terbilang dewasa, terhitung pasca pemilu 2024 tahun lalu kita memasuki usia 27 tahun reformasi Indonesia di tahun 2025 ini. Di usia ini, bangsa Indonesia masih diguyur berbagai macam persoalan mendasar: korupsi, politisasi indentias, masalah pendidikan, konflik SARA, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, kejahatan seksual, dan masih banyak lagi merupakan sejumlah problem klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama hingga sekarang.
Tepat sasar jika saya mengatakan bahwa kita semua lah yang mengemban pekerjaan rumah itu, Politisi, Dokter, Perawat, Guru, Dosen, Polisi, Tentara, Wartawan, Petani, Nelayan, dan segala jenis profesi dari wilayah pemerintahan dan swasta adalah individu-individu di dalam lanskap politik NKRI yang bertanggung jawab penuh atas probematika itu. Individu-individu itu dalam tulisan ini dan selanjutnya akan disebut sebagai zoon politicon.
Kita juga patut mengapresiasi sekaligus mengevaluasi lagi bahwa dari segi prosedural demokrasi di Indonesia memang sejak pemilu di tahun 1955 dan 1999 layak dikatakan tertib dan ideal (Tempo.co, 2023), lalu di tahun 2019 dan 2024 kemarin di katakan sebagai pemilu yang paling pilu karena masih dibarengi dengan pelbagai macam masalah mendasar (strong voters dan polarisasi) yang berujung pada aksi bentrok massa dengan aparat, toh semua berjalan sesuai amanat konstitusi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah keberhasilan demokrasi dari segi prosedural ini sudah merupakan suatu finalitas dari sebuah sistem demokrasi atau apakah benar-benar merupakan suatu pesta demokrasi yang patut dirayakan? Tentunya tidak, sebab kita tidak berhenti disitu, pesta selalu berakhir dengan beban pekerjaan yang menumpuk, demokrasi kita belum final dan mencapai titik akhirnya, demokrasi kita sedang on going dalam suatu ‘proses menjadi’.
Keberhasilan dari segi elektoral-prosedural itu menjadi sebuah ‘masa persiapan’ menuju demokrasi yang lebih substansial. Itu berarti bahwa level demokrasi kita hanya berada pada taraf elektoral-prosedural saja. Kita masih dihantui oleh macam-macam kompleksitas permasalahan di negeri tercinta ini.
Disini, kita sampai pada pertanyaan yang menjadi intisari dari tulisan ini, bagaimana seharusnya setiap individu sebagai ‘zoon politicon’ berperan sebagai agent of change bagi suatu tranformasi politik dari demokrasi yang melulu prosedural kepada yang prosedural sekaligus substansial? Berikut ini akan dijabarkan beberapa point yang menjadi basis argumen dalam mempersiapkan jawaban itu.
Zoon Politicon, apa itu?
Diskursus terkait konsep ‘zoon politicon’ sudah jadi barang biasa, istilah ini banyak kali digunakan di ranah ilmu filsafat, politik, hukum dan sosial. Secara historis, istilah ini pertama kali muncul di Yunani Kuno dari salah seorang filsuf termasyur mazhab klasik, Aristoteles (384-324 SM). Salah satu pemikiran Aristoteles yang paling berpengaruh dan masih relevan hingga saat ini ialah ajarannya tentang politik. Ia mengawali ajarannya ini dengan berbicara tentang negara-kota (polis).
Menurutnya negara terjadi berkat adanya sifat kodrati setiap Individu untuk hidup bersama (Ari Yuana, 2010). Istilah ‘Zoon politicon’ pada dasarnya terdiri dari dua kata yaitu ‘zoon’ berarti ‘hewan’ dan kata ‘politicon’ yang berarti ‘bermasyarakat’. Jadi, secara harafiah zoon politicon berarti hewan yang bermasyarakat.
Dalam argumen ini, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, suatu penegasan pembedaaan antara manusia sebagai makhluk rasional(ens rationale) dan hewan serta tumbuhan, sebagai makhluk irasional(ens irationale) (Strathern, 2001).
Bagi Aristoteles kehidupan yang baik memerlukan praktik-praktik sifat yang menjadikan kita manusia, sehingga pengembangan sifat manusia pada manusia individu pada akhirnya merupakan hal yang baik dan harus difasilitasi oleh negara.
Akibatnya, suatu negara dapat dinilai memiliki konstitusi yang baik atau buruk tergantung pada kemampuannya untuk memenuhi tugas pokok dalam mendukung pengembangan manusia individu. Dengan kata lain, negara tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan kemanusiaan (atau penafian terhadap kemanusiaan) warga negaranya.
Dari karya-karya Aristoteles, tiga sifat dasar manusia ditampilkan. Menurutnya, kita adalah hewan yang berbicara, hewan yang berpolitik, dan satu-satunya hewan yang dikaruniai akal budi (ens rationale). Kualitas terakhir ini bersifat ilahi karena memungkinkan pikiran terbebas dari kekacauan data sensorik (hasil pengamatan indrawi) yang kontradiktif dan tidak pasti (Iwona, 2024: 230).
Perlu saya tekankan disini bahwa manusia sebagai hewan yang berpolitik yang dimaksudkan Aristoteles bukan dalam artian literal atau dengan kata lain bukan hewan dalam arti yang sebenarnya, jelas bahwa manusia selalu melampaui hewan.
Dalam formulasinya yang paling terkenal istilah zoon politicon muncul dalam bukunya Politics yang menyatakan bahwa manusia secara alamiah adalah hewan politik dan karena itu negara-kota (polis) terjadi secara alamiah berdasarkan kesadaran alamiah individu.
Tetapi apa yang menjadi penopang terciptanya komunitas politik sebagai kebutuhan dasar (hewani) itu ialah bahwa kita mampu hidup dengan baik dan mencapai kebahagiaan hanya di dalamnya). Sebab baginya “it is the community within which we perfect o fully realize our naturesor functions” (itulah komunitas yang akan menjadi tempat kita menyempurnakan atau sepenuhnya menyadari sifat juga fungsi kita). Baginya polis “purpose for the sake of noble actions” (bertujuan demi suatu tindakan yang mulia) (Reeve, 2009, 516).
Akhirnya kita paham bahwa istilah hewan yang berpolitik yang disematkan Aristoteles sebagai sifat dasariah manusia (individu) bukan berkonotasi negatif melainkan positif, yakni berpolitik dalam arti dan hakikatnya yang sebenarnya.
Di sini Aristoteles mau menunjukkan bahwa individu bukan semata-mata hewan melata yang hanya ingin survive, melainkan makhluk yang mempunyai rasio dan berdasarkan itu ia mampu saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, kesejahteraan bersama/ bonum communae (Tjahjadi, 2004).
Sebagai konsekuensi dari kesadaran manusia akan sifat kodratinya itu ia mampu saling membangun relasi baik secara interpersonal maupun kolektif dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dan negara sebagai basis komunitas politik pun hadir sebagai penjamin terealisasinya suatu tujuan kehidupan yang baik demi kesejahteraan bersama.
Kesejahteraan Umum (Bonum Communae)
Point ini sengaja dicantumkan mengingat bahwa pemilu bukan sekadar suatu ‘acara rutin’ lima tahunan yang ditetapkan oleh konstitusi semata-mata hanya bertujuan untuk menentukan para pejabat publik yang baru, melainkan juga selalu terarah pada tugas pemimpin dan warga masyarakat yang dipimpin dalam mencapai tujuan negara itu sendiri.
Kita semua tahu bahwa tujuan negara itu memang untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Perlu dipahami bahwa konsep kesejahteraan umum tidak identik dengan jumlah kesejahteraan semua anggota masyarakat, yakni individu-individu.
Kesejahteraan setiap individu warga negara tidak hanya tergantung dari apa yang disediakan atau dikondisikan oleh negara, tetapi juga tergantung dari Individu warga negara itu sendiri (Magnis-Suseno, 1999).
Kesejahteraan umum itu memang diusahakan oleh negara tetapi dengan pengertian bahwa negara hanya memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan semua warganya dengan usaha sendiri menciptakan kesejahteraannya. Karena itu, kesejahteraan umum sebenarnya lebih tepat dirumuskan sebagai jumlah syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar para anggota masyarakat dapat sejahtera.
Jadi, kesejahteraan umum adalah keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi dirinya untuk dapat mencapai keutuhan atau perkembangan dirinya dengan lebih utuh dan cepat.
Akan tetapi, kapan seseorang merasa sejahtera? Jawabannya bisa dirumuskan secara negatif, bahwa individu itu sejahtera kalau ia bebas dari kelaparan dan kemiskinan, bebas dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, bebas dari penindasan, bebas dari perlakuan tidak adil.
Sedangkan secara positif manusia disebut sejahtera adalah apabila ia merasa aman, apabila ia dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia bebas mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan aspirasi dan potensi yang dimilikinya.
Yang harus diciptakan oleh negara adalah hanya prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan masing-masing individu sebagai anggota masyarakat dapat terwujud (Jegalus, 2023).
Peran Zoon Politicon Dalam Menentukan Arah Demokrasi
Perbincangan terkait isu-isu politik di Indonesia di masa kepemimpinan Prabowo-Gibran sejak bulan Oktober tahun 2024 kemarin mencuat di mana-mana, di sana-sini dan terus bergulir sampai hari ini.
Mulai dari diskusi-diskusi, tongkrongan sampai postingan-postingan medsos dipenuhi oleh perdebatan isu seputar ekses dari ‘kecurangan’ dalam pemilu kemarin sampai fallacy dalam putusan sidang sengketa pemilu oleh MK kemarin.
Demokrasi yang seharusnya, adalah yang ditentukan oleh akal budi arif individu-individu sebagai warga negara, justru peran individu sebagai warga negara mendapat tekanan disini, kedangkalan dalam memaknai hakekat demokrasi bisa berujung pada konflik yang tak berujung antar individu maupun kelompok.
Terdapat problem mendasar di negeri ini, para politisi mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional, dari kepala Daerah sampai kepala Negara, masih berkecenderungan memaknai demokrasi hanya sebagai prosedur atau mekanisme semata demi dan untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat.
Karena itu, bagi para politisi, demokrasi sudah ada dan sudah dijalankan, manakala mereka telah mengikuti prosedur atau mekanisme politik, seperti diselenggarakannya sebuah pemilu atau pemilukada. Maka mereka pun merasa dirinya telah mendapatkan legitimasi politik dari rakyat untuk memimpin daerah atau untuk mewakili rakyat di parlemen.
Bahwa untuk apa mereka diberi legitimasi oleh rakyat bukanlah persoalan utama mereka. Yang terpenting bagi mereka bahwa mereka menduduki posisi politik menurut proses rekrutmen politik yang sah. Itulah kenyataan pelaksanaan demokrasi sampai saat ini di negara kita.
Berbeda dari itu, masyarakat memahami demokrasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan tentang bagaimana masalah kesejahteraan dan keadilan hendak diselesaikan oleh para pemimpin dan wakil yang mereka pilih melalui pemilihan umum. Jadi, seperti apa yang dikatakan Popper ada semacam ‘demarkasi’ dalam memahami demokrasi. Garis pemisah dalam memahami demokrasi inilah yang selalu menjadi penghalang dalam usaha mencapai cita-cita bersama (Jegalus, 2023)
Kembali pada persoalan utama dalam tulisan ini, sebetulnya kita semua yang berbeda paham dalam memaknai demokrasi ini adalah sama-sama merupakan hewan yang berpolitik, zoon politicon. Artinya bahwa, masyarakat dan pemerintah sama-sama mempunyai panggilan mulia, mewujudkan kebaikan bersama.
Sebagai Zoon politicon kita memainkan suatu peran yang urgent disini. Mengaktivasi kembali kesadaran akan kepemilikan kodrat asali itu tentunya menjamin suatu kehidupan bersama yang baik demi mencapai suatu cita-cita bersama, sehingga, relasi yang terjalin disini bersifat multidemonsional, individu-individu, individu-kelompok, kelompok-kelompok, kelompok-individu, dan seterusnya.
Kesadaran akan kepemilikan kodrat ini membuat setiap individu untuk tidak terjebak dalam relasi yang berdimensi tunggal atau pada tingkat yang paling ekstrem kita jatuh pada problem politisasi identitas.
Jalan demokrasi Indonesia masih panjang, sehingga terlalu impulsif (gegabah) jika kita memberi suatu kesimpulan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem yang diterapkan di Indonesia pasca pemilu di tahun 2024 kemarin kehilangan arahnya.
Bagi saya kita tidak perlu terlalu pesimistis dalam memaknai fenomena ini sebagai suatu mortalitas dari sistem demokrasi kita. Sebab setiap individu siapapun yang membaca tulisan ini kiranya diajak untuk kembali kepada kesadaran otentik sebagai zoon politicon. Tidak hanya disitu kesadaran itu perlu mengejawantah dalam suatu aktus politik yang berlandaskan pada tujuan (telos) kesejahteraan bersama.
Kesimpulan
Sebuah tulisan tidak pernah akan mencapai suatu kesimpulan yang definitif, lengkap, final dan pasti. Yang penting bagi kita adalah refleksi dan usaha yang baik demi mencapai tujuan yang mulia itulah yang dibutuhkan bangsa ini.
Bagian ini bukan menjadi kesimpulan atau akhir tetapi sebuah refleksi dari berbagai kemungkinan interpretasi pembaca sehingga terbuka bagi diskusi lanjutan dari kita semua, zoon politicon-ens rationale. Kesadaran otentik, sebagai zoon politicon mempunyai peranan yang sangat fundamental.
Ketika setiap individu, setiap warga Negara Indonesia, baik warga masyarakat dan para politisi mampu mereflesikan kesadaran ini dan mewujudkannya sebagai itu yang melekat dengan dirinya, maka seluruh diri dan atau eksistensinya tidak terlepas dari refleksi akan kehadiran dengan dan untuk yang lain.
Sebagai implikasinya para politisi tidak hanya berorientasi pada demokrasi yang prosedural melulu, mencicipi kekuasaan semata-mata karena legitimasi hukum, tetapi selalu mampu menanggapi dan menjawab apa yang sedang dibutuhkan oleh mereka yang dipimpin.
Sebaliknya kepercayaan masyarakat pada demokrasi pun mengakar, mereka tidak hanya tenggelam ke dalam harapan akan sesuatu yang bisa diciptakan oleh para politisi secara instan (bonum communae?) melainkan bekerja sama memperjuangkan kesejahteraan bersama (bonum communae) itu.
Ini dimungkinkan ketika semua relasi itu dibangun atas dasar bersama dan demi tujuan yang sama. Jika kita bangga sebagai warga NKRI maka kita sebetulnya mengemban tugas yang satu dan sama secara universal, yakni membangun bangsa ini menuju ke arah demokrasi yang lebih matang. Quo Vadis? Marilah kita pergi pada tuntunan akal budi yang jernih menuju suatu panggilan mulia mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bangsa ini.
Bangsa ini hanya akan menjadi bangsa yang besar dan bermartabat jika dimpimpin oleh akal budi yang luhur serta kesadaran politis dan etis yang terpuji. Bhineka Tunggal Ika.