Sepuluh tahun sudah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan. Sebuah regulasi yang, pada awal kemunculannya, disambut sebagai tonggak sejarah baru bagi otonomi dan kemandirian desa.
Dana desa mengalir, kewenangan diperluas, dan janji-janji pemberdayaan rakyat di akar rumput seolah menemukan jalannya. Namun, satu dasawarsa berlalu, pertanyaan mendasar kembali bergema: apakah UU Desa masih relevan dalam menjawab dinamika yang terus berkembang di tingkat lokal?
Apakah yang dibutuhkan sekarang adalah revisi kebijakan atau sebaliknya, dorongan untuk menyerap dan mereplikasi inovasi-inovasi yang justru lahir dari desa itu sendiri?
Narasi besar tentang revisi UU Desa kembali menguat, terutama pasca munculnya tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun. Sebagian pihak menganggap perubahan itu krusial demi menjaga stabilitas pemerintahan desa dan kesinambungan program pembangunan.
Namun, di balik desakan itu, ada pertanyaan etis dan praktis yang belum tuntas dibahas: revisi untuk siapa? Untuk rakyat desa, atau untuk elite desa? Untuk memperkuat demokrasi lokal, atau justru mengamankan kursi kekuasaan?
Sementara wacana revisi bergulir di gedung parlemen dan ruang-ruang seminar, di pelosok-pelosok negeri, banyak desa justru bergerak tanpa menunggu sinyal dari pusat. Mereka membangun dengan sumber daya terbatas, berinovasi lewat kekuatan kolektif, dan mempraktikkan otonomi sejati dengan cara yang tak selalu tertulis dalam pasal-pasal undang-undang. Desa Ponggok di Klaten, misalnya, berhasil menyulap sumber airnya menjadi destinasi wisata unggulan yang menggerakkan ekonomi lokal.
Lewat BUMDes yang transparan dan akuntabel, mereka mengelola potensi lokal tanpa tergantung pada bantuan luar. Di Bojonegoro, desa-desa merintis partisipasi warga yang otentik melalui musyawarah desa berbasis data, bukan sekadar formalitas administrasi. Ada pula desa-desa di Nusa Tenggara yang mendorong konservasi hutan dan pengelolaan ekowisata berbasis komunitas.
Mereka tidak menunggu undang-undang berubah. Mereka bergerak karena kebutuhan, dan karena kesadaran. Mereka memanfaatkan ruang-ruang otonomi yang ada meski sempit dan mengisinya dengan praktik-praktik inovatif yang kadang lebih progresif dibanding aturan itu sendiri. Jika UU Desa adalah cetak biru, maka desa-desa ini telah mewarnainya dengan kreativitas yang hidup.
Di sinilah ironi muncul. Ketika desa-desa maju karena inisiatif lokal, negara justru cenderung melihatnya dari kacamata administratif belaka. Banyak regulasi teknis membatasi fleksibilitas desa, seolah desa tidak cukup dewasa untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Dana desa, yang sejatinya menjadi instrumen pemberdayaan, seringkali diseret menjadi alat kontrol birokratik. Audit yang kaku, pelaporan yang menumpuk, hingga ancaman kriminalisasi terhadap kepala desa membuat inovasi rentan tersandera oleh ketakutan.
Dalam banyak kasus, kebijakan justru datang terlambat atau tidak relevan dengan konteks setempat. Padahal, desa bukan entitas yang homogen. Desa di pedalaman Papua tentu berbeda kebutuhannya dengan desa di pesisir Jawa.
Kelembagaan desa pun berbeda-beda, ada yang masih kuat secara adat, ada pula yang terbentuk lewat birokratisasi. Ketika satu regulasi diberlakukan secara seragam, tanpa ruang adaptasi lokal, maka yang terjadi adalah kesenjangan antara norma hukum dan realitas sosial. Ini yang seringkali tidak ditangkap dalam logika revisi undang-undang yang terlalu elitis dan normatif.
Kita perlu mengubah perspektif: bukan semata-mata merevisi undang-undang agar lebih panjang umur jabatan kepala desa, tapi merevisi cara kita memandang desa sebagai entitas yang hidup, dinamis, dan mampu berpikir sendiri.
Yang harus direvisi adalah relasi kuasa yang selama ini top-down, menjadi kemitraan yang sejajar. Yang harus diubah bukan hanya pasal-pasal, melainkan paradigma pembangunan yang menghargai kearifan lokal dan partisipasi warga.
Ketika desa diberikan kepercayaan yang cukup dan ruang yang luas untuk bereksperimen, maka desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, melainkan subjek perubahan sosial. Bukankah demokrasi yang sehat seharusnya tumbuh dari bawah ke atas?
Maka inspirasi dari desa-desa yang lebih dulu berlari dari regulasinya perlu dihormati sebagai guru, bukan pengecualian. Tentu, tak semua desa berjalan di jalur yang sama. Masih banyak desa yang tertinggal, terjerat praktik koruptif, atau tersandera konflik internal.
Tetapi justru di situlah pentingnya mengangkat narasi-narasi keberhasilan sebagai inspirasi, bukan sekadar cerita motivasi. Pemerintah pusat dan daerah seharusnya tidak hanya mengontrol dan mengaudit, tetapi juga belajar dari praktik terbaik, mendukung melalui pelatihan, pendampingan, dan perlindungan hukum bagi aparatur desa yang bekerja jujur dan inovatif. Sepuluh tahun UU Desa adalah momentum untuk mengevaluasi, tapi evaluasi tidak harus berujung pada tambal sulam pasal demi pasal.
Bisa jadi, yang kita perlukan bukan revisi undang-undang, tetapi reorientasi semangat: dari kontrol menuju kepercayaan, dari birokratisasi menuju pemberdayaan, dari seragam menuju keberagaman. Biarlah desa menjadi laboratorium sosial yang bebas bereksperimen untuk menemukan jalan terbaiknya sendiri. Ketika desa-desa telah lebih maju dari undang-undangnya, barangkali bukan undang-undangnya yang perlu mendikte desa, tapi desa yang memberi arah bagi perubahan undang-undang itu sendiri.