Kurcaci Jalanan

Ilustrasi foto/banten Insight
Ilustrasi foto/banten Insight

Pagi di kota selalu datang dengan riuh. Langit masih berwarna abu-abu lembut ketika deru kendaraan mulai bersahutan, menyusuri jalan yang basah oleh sisa embun semalam. Asap tipis dari warung kopi di sudut jalan bercampur dengan aroma gorengan yang baru matang.

Di trotoar, orang-orang bergegas dengan langkah cepat membawa harapan dalam tas punggung dan tangan yang menggenggam cangkir kopi panas. Di antara gedung-gedung tinggi, suara klakson menciptakan harmoni khas kota. Pagi di sini bukan sekadar waktu, tetapi panggung bagi ribuan cerita yang dimulai serentak.

Bacaan Lainnya

Di sudut trotoar yang mulai penuh, seorang pria tua duduk bersandar pada tembok kusam, mengenakan pakaian lusuh dan usang untuk melawan dinginnya pagi. Di depannya, ada botol bekas yang sudah terpotong setengahnya, setia menunggu koin yang terjatuh. Rambut acak-acakan dan wajahnya yang tirus penuh bayang-bayang memancarkan kelelahan, seakan menyimpan cerita hidup yang keras di dalamnya.

Tak jauh dari sana, seorang ibu menggandeng anaknya yang berusia kurang dari lima tahun sambil menenteng karung berisi kaleng bekas. Anak itu tersenyum polos meski kaki kecilnya tanpa alas menyentuh trotoar yang kasar.

Sementara itu, langkah-langkah cepat yang melintas seakan tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Di tengah hiruk pikuk kota, mereka tetap ada, menjadi bagian dari ritme kota yang sering kali tak berpaling pada mereka.

Dari arah utara, di lampu merah, seorang pemuda duduk di atas motor tua berkarat, suaranya meraung pelan setiap kali mesin dinyalakan. Helm di kepalanya terlihat lusuh, dengan goresan-goresan kecil menceritakan usianya. Jaket yang ia kenakan sudah pudar warnanya, tetapi tetap ia pakai rapi, seolah itu adalah tameng terakhir untuk menjaga harga dirinya.

Pemuda itu berhenti di sebuah trotoar, mematikan mesin motornya, kemudian turun sambil menggenggam erat setumpuk map plastik berisi dokumen. Ia berjalan pelan menghampiri botol bekas yang dijaga oleh pria tua di sampingnya.

“Kek, sudah sarapan?” tanya pemuda yang duduk bersila di trotoar sambil memunguti koin di depannya.

“Belum, Nak,” jawab lelaki tua dengan suara serak dan gemetar.

“Ini, Kek, saya punya roti nanas,” pemuda itu menyerahkan roti yang ia ambil dari dalam tas punggungnya.

“Loh, terus Adeknya makan apa kalau rotinya dikasihkan ke Kakek?”

“Saya sudah makan kok, Kek, tadi di kosan. Silakan dimakan dulu, Kek,” pemuda itu berbohong, sebenarnya hanya itulah makanan yang ia punya saat ini untuk mengganjal perutnya.

“Terima kasih ya, Nak. Kakek makan ya rotinya.” Lelaki tua itu makan dengan sangat lahap seperti sudah tak makan beberapa hari.

Pemuda itu menarik napas panjang, melihat kakek di depannya yang kelihatan sangat bahagia walaupun hanya dengan sebungkus roti yang ia berikan.

Tak jauh dari mereka, seorang wanita tua dengan uban yang cukup banyak menggandeng seorang anak kecil, mungkin cucunya. Anak itu bercanda dengan neneknya sambil membawa kantong kresek berisi botol bekas di tangan kirinya.

“Nenek tadi bilang kita bakal makan roti, kan, nanti malam?” Anak itu bertanya dengan senyum riang.

“Iya, nanti kita makan roti ya. Mau roti rasa apa?” wanita tua itu menanggapi dengan senyum sendu.

“Eummm, mau rasa nanas boleh, Nek?” tanyanya riang.

“Boleh kok, nanti makan bareng Nenek ya.”

“Yeayyy!” Anak malang itu melompat-lompat kegirangan.

Pemandangan itu tak luput dari pandangan pemuda yang masih berada di samping kakek tua tadi. Hati pemuda itu bergetar, seperti ada yang mencubit dalam-dalam. Tiba-tiba rasa iba bergulung dalam dadanya, bercampur dengan keinginan sederhana untuk membantu.

Namun, saat ia merogoh kantongnya, ia hanya menemukan beberapa uang kertas yang ia hemat untuk hari-hari ke depan sampai ia menemukan pekerjaan di kota besar ini. “Apa aku ini terlalu egois kalau tak bisa berbagi?” pikirnya.

Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir dilema itu, tetapi bayangan wajah anak kecil itu selalu muncul di benaknya. Seperti sebuah pengingat bahwa di tengah perjuangannya yang sulit di kota rantau, juga ada orang lain yang berjuang dengan cara yang berbeda dan mungkin lebih berat.

Pemuda itu menghela napas panjang, melirik kakek tua yang duduk bersandar di sampingnya. Wajah tua yang penuh kerutan, tetapi senyumnya masih hangat. Di dekatnya, botol berisi sedikit koin bergoyang pelan setiap kali angin bertiup.

“Kek, saya pamit dulu. Doakan ya, semoga kali ini saya diterima kerja,” kata pemuda itu lirih, namun penuh harap.

Kakek itu mengangguk pelan, sorot matanya teduh. “Jangan takut gagal, Nak. Kalau pun hari ini bukan rezekimu, besok masih ada. Tuhan tak pernah lupa pada orang yang mau berusaha.”

Pemuda itu tersenyum tipis, terasa berat meninggalkan percakapan yang terasa seperti pelukan itu. Ia menyalakan motornya yang mengeluarkan suara berat. Sebelum melaju, ia melirik sekali lagi pada kakek itu, lalu melambaikan tangan.

“Terima kasih, Kek. Saya pergi dulu.”

Kakek itu mengangkat tangannya, memberi doa dalam diam.

Melanjutkan perjalanan di tengah hiruk pikuk kota dengan isi kepala yang tak jauh berbeda dengan keadaan jalanan. Namun, di tengah perjalanan, rintik hujan mulai turun, membasahi jalanan kota.

Suara gemerisik kecil terdengar ketika butiran hujan menyentuh helm dan jaket lusuh yang ia kenakan. Pemuda itu akhirnya menepi di bawah atap sebuah toko yang masih tutup, menghentikan motor tuanya yang memiliki suara derak khas itu.

Ia melamun di tengah deraian hujan. “Harapan,” gumamnya pelan, seakan menjawab pertanyaan hatinya sendiri. Ia memejamkan mata, membiarkan dinginnya angin menerpa wajahnya. Kekosongan hatinya kini mulai terisi. Orang-orang itu, meski hanya sekilas ia perhatikan, memberikan pelajaran yang tak pernah ia duga.

Ketika ia membuka mata, dunia terasa berbeda. Dingin hujan tak lagi menyiksa. Ia berdiri, merapikan jaketnya, lalu melangkah pergi. Mungkin hidup tak akan mudah, pikirnya, tetapi dunia akan terus berjalan. Harapan adalah sesuatu yang ia temukan hari ini, di tengah hiruk pikuk jalanan kota.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *