Pendirian rumah ibadah non-Muslim di Cilegon, khususnya kasus pembangunan gereja, telah menjadi perdebatan yang kompleks dan sensitif dalam beberapa dekade terakhir. Sejarah penolakan yang melibatkan peristiwa anarkis pada tahun 1994 dan dinamika sosial serta politik lokal menjadi latar belakang penting dalam memahami konteks kasus ini. Perlindungan hukum terhadap pendirian rumah ibadah non-Muslim juga menjadi sorotan penting, terutama dalam evaluasi terhadap ketidakpatuhan terhadap peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Pemerintah daerah, terutama Lurah Gerem dan jajaran Pemkot Cilegon, memiliki peran krusial dalam menyikapi penolakan tersebut. Tindakan mereka dalam menolak validasi dan pengesahan dukungan pendirian gereja serta implikasi hukum dari tindakan tersebut menjadi bagian penting dari analisis kasus ini. Kebutuhan nyata berdasarkan komposisi jumlah penduduk non-Muslim di Cilegon juga menjadi pertimbangan penting, bersama dengan perspektif hak asasi manusia dan kebebasan beragama.
Analisis terhadap faktor-faktor penyebab rendahnya Indeks Kota Toleran di Cilegon serta studi tentang sejarah toleransi beragama di Banten menambah kompleksitas pemahaman terhadap masalah ini. Dampak sosial dan psikologis terhadap warga non-Muslim akibat penolakan pendirian rumah ibadah juga harus diperhatikan, bersama dengan evaluasi terhadap kebijakan lokal dan Peraturan Daerah yang diskriminatif.
Dalam konteks ini, pendekatan Fazlur Rahman terhadap teks dan konteks dalam penafsiran hukum sangat relevan. Fazlur Rahman menekankan pentingnya memahami prinsip-prinsip inti dari teks-teks agama dalam konteks sejarahnya dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara adil dan relevan dalam konteks sosial dan hukum kontemporer. Dengan mengedepankan kebebasan beragama, keadilan, dan toleransi, pendekatan ini dapat membantu menciptakan solusi yang inklusif dan menghormati hak-hak semua komunitas beragama di Cilegon.
Pendekatan double movement dalam teori Fazlur Rahman menekankan adanya gerakan yang searah dengan tradisi agama (movement of continuity) untuk memahami prinsip-prinsip inti agama dalam konteks kontemporer, sekaligus gerakan yang menyesuaikan diri dengan realitas sosial baru (movement of discontinuity). Dalam kasus pembangunan gereja di Cilegon, double movement ini dapat diterapkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip inti agama dalam Islam dan menerapkannya dalam konteks toleransi, keadilan, dan kebebasan beragama.
Dalam hal ini, pemahaman atas hak asasi manusia, prinsip keadilan, dan kebebasan beragama harus dipertimbangkan secara seksama dalam konteks lokal Cilegon. Penolakan pendirian rumah ibadah non-Muslim harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat inklusi dan toleransi dalam masyarakat, bukan sebagai bentuk diskriminasi atau intoleransi. Dengan demikian, pendekatan Fazlur Rahman dapat menjadi panduan yang kuat dalam mencari solusi yang adil dan inklusif dalam kasus ini.