Ketahanan Pangan di Tengah Tantangan: Menguatkan Petani untuk Swasembada Pangan

Ilustrasi foto/suarapena
Ilustrasi foto/suarapena

Ketahanan pangan menjadi program prioritas utama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam agenda pembangunan nasional, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.

Tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan efisiensi anggaran serta menjamin ketersediaan pangan yang cukup, terjangkau, dan berkualitas bagi masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan merilis kebijakan Batas Pagu Pengeluaran (BPP) untuk tahun anggaran 2026, dengan fokus utama pada program Makan Gizi Gratis, Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, Perumahan, serta Pertahanan dan Keamanan.

Bacaan Lainnya

Penekanan pada ketahanan pangan mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjamin pasokan pangan yang stabil sekaligus mendorong pertumbuhan sektor pertanian, memperkuat ekonomi pedesaan, serta mengurangi ketergantungan pada impor. Dalam pidato perdananya setelah pelantikan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus segera mencapai swasembada pangan demi memastikan kemandirian bangsa.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi pada tahun 2024 diprediksi mencapai 52,66 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), mengalami penurunan sebesar 1,32 juta ton atau 2,45 persen dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 53,98 juta ton. Penurunan ini dipengaruhi oleh perubahan iklim, kondisi tanah pertanian, serta keterbatasan akses terhadap pupuk dan benih unggul.

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian berupaya meningkatkan sektor pertanian dengan mengoptimalkan bendungan dan irigasi, menerapkan strategi intensifikasi (Quick Win) dan ekstensifikasi guna memperluas lahan serta meningkatkan produktivitas pertanian. Pemerintah juga menyediakan sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, alat mesin pertanian, serta program olah lahan dan cetak sawah baru seluas 1,3 juta hektare.

Berdasarkan data Badan Standardisasi Instrumen Pertanian, Kabupaten Lebak memiliki luas lahan pertanian 51.298 hektare sawah dan 253.175 hektare lahan darat, menjadikannya salah satu daerah dengan potensi besar sebagai lumbung pangan di Provinsi Banten. Namun, meskipun memiliki luas lahan yang besar, Kabupaten Lebak masih menghadapi tantangan dalam mempertahankan ketahanan pangan.

Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Nasional, Kabupaten Lebak berada di peringkat ke-7 dari 8 kabupaten/kota di Banten dengan nilai 72,76 (Badan Pangan Nasional, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa luas lahan pertanian yang besar tidak otomatis menjamin tingginya ketahanan pangan tanpa optimalisasi pemanfaatan sumber daya dan penyelesaian hambatan yang ada.

Salah satu kendala utama adalah keterbatasan akses terhadap benih unggul. Banyak petani di Kabupaten Lebak masih mengandalkan benih lokal turunan, bukan benih indukan seperti Aqua dan Brito.

Kurangnya kepercayaan terhadap benih bantuan pemerintah juga menjadi tantangan, karena petani sering mengalami hasil panen yang tidak sesuai harapan akibat kurangnya adaptasi benih dengan kondisi tanah pertanian setempat.

Oleh karena itu, program bantuan benih tidak hanya perlu ditingkatkan secara kuantitas, tetapi juga melalui pendekatan edukatif dan pendampingan intensif kepada petani agar memahami manfaat jangka panjang penggunaan benih unggul.

Selain benih, kebijakan pupuk subsidi juga menjadi tantangan serius. Perubahan kebijakan yang mengharuskan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) memiliki gudang penyimpanan sendiri agar dapat menerima pupuk subsidi justru menambah beban bagi petani kecil yang memiliki keterbatasan modal.

Akibatnya, banyak petani tetap membeli pupuk di pasar dengan harga lebih tinggi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan solusi yang lebih inklusif, seperti bantuan modal atau penyediaan gudang bersama, agar subsidi pupuk dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh petani.

Ancaman lain bagi pertanian di Kabupaten Lebak adalah serangan hama dan satwa liar, seperti monyet, kukang, dan babi hutan, yang sering merusak tanaman di lahan pertanian dekat kawasan hutan. Program Gerakan Pengendalian (Gerdal) yang diterapkan pemerintah masih belum cukup efektif dalam menangani masalah ini. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang lebih tepat, seperti konservasi hutan yang lebih baik agar ekosistem tetap seimbang tanpa merugikan petani.

Selain itu, masalah infrastruktur pertanian, terutama sistem irigasi, masih menjadi kendala utama, terutama bagi petani yang jauh dari sumber air seperti sungai. Penggunaan pompa air menjadi solusi, tetapi biayanya tidak murah, terutama karena tingginya harga solar.

Bantuan pemerintah dalam bentuk infrastruktur pertanian seperti traktor besar juga kerap tidak sesuai dengan kebutuhan petani, mengingat banyak lahan sawah di Kabupaten Lebak berukuran kecil dan sulit dijangkau alat berat.

Selain tantangan produksi, pemasaran hasil panen menjadi persoalan lain bagi petani. Banyak petani memilih untuk mengonsumsi hasil panen sendiri ketika harga gabah rendah. Jika harga stabil, petani menjual gabah kering ke tengkulak seharga Rp7.000 per kilogram, sementara harga yang ditawarkan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) lebih rendah, yakni Rp6.500 per kilogram, dengan persyaratan yang lebih rumit.

Belum adanya kebijakan kepastian pasar induk di Banten menyebabkan petani kesulitan bersaing dengan produk dari luar daerah. Komunitas pertanian seperti Urban Farming Lebak bahkan lebih memilih menjual gabah ke Karawang, karena harga lebih tinggi.

Ironisnya, beras hasil panen tersebut kembali dijual di Banten dengan label beras unggulan dari luar daerah, sementara hasil panen lokal justru dinilai lebih rendah di pasar setempat. Kondisi ini menunjukkan perlunya regulasi yang lebih berpihak pada petani lokal, baik dalam distribusi maupun perlindungan harga jual.

Menghadapi berbagai tantangan ketahanan pangan, pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan memberikan kesejahteraan bagi petani. Peningkatan produksi tidak akan maksimal jika petani masih dihadapkan pada keterbatasan akses benih unggul, pupuk subsidi yang sulit diperoleh, serta infrastruktur irigasi yang belum merata. Selain itu, penyelesaian permasalahan pupuk subsidi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif.

Di sisi lain, perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian menjadi langkah mendesak agar petani tidak terus-menerus berada dalam ketidakpastian harga dan pasar. Jika masalah distribusi ini tidak segera ditangani, bukan hanya kesejahteraan petani yang terancam, tetapi juga ketahanan pangan nasional.

Keberlanjutan sektor pertanian harus menjadi prioritas bersama, baik oleh pemerintah, akademisi, maupun masyarakat luas, agar Indonesia dapat mencapai swasembada pangan dan memastikan pangan yang layak, bergizi, serta terjangkau bagi seluruh rakyatnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *