Membedah Viralitas Drama Pelanggaran Merek Dagang

Ilustrasi foto/istockphoto
Ilustrasi foto/istockphoto

Fenomena pelanggaran merek dagang kini semakin sering menjadi sorotan di era digital, terlebih dengan kehadiran media sosial sebagai panggung utama. Mulai dari kopi dengan nama hampir serupa, merek kecantikan yang nyaris identik, hingga bisnis waralaba dengan label yang membingungkan, semua ini menunjukkan bagaimana sengketa merek dagang telah menjadi isu besar yang melibatkan reputasi dan keberlangsungan brand lokal di Indonesia.

Sebuah laporan dari Davidson & Zhang (2024) mengungkap peningkatan tajam kasus sengketa merek dagang yang terekspos melalui media sosial, yaitu sebesar 147% dalam tiga tahun terakhir. Media sosial yang awalnya berfungsi sebagai alat promosi kini menjadi medan perang reputasi, di mana algoritma dan hashtag memainkan peran krusial. Sayangnya, kemudahan membangun bisnis di era digital juga membuka celah bagi pelanggaran etika yang serius.

Bacaan Lainnya

Kasus antara TUKU Coffee dan Toko Coffee, misalnya, menggambarkan betapa rumitnya sengketa merek dagang di ranah digital. Penelitian Martinez & Johnson (2023) mencatat bahwa 65% UKM menghadapi tantangan dalam mencari nama unik untuk bisnis mereka.

Meski begitu, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meniru secara terang-terangan. Pasal 4 UU Merek Republik Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa merek harus memiliki ciri khas dan tidak menyerupai merek lainnya.

Tak hanya industri kopi, drama serupa juga melanda dunia kuliner waralaba. Kasus Geprek Bensu melawan I Am Geprek Bensu menjadi contoh bagaimana personal branding dapat menjadi sumber konflik hukum. Ruben Onsu yang telah membangun nama besar “Bensu” harus menghadapi tantangan di media sosial yang menguji ketahanan mereknya. Kajian Williamson & Park (2024) bahkan menilai kasus ini sebagai tonggak penting dalam melindungi hak merek selebritas.

Baca Juga: Pilih Musik yang Tepat, Atasi Masalah Kesehatan Mental

Sementara itu, industri kecantikan juga tak luput dari sengketa serupa. Kasus MS Glow versus PS Glow memperlihatkan risiko besar yang dihadapi oleh brand skincare. Penelitian Yang & Chen (2024) menunjukkan bahwa 89% konsumen produk kecantikan sangat bergantung pada kepercayaan terhadap merek, sehingga praktik peniruan bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman besar terhadap kepercayaan konsumen.

Dampak dari fenomena ini tidak main-main. Studi Digital Rights Impact (2024) mencatat bahwa kerugian reputasi akibat kasus copycat dapat mencapai Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar bagi merek yang menjadi korban. Prof. Kim dalam Asian Social Media Law Review (2024) menyebut media sosial sebagai “pengadilan opini publik” yang mampu menentukan nasib suatu merek dengan cepat.

Namun, di balik segala sengketa ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah etika bisnis masih relevan di era digital? Undang-Undang Merek memang memberikan perlindungan hukum, tetapi tanpa moralitas yang kuat, regulasi tetap sulit diterapkan. Era digital membuka peluang tanpa batas, namun tidak berarti kreativitas dan kejujuran boleh dikorbankan demi popularitas instan.

Baca Juga: Mengubah Tekanan Ekonomi Menjadi Peluang: Akuntansi Manajemen di Tengah Volatilitas Pasar Manufaktur

Generasi digital memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan ekosistem bisnis yang lebih bermartabat. Kreativitas dan inovasi harus menjadi pilar utama, bukan meniru atau mengeksploitasi kesuksesan orang lain. Drama pelanggaran merek mungkin menarik perhatian di media sosial, tetapi dampaknya nyata, menghancurkan reputasi dan kerja keras banyak pihak.

Sebuah merek bukan sekadar logo atau nama. Ia adalah simbol janji, integritas, dan kepercayaan kepada konsumen. Dalam era digital yang terus berkembang, mari kita junjung tinggi etika bisnis dan inovasi demi menciptakan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *