Paradoks Publikasi Ilmiah Indonesia: Kuantitas yang Melonjak Namun Kualitas dan Hilirasi yang Terlupakan

Ilustrasi foto. (penulis)
Ilustrasi foto. (penulis)

Publikasi ilmiah di Indonesia tengah mengalami lonjakan dari segi kuantitas, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan data dari Scopus.com pada tahun 2022, Indonesia menghasilkan sebanyak 45.833 dokumen ilmiah yang terindeks di Scopus.

Angka ini terus meningkat menjadi 59.808 dokumen pada tahun 2023, menempatkan Indonesia di peringkat ke-25 dari 243 negara. Di tingkat nasional, platform SINTA (Science and Technology Index) mencatat lebih dari satu juta artikel ilmiah telah diterbitkan hingga tahun 2025 pada 10.842 jurnal yang terakreditasi, mulai dari SINTA 1 hingga SINTA 6.

Bacaan Lainnya
sumber: scopus.com
sumber: scopus.com

Namun, di balik pencapaian kuantitatif tersebut, muncul pertanyaan besar terkait kualitas dan dampak nyata publikasi ilmiah terhadap masyarakat. Banyak kalangan akademisi kini lebih akrab dengan istilah “Jurnal Scopus”, “Jurnal SINTA”, atau “WOS” daripada sekadar menyebut “jurnal ilmiah”.

Perubahan orientasi ini tidak terlepas dari tekanan administratif yang mensyaratkan publikasi ilmiah sebagai tiket kenaikan jabatan fungsional bagi dosen, peneliti, dan bahkan mahasiswa tingkat akhir. Sayangnya, tekanan ini telah menggeser esensi riset sebagai pencarian ilmu dan solusi menjadi sekadar alat pemenuhan kewajiban administratif.

Akibatnya, berbagai jalan pintas ditempuh, termasuk publikasi di jurnal predator yang menawarkan proses cepat tanpa peninjauan sejawat (peer-review) yang memadai. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas ilmiah, tetapi juga menciptakan pasar gelap publikasi yang memanfaatkan tekanan sistemik di dunia akademik.

sumber: Detik.com
sumber: Detik.com

Penelitian oleh Machacek dan Shrolec (2022) menemukan bahwa sekitar 16,73% artikel yang diterbitkan oleh peneliti Indonesia dimuat di jurnal predator, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah terbanyak kedua di dunia dalam hal ini. Bahkan, kajian dari BRIN menyebutkan bahwa 83% guru besar di Indonesia tercatat pernah mempublikasikan artikelnya di jurnal yang terindikasi predator.

Kenyataan ini mencerminkan bahwa sebagian besar publikasi ilmiah hanya berujung pada pemenuhan tuntutan administratif, bukan kontribusi nyata bagi masyarakat. Inilah yang menjadi panggilan untuk melakukan reformasi sistemik, terutama pada kebijakan kenaikan jenjang akademik yang terlalu menitikberatkan pada publikasi formal.

Reformasi syarat kenaikan jabatan akademik menjadi hal yang mendesak. Sistem yang terlalu fokus pada jumlah publikasi jurnal bereputasi telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memacu semangat riset, namun di sisi lain menjerumuskan pada praktik yang mengorbankan kualitas dan nilai manfaat riset.

Oleh karena itu, pendekatan baru yang lebih fleksibel dan relevan diperlukan. Salah satu pendekatannya adalah dengan mengedepankan penilaian multidimensi yang melibatkan aspek pengabdian masyarakat, inovasi yang berdampak langsung, serta kontribusi terhadap kebijakan publik.

Misalnya, seorang dosen yang menerapkan hasil penelitiannya untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), atau seorang peneliti yang terlibat dalam penyusunan strategi nasional untuk pengentasan stunting, harus mendapat pengakuan yang setara dengan publikasi jurnal.

Begitu pula dengan inovasi berbasis teknologi, seperti mesin pertanian lokal atau alat kesehatan murah, yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kemandirian bangsa. Ketika riset langsung digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata, maka manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan hanya berhenti sebagai artikel ilmiah.

Pendekatan penilaian multidimensi ini akan memungkinkan akademisi untuk lebih bebas dalam mengekspresikan keilmuannya, tanpa harus merasa terbelenggu oleh satu indikator semata. Penilaian yang adil terhadap dampak sosial, keberlanjutan inovasi, serta kontribusi terhadap masyarakat harus menjadi bagian integral dalam sistem penilaian karier akademik.

Selain reformasi sistem internal, upaya hilirisasi riset ke masyarakat dan industri juga menjadi kunci penting. Konsep Triple Helix, yang menekankan kerja sama antara universitas, industri, dan pemerintah, semestinya menjadi solusi strategis untuk menjawab tantangan hilirisasi. Dengan konsep ini, diharapkan hasil riset tidak hanya berhenti di jurnal ilmiah, tetapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyentuh kebutuhan masyarakat.

Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan bahwa implementasi model Triple Helix masih menghadapi hambatan struktural. Birokrasi yang rumit, minimnya koordinasi lintas sektor, dan perbedaan orientasi antara akademisi, industri, dan pemerintah menjadi tantangan utama.

Akademisi cenderung fokus pada publikasi, industri menuntut hasil yang bisa segera diterapkan, sementara pemerintah kerap lamban dalam merespons dinamika kebutuhan inovasi.

Meski sejumlah program seperti Innovation Fund dan Matching Fund Kedaireka telah diluncurkan untuk memperkuat kolaborasi riset, hasilnya masih terbatas. Prosedur yang kompleks sering kali menjadi batu sandungan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih adaptif dan jalur pendanaan riset yang bersifat fast track, khususnya bagi riset dengan potensi hilirisasi tinggi.

Untuk mendorong keterlibatan industri, pemerintah juga perlu memberikan insentif yang menarik. Skema potongan pajak, kemudahan perizinan, hingga jaminan pasar bagi hasil riset lokal bisa menjadi pemicu bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam inovasi dalam negeri. Di sisi lain, penciptaan inkubator bisnis atau pusat teknologi yang melibatkan akademisi dan pelaku industri juga harus diperluas dan difasilitasi secara aktif.

Data dari BRIN menunjukkan bahwa program pendanaan berbasis riset seperti startup teknologi telah mulai berjalan, bahkan dengan dukungan dana hingga Rp300 juta per proyek per tahun. Namun, jangkauan program ini masih sangat terbatas. Untuk itu, perluasan cakupan dan penyederhanaan prosedur harus segera dilakukan agar semakin banyak hasil riset yang bisa masuk ke jalur komersialisasi.

Kesimpulannya, Indonesia perlu segera menggeser paradigma publikasi ilmiah dari orientasi administratif menuju orientasi manfaat. Hilirisasi riset, sinergi antarsektor, dan reformasi sistem akademik adalah kunci untuk menciptakan ekosistem ilmiah yang tidak hanya produktif di atas kertas, tetapi juga membawa perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat. Riset bukan sekadar alat kenaikan jabatan, melainkan fondasi penting dalam membangun kemandirian bangsa dan daya saing global.

Saatnya menegaskan kembali Tri Dharma Perguruan Tinggi—terutama pada poin pengabdian masyarakat—sebagai roh dari setiap aktivitas ilmiah. Ribuan riset yang lahir dari perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi tumpukan dokumen atau angka statistik. Mereka harus hidup, menyentuh, dan membentuk masa depan Indonesia yang lebih berdaulat secara ilmu, teknologi, dan kemanusiaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *