Pemerataan Ekonomi dalam Perspektif Islam

Ilustrasi: Pemerataan ekonomi yang masih menjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin
Ilustrasi: Pemerataan ekonomi yang masih menjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Prinsip keadilan dalam bidang ekonomi bagi masyarakat Indonesia sudah sangat jelas diatur dalam sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Implementasi prinsip keadilan ekonomi dapat dilihat dari aspek pemerataannya.

Pemerataan ekonomi atau tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan dalam konteks ilmu ekonomi diukur dengan indikator rasio gini. Nilai rasio gini antara 0 (pemerataan sempurna) sampai dengan 1 (ketidakmerataan yang sempurna).

Bacaan Lainnya

Rasio gini Indonesia pada 2010 sebesar 0,38. 2011-2015 terjadi kenaikan ketimpangan yang cukup signifikan, yaitu dengan rasio gini rata-rata meningkat menjadi 0,41. Rasio gini pada 2016 menurun menjadi 0,40 dan 2017 menjadi sebesar 0,39. Berarti selama dua tahun terakhir ada sedikit perbaikan pemerataan walaupun masih sangat tipis. Besaran rasio gini dari periode 2010-2017, menunjukkan kemajuan atau pertumbuhan ekonomi tersebar tidak merata dan terdistribusi pada golongan- golongan tertentu.

Fenomena ketimpangan pendapatan masyarakat diperkuat dengan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Indonesia masuk peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia. Indikasinya dapat dilihat bahwa 1% orang terkaya menguasai 49,3% aset nasional. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, yaitu berada pada ranking ke-3 dunia setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India. Namun hasil pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati golongan yang berpendapatan relatif tinggi.

Islam mengatur setiap orang memiliki hak atas kepemilikan harta dan kekayaan, dan pendapatan, tetapi ada batasan tertentu yang harus dipenuhi. Pembatasan atas kepemilikan kekayaan sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Al-Hasyr (59): 7 “… Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …”

Sekalipun harta diperoleh dari kerja sendiri, Islam mengatur ada bagian dari harta atau pendapatan yang menjadi hak orang miskin, sebagaimana dapat dilihat pada QS. Adz- Dzariyat (51): 19. Pembatasan terhadap kekayaan bagi muslim ditujukan agar manusia tidak melampaui batas, sehingga tidak ada hasrat untuk menguasai atau memonopoli suatu sumber ekonomi. Hal itu sebagaimana dapat dilihat pada QS. Asy-Syuura (42): 27.

Dalam upaya meningkatkan pemerataan ekonomi, sebagai umat Islam dapat memberikan kontribusi. Pertama, menjalankan kewajiban rukun Islam, terutama dalam membayar zakat. Zakat menjadi salah satu sarana pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi yang efektif bagi umat Islam jika dikelola dengan baik. Potensi ekonomi yang bersumber dari zakat cukup besar mengingat jumlah penduduk kelas menengah yang meningkat dalam lima tahun terakhir.

Kedua, memperkuat mentalitas berbagi kepada sesama. Dalam personal finance, kemampuan dan kemauan berbagi menjadi salah satu indikator kebahagiaan seseorang. Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jika umat Islam memiliki kesadaran yang tinggi dalam berbagi maka akan menjadi salah satu cara menekan terjadinya kesenjangan dalam hal pendapatan dan kekayaan.

Ketiga, membantu orang lain terutama yang kurang beruntung untuk hidup mandiri. Konsep pemberdayaan sudah saatnya digalakkan untuk mengarahkan orang yang kurang beruntung dapat hidup mandiri. Orang bijak mengatakan: “Berikan pancing daripada ikannya”. “Ikan” hanya diberikan pada saat kondisi darurat. Hal itu untuk menekan kebiasaan bergantung pada orang lain.

Keempat, menghindari praktik riba. Praktik riba bersumber dari transaksi jual-beli dan pinjam meminjam. Dalam transaksi jual-beli, riba terjadi berkaitan dengan masalah timbangan dan adanya unsur spekulasi, sedang dalam transaksi pinjam-meminjam karena adanya unsur bunga. Dengan dua macam transaksi antara dua pihak yang melakukan transaksi sebenarnya ada salah satu pihak yang dirugikan.

Akibatnya, pihak yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Larangan praktik riba dapat dilihat pada QS. Ar-Rum (39), “Riba tidak akan menambah kekayaan individu maupun Negara, namun sebaliknya justru akan mengurangi kekayaan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi sistem ekonomi Indonesia kini dalam beberapa hal belum selaras dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-5 dan Pasal 33 UUD 1945. Tingkat kesenjangan antara si kaya dengan si miskin masih lebar. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi belum diikuti dengan peningkatan pemerataannya.

Perlu solusi yang tepat untuk mengarahkan pada pencapaian tujuan bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur. Ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kita sebagai umat Islam dan sekaligus warga negara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *