Dalam Fikih Ekologi, Dr. Agus Hermanto menguraikan hubungan manusia dengan alam sebagai amanah besar yang ditegaskan dalam Al-Qur’an. Alam semesta bukan sekadar ciptaan Allah, melainkan juga wujud nyata kebesaran-Nya yang mengandung tanda-tanda kekuasaan untuk direnungi dan dijaga oleh manusia. Dalam pandangan ini, manusia memiliki kedudukan istimewa sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas pelestarian alam, dengan memperhatikan nilai-nilai spiritual dan moral dalam Islam.
Penciptaan alam semesta sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an menekankan keteraturan ilahi yang penuh hikmah. Ayat QS Al-Anbiya’ (21): 30 menyebutkan bahwa kehidupan bermula dari air sebagai elemen dasar, menunjukkan bahwa seluruh makhluk hidup saling bergantung dalam satu ekosistem yang teratur. Dr. Agus Hermanto menyoroti bahwa air tidak hanya menjadi sumber kehidupan biologis, tetapi juga simbol keagungan Allah yang harus dihargai dan dilestarikan.
Alam, dengan segala hukum biologi, fisika, dan geologi yang menyusunnya, adalah bukti kebijaksanaan Sang Pencipta. Oleh karena itu, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Sebagai khalifah di bumi, manusia memiliki peran besar dalam menjaga dan mengelola alam. Al-Qur’an memberikan amanah kepada manusia untuk bertanggung jawab atas keberlangsungan lingkungan, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Baqarah (2): 30.
Posisi ini mengharuskan manusia memegang prinsip tanggung jawab, solidaritas, dan kasih sayang terhadap alam. Dr. Agus Hermanto menegaskan bahwa manusia tidak boleh memandang dirinya superior atas makhluk lain, tetapi harus membangun hubungan harmonis dengan semua ciptaan. Dalam perspektif ini, setiap makhluk memiliki hak untuk hidup dan berkembang tanpa diskriminasi atau eksploitasi.
Baca Juga: Candaan yang Merusak Mental Sering Dianggap Biasa
Namun, realitas modern menunjukkan kontradiksi dengan nilai-nilai tersebut. Kerusakan lingkungan yang terjadi di darat maupun laut, sebagaimana dinyatakan dalam QS Ar-Rum (30): 41, adalah akibat langsung dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab.
Penyalahgunaan sumber daya, pemborosan (tabdzir), dan perilaku berlebihan (israf) menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan ekosistem. Dr. Agus Hermanto mengingatkan bahwa Islam melarang perilaku tersebut dan, sebaliknya, mengajarkan prinsip keseimbangan (wasathiyah) sebagai solusi. Dengan mempraktikkan moderasi, manusia dapat mengelola sumber daya secara bijaksana tanpa merusak alam.
Dr. Agus juga menekankan pentingnya tadabbur dan tafakkur sebagai cara mengenal Allah melalui alam. Al-Qur’an menyeru manusia untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, seperti dalam QS Ali Imran (3): 190-191.
Alam adalah kitab terbuka yang saling melengkapi dengan wahyu tertulis, yaitu Al-Qur’an. Ketika manusia merenungi alam, mereka tidak hanya mengenal Allah lebih dekat (ma’rifatullah), tetapi juga menyadari tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga kelestarian ciptaan-Nya.
Dalam buku ini, Dr. Agus Hermanto juga membahas kontekstualisasi ajaran Islam dalam menghadapi tantangan global modern, seperti perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Industrialisasi dan pembangunan sering kali membawa dampak buruk terhadap alam, terutama jika hanya didorong oleh nafsu materialistis.
Baca Juga: Budaya Lokal: Pilar Penting Ketahanan Pangan Indonesia
Dalam situasi ini, Islam menawarkan solusi melalui keseimbangan antara etos kerja dan tawakal kepada Allah. Ikhtiar tanpa tawakal menciptakan kesombongan, sementara tawakal tanpa ikhtiar menghasilkan sikap fatalistik. Islam mendorong manusia untuk bekerja keras mencari anugerah Allah, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Jumu’ah (62): 10, namun tetap menjaga batas-batas etis dalam interaksi dengan alam.
Kesimpulannya, Fikih Ekologi karya Dr. Agus Hermanto menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap lingkungan. Hubungan manusia dengan alam harus didasarkan pada nilai-nilai keimanan dan tanggung jawab moral.
Dengan memahami konsep penciptaan, peran khalifah, dan peringatan terhadap kerusakan, manusia dapat menciptakan harmoni antara kebutuhan duniawi dan tanggung jawab spiritual. Penerapan nilai-nilai ini menjadi langkah penting untuk mewujudkan kesejahteraan dunia sekaligus menyiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik.