Krajan.id – Alif Hibatullah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Pada tahun 2022 lalu, ia mengikuti Kuliah Kerja Nyata atau KKN Nusantara Moderasi Beragama yang diinisiasi oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Alif menuturkan, selama kurun waktu bulan Juli hingga Agustus 2022 ia menjalani kegiatan KKN Nusantara bersama mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu, mereka juga datang dari beragam budaya, suku, dan kepercayaan.
“Masyarakat sangat antusias menyambut kami, karena kami datang dari seluruh Indonesia. Dari Aceh, Jawa, Sulawesi, semuanya datang untuk mengabdi di masyarakat,” tutur pria asal Lamongan, Jawa Timur itu.
Pelaksanaan KKN Nusantara tersebut bertempat di Kampung Karya Bumi Distrik Nambluong, Kabupaten Jayapura, Papua. Ia menemukan banyak hal unik dan pelajaran berharga tentang toleransi beragama.
Meski berbeda kepercayaan, warga setempat hidup rukun dan damai. Kehidupan masyarakat Karya Bumi dan masyarakat lokal (asli Papua) dalam hal kepercayaan sangat harmonis dan layak ditiru di wilayah lain.
Diketahui, warga Kampung Karya Bumi menganut agama Islam dan Kristen. Warga penganut agama Islam merupakan penduduk transmigrasi dari Pulau Jawa ketika kepemimpinan Presiden Soeharto sekitar tahun 1976. Sementara penganut ajaran Kristen mayoritas adalah warga lokal (asli Papua) yang telah bertahun-tahun tinggal di kampung tersebut.
Alif mengatakan, kehidupan masyarakat Kampung Karya Bumi cukup kondusif, interaksi dengan masyarakat lokal (Papua) cukup baik. Masyarakat Muslim dan non-Muslim memiliki ketergantungan satu sama lain, kedua belah pihak berinteraksi di pasar, sekolah, dan lingkungan lainnya.
“Biasanya pihak non-muslim atau warga lokal itu berjualan hasil bumi kepada pihak muslim,” kata Alif yang kini menempuh pendidikan pascasarjana prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UINSA Surabaya itu.
Alif menceritakan, suatu ketika dirinya dan tim KKN Nusantara menemui seorang pendeta bernama Wadi di Kampung Besum, daerah tetangga Kampung Karya Bumi. Kala itu, lanjut Alif, pendeta Wadi secara tegas mengimbau agar warga lokal tidak mengganggu kehidupan warga transmigran yang Muslim.
“Nenek moyang kita sama, yakni Ibrahim. Kami mengajarkan kepada generasi kami hal-hal yang baik. Nilai budaya tetap dijaga, jangan bawa budaya buruk seperti minum diwariskan dan disebarkan,” kata Alif menirukan ucapan pendeta Wadi.
Bahkan, ada kisah unik dan berkesan yang dialami Wadi. Disebutkan Alif, kala itu pendeta Wadi mengaku pernah berdoa di masjid dan menjadi pengalaman luar biasa bagi Wadi. “Bapak Wadi juga mengaku pernah berdoa untuk orang Muslim yang sakit. Ia diundang ke rumahnya untuk mendoakan dan akhirnya bisa sembuh,” tutur Alif, pria kelahiran Lamongan, 7 November 2001 ini.
Tanggapan senada juga disampaikan tokoh dari kalangan Muslim. Salah satunya yang disebutkan Alif ialah respons dari Ustadz Warino selaku imam Masjid Al-Muhajirin Kampung Karya Bumi. Ia mengungkapkan bahwa hubungannya dengan non-Muslim baik-baik saja.
“Alhamdulillah, selama ini hubungan kita dengan masyarakat lokal bagus, dengan upaya ketika hari raya kurban kita memberikan kepada mereka, walaupun non-Muslim, kita beri kurang lebih 2 kilo gram daging setiap kepala keluarga. Tidak ada onar, masjid ini aman, tidak pernah dikunci dan aman-aman saja. Mereka juga senang karena ketika Subuh dengar qiraat Subuh, mama-mama itu kan biasanya ke Pasar Sentani dan Hamadi untuk belanja kebutuhan sehari,” ujar Warino, ditirukan Alif.
Kerukunan dan perdamaian antar warga lintas iman itu terjadi karena kedua pihak saling mendukung dalam kehidupan kesehariannya. Ketika perayaan natal, misalnya, warga Muslim juga turut menyumbang kebutuhan-kebutuhan warga lokal yang non-Muslim.
“Warga muslim turut menyiapkan gula, kopi, teh, minuman Sprite, Coca cola, dan lainnya kepada para Ondoafi atau kepala suku di Papua,” ucap Alif.
Tak cukup itu, ketika warga Muslim Karya Bumi meninggal dunia, Ondoafi atau kepala suku setempat juga datang turut melayat. Hal tersebut berdasarkan penuturan seorang Ondoafi beragama Kristen bernama Yosoa Sangkrangbanu saat ditemui tim KKN Nusantara Moderasi Beragama.
Menurut Alif, ketika ada warga Muslim yang meninggal, Ondoafi tersebut terkadang merasa tidak enak badan. Sehingga akhirnya ia keluar rumah dan mendatangi rumah warga yang meninggal dunia.
“Iya, dorang datang, datang semua, mereka bawa air minum. Kita sudah kerja sama to,” ucap Alif, menirukan perkataan Yosoa Sangkrangbanu.
Karena itu, Alif mengaku banyak mendapat pelajaran berharga dari keikutsertaannya dalam KKN Nusantara Moderasi Beragama di Jayapura. Terutama perihal hubungan warga Muslim dan non-Muslim yang sangat akur dan toleran di Karya Bumi.
“Pelajaran yang diperoleh bahwa meski berbeda agama, ras, suku dan budaya, tetapi kita sama-sama berdarah merah, berideologi Pancasila. Artinya tetap bersatu sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika,” pungkas Alif.