Pernikahan usia dini telah lama menjadi fenomena yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Namun, dampaknya terhadap kesehatan ibu dan anak seringkali luput dari perhatian publik. Saya, Riri Jusrianti, seorang mahasiswi Universitas Dharmas Indonesia Program Studi D3 Kebidanan, ingin mengangkat isu ini dari sudut pandang kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologis anak yang lahir dari pernikahan dini.
Organ reproduksi remaja perempuan yang belum matang tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, tetapi juga berpotensi menciptakan siklus malnutrisi antargenerasi. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun memiliki risiko kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang melahirkan di atas usia 20 tahun.
Lebih memprihatinkan lagi, bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja memiliki risiko 50% lebih tinggi untuk mengalami stunting dan gangguan perkembangan kognitif. Hal ini menciptakan efek domino yang mempengaruhi kesehatan fisik, pendidikan, hingga masa depan anak.
Menurut penelitian Kumaidi dan Amperaningsih (2015), pernikahan dini di Indonesia memberikan dampak negatif yang serius. Sebanyak 56% remaja perempuan yang menikah dini mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), meskipun tidak terjadi secara sering.
Selain itu, hanya 5,6% remaja yang tetap melanjutkan pendidikan setelah menikah, dan risiko kematian ibu serta bayi mencapai 30%. Penelitian lain (Delprato et al., 2015) menunjukkan bahwa pernikahan dini berkaitan dengan kemiskinan dan mengurangi akses perempuan terhadap pendidikan yang lebih baik.
Sebagai mahasiswi kebidanan, saya menyaksikan langsung betapa sulitnya ibu muda memberikan ASI eksklusif karena kurangnya pengetahuan dan kematangan emosional. Banyak ibu muda yang saya temui di lapangan mengalami depresi pasca-melahirkan karena ketidaksiapan mental menghadapi tanggung jawab sebagai orang tua. Kondisi ini berdampak langsung pada tumbuh kembang anak mereka, menciptakan lingkaran permasalahan kesehatan yang sulit diputus.
Dampak psikologis pernikahan dini juga tidak kalah mengkhawatirkan. Remaja yang menikah dini seringkali belum siap menghadapi tanggung jawab rumah tangga yang berat. Ketidakmatangan emosi memicu konflik, stres berkepanjangan, dan bahkan depresi.
Baca Juga: Kebersihan Lingkungan Perspektif Ekonomi Sirkular dalam Menghadapi Krisis Sampah
Situasi ini tidak hanya merugikan pasangan muda, tetapi juga mempengaruhi anak-anak mereka yang kehilangan kesempatan mendapatkan pengasuhan optimal dari orang tua yang masih remaja.
Pernikahan dini tidak hanya persoalan individu, tetapi juga masalah masyarakat. Keluarga dan komunitas perlu berperan aktif dalam mencegah pernikahan dini dengan memberikan edukasi reproduksi yang komprehensif dan mendukung pemberdayaan perempuan melalui akses pendidikan yang lebih baik. Intervensi ini tidak hanya akan meningkatkan kesehatan ibu dan anak, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan generasi masa depan yang lebih sehat dan produktif.
Sebagai masyarakat, kita harus memutus siklus pernikahan dini dengan menanamkan pentingnya pendidikan dan kesehatan reproduksi sejak dini. Dengan langkah ini, kita dapat membangun generasi yang lebih kuat, cerdas, dan sejahtera.