Pada era teknologi yang semakin maju ini, penggunaan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan remaja. Media sosial menawarkan cara baru untuk berinteraksi, tidak lagi hanya secara langsung, tetapi juga melalui platform digital seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan lainnya. Namun, penggunaan yang tidak bijak dapat menimbulkan dampak negatif, termasuk pada kesehatan mental remaja.
Dalam kehidupan manusia, perkembangan teknologi sering dikaitkan dengan modernitas yang identik dengan kemajuan. Kehadiran media sosial memungkinkan individu untuk membentuk komunitas tanpa batas geografis.
Akan tetapi, fenomena ini juga membawa konsekuensi yang mendalam terhadap kesehatan mental, terutama bagi remaja yang masih dalam proses pembentukan identitas diri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Mental Remaja Indonesia pada tahun 2023, sebanyak 78% remaja merasa lebih percaya diri saat mendapatkan respons positif di media sosial. Namun, 65% di antaranya mengalami kecemasan berlebih ketika tidak mendapatkan respons yang diharapkan.
Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai “paradoks validasi digital,” di mana semakin banyak validasi yang diterima, semakin besar pula kebutuhan untuk mendapatkan validasi berikutnya. Hal ini memicu siklus ketergantungan emosional yang sulit dihentikan.
Lebih jauh lagi, remaja sering kali membangun “persona digital” yang berbeda dengan kepribadian asli mereka. Identitas online yang terlihat sempurna tetapi tidak otentik menciptakan kesenjangan antara diri virtual dan diri nyata.
Salah satu remaja berusia 16 tahun mengungkapkan, “Saya merasa harus selalu tampil bahagia di Instagram, padahal sebenarnya saya sedang berjuang dengan depresi.” Kesenjangan ini memperdalam krisis identitas, menambah tekanan untuk mempertahankan citra digital yang ideal.
Salah satu dampak nyata dari penggunaan media sosial adalah munculnya fenomena “Fear of Missing Out” (FOMO) atau ketakutan akan ketinggalan informasi. Remaja sering merasa cemas dan gelisah ketika tidak dapat mengakses media sosial atau merasa tertinggal dari aktivitas teman-teman mereka yang ditampilkan di platform digital. Perasaan ini dapat berkembang menjadi kecemasan kronis yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup.
Selain itu, perbandingan sosial yang terjadi di media sosial sering kali membuat remaja merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri. Gambaran kehidupan sempurna yang ditampilkan oleh teman atau influencer dapat memicu rasa rendah diri dan perasaan tidak cukup baik. Hal ini sering kali menjadi penyebab utama depresi dan kecemasan pada remaja. Paparan terhadap konten negatif seperti cyberbullying juga dapat menimbulkan trauma psikologis yang serius.
Penggunaan media sosial yang berlebihan juga berdampak pada pola tidur remaja. Cahaya biru dari layar gadget dapat menghambat produksi hormon melatonin, yang berperan penting dalam mengatur siklus tidur.
Baca Juga: Pernikahan Dini Merenggut Hak Kesehatan Generasi Masa Depan
Akibatnya, remaja menjadi sulit tidur, merasa lelah, dan mengalami kesulitan berkonsentrasi pada siang hari. Kondisi ini semakin diperburuk dengan maraknya penyalahgunaan media sosial, seperti terlibat dalam aktivitas perjudian online, yang dapat menyebabkan kecanduan dan merusak kesehatan mental.
Media sosial sering kali menciptakan standar kecantikan dan kesuksesan yang tidak realistis melalui foto-foto yang diedit dan konten yang dirancang dengan sempurna. Remaja cenderung membandingkan diri mereka dengan gambaran ideal tersebut, yang dapat mengakibatkan penurunan harga diri dan kepercayaan diri. Hal ini berpotensi memicu berbagai masalah kesehatan mental, termasuk gangguan makan, body dysmorphic disorder, dan depresi.
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang holistik dalam memahami dan menangani kesehatan mental remaja di era digital. Salah satu solusi adalah membangun “literasi validasi digital,” yaitu kemampuan untuk memahami dan mengelola kebutuhan akan pengakuan digital secara sehat.
Remaja perlu diajarkan untuk memisahkan nilai diri mereka dari metrik digital, seperti jumlah suka atau komentar, serta memanfaatkan media sosial secara positif untuk pengembangan diri.
Orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi aktivitas anak-anak mereka di media sosial. Mereka perlu memberikan batasan yang jelas dan membangun komunikasi yang terbuka mengenai potensi bahaya di dunia maya. Guru juga dapat berkontribusi dengan mengintegrasikan pendidikan tentang penggunaan media sosial yang sehat ke dalam kurikulum sekolah.
Baca Juga: Kebersihan Lingkungan Perspektif Ekonomi Sirkular dalam Menghadapi Krisis Sampah
Program-program pendampingan yang melibatkan psikolog, pendidik, dan ahli teknologi perlu dikembangkan untuk menciptakan kerangka kerja yang membantu remaja menavigasi lanskap digital dengan lebih sehat dan berkelanjutan.
Pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental remaja adalah isu yang kompleks. Media sosial tidak hanya menjadi sumber hiburan dan informasi, tetapi juga memunculkan tantangan baru yang membutuhkan perhatian serius.
Dengan pendekatan yang tepat, media sosial dapat dimanfaatkan secara bijak untuk mendukung perkembangan remaja, bukan malah merusak kesehatan mental mereka. Kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan komunitas diperlukan untuk menciptakan lingkungan digital yang mendukung kesejahteraan psikologis remaja.
Dan menurut saya perlu peranya orang tua dalam mengawasi aktivitas anak-anak mereka di media sosial dan memberikan batasan yang jelas. Mereka juga perlu berkomunikasi secara terbuka dengan anak-anak tentang potensi bahaya yang mengintai di dunia maya. Sementara itu, guru dapat mengintegrasikan pendidikan media sosial ke dalam kurikulum sekolah untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental.
Sumber:
- Amalia, R., & Sazeli, H. (2023). Dampak penggunaan media sosial berlebihan terhadap kesehatan mental remaja: Studi kasus di SMA Negeri 1 Jakarta. Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 45-58.
- Dewi, R. S., & Prasetyo, B. (2022). Analisis fenomena FOMO (Fear of Missing Out) pada remaja pengguna media sosial. Jurnal Penelitian Psikologi, 13(1), 78-92.
- Firdaus, M., & Hidayati, N. (2021). Pengaruh validasi digital terhadap self-esteem remaja pengguna Instagram. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 112-126.
- Kurniawan, D., & Sari, E. P. (2023). Hubungan antara intensitas penggunaan media sosial dengan kecemasan sosial pada remaja. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 6(1), 89-98.
- Nugroho, A., & Putri, D. W. (2022). Media sosial dan gangguan pola tidur pada remaja: Sebuah studi korelasional. Jurnal Kesehatan Mental Indonesia, 7(3), 201-215.
- Pratiwi, S. R., & Rahman, F. (2023). Dampak cyberbullying di media sosial terhadap kesehatan mental remaja Indonesia. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 8(1), 67-82.
- Putri, A. K., & Santoso, H. (2022). Pengaruh body image di media sosial terhadap gangguan makan pada remaja. Jurnal Kesehatan Mental, 9(2), 145-160.
- Wijaya, R., & Permatasari, N. (2022). Analisis pembentukan identitas digital remaja di era media sosial. Jurnal Psikologi Perkembangan, 10(4), 167-182.