Reformasi pendanaan iklim di Indonesia menjadi salah satu isu strategis dalam rangka mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Tantangan yang dihadapi sangat kompleks, mencakup persoalan teknis, politik domestik, tekanan geopolitik global, hingga dominasi oligarki dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan energi yang idealnya mengutamakan kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan sering kali terperangkap dalam struktur yang memperkuat dominasi korporasi swasta dan elite politik. Dalam konteks ini, reformasi pendanaan iklim perlu dilihat secara kritis, terutama terhadap pengaruh besar aktor non-negara di tingkat domestik maupun internasional.
Sejak tahun 2003, Indonesia mulai menerapkan pendekatan baru dalam pengembangan infrastruktur melalui skema Kemitraan Publik-Swasta (PPP). Model ini diharapkan mampu menarik investasi jangka panjang untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur strategis, termasuk di sektor energi.
Namun, kenyataannya skema ini lebih sering menjadi beban negara daripada memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Pemerintah harus menyediakan jaminan bagi investor, seperti subsidi tunai dan kepastian pembayaran, yang pada akhirnya membuat risiko keuangan lebih banyak ditanggung oleh negara daripada oleh pihak swasta.
Di sektor energi, PPP diwujudkan melalui mekanisme Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dan pembangkit listrik swasta. PLN diwajibkan membeli listrik yang diproduksi perusahaan swasta, meskipun kapasitasnya melampaui kebutuhan masyarakat. Akibatnya, terjadi kelebihan pasokan listrik di wilayah seperti Jawa-Bali, yang pada 2019 tercatat mencapai 40-55%.
Situasi ini mengakibatkan kerugian besar bagi PLN, yang pada kuartal pertama 2020 mencatat defisit hingga Rp38 triliun. Ketergantungan PLN pada anggaran publik untuk menutupi kerugian tersebut menunjukkan bahwa skema PPP tidak memberikan solusi berkelanjutan, melainkan menciptakan masalah keuangan yang signifikan.
Masalah lain muncul dari harga batu bara domestik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan harga ekspor. Hal ini diperburuk oleh penggunaan dolar AS dalam transaksi, yang turut memengaruhi inflasi di sektor energi.
Kondisi ini tidak hanya membebani PLN, tetapi juga konsumen yang harus menanggung tarif listrik yang semakin mahal. Meski PPP dirancang untuk meningkatkan efisiensi, kenyataannya mekanisme ini justru memperbesar ketergantungan negara pada sektor swasta tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Selain tantangan teknis dan kebijakan, dominasi oligarki energi menjadi salah satu hambatan terbesar dalam reformasi pendanaan iklim. Oligarki, baik lokal maupun internasional, memiliki kendali signifikan dalam menentukan arah kebijakan energi nasional.
Pengaruh mereka sangat terasa melalui penguasaan sumber daya alam serta hubungan erat dengan elite politik. Contoh nyata adalah keterlibatan konsorsium perusahaan multinasional seperti PT Cirebon Electric Power, yang beranggotakan perusahaan Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia. Keberadaan mereka sering kali memprioritaskan keuntungan korporasi dibandingkan keberlanjutan lingkungan atau kepentingan publik.
Tidak sedikit perusahaan multinasional yang memiliki rekam jejak negatif dalam operasinya. Misalnya, Marubeni Corporation, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi pembangunan PLTU di Lampung. Selain itu, kolaborasi antara perusahaan multinasional dan elite politik lokal sering kali menyebabkan konflik dengan masyarakat, seperti perampasan lahan dan kerusakan lingkungan.
Ketergantungan pemerintah Indonesia pada investasi asing di sektor energi semakin memperkuat posisi oligarki ini. Lembaga keuangan internasional seperti Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan The Export-Import Bank of China (CEXIM) menjadi pemain utama dalam pendanaan proyek energi fosil, termasuk PLTU.
Baca Juga: Emas Hitam Pulau Bangka: Dilema Antara Keuntungan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Pengaruh besar lembaga-lembaga internasional ini terlihat dari dominasi mereka dalam pembiayaan proyek PLTU di Indonesia antara 2010 hingga 2017. Sebanyak 91% proyek tersebut dibiayai oleh kredit ekspor dan bank pembangunan bilateral, menciptakan situasi di mana arah kebijakan energi lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan asing daripada kebutuhan domestik. Dominasi ini menjadi tantangan besar bagi reformasi pendanaan iklim di Indonesia, yang seharusnya berfokus pada transisi energi terbarukan.
Meskipun ada komitmen global untuk mengurangi emisi karbon, investasi dalam proyek-proyek energi fosil masih mendominasi. Hal ini menunjukkan bahwa oligarki energi memiliki kepentingan ekonomi jangka panjang yang sering kali bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Oleh karena itu, upaya reformasi pendanaan iklim di Indonesia harus disertai dengan pembatasan pengaruh oligarki dalam pengambilan keputusan. Kebijakan energi perlu diarahkan agar lebih berpihak pada masyarakat dan lingkungan, bukan hanya pada keuntungan ekonomi segelintir pihak.
Selain masalah internal, dinamika geopolitik global juga menjadi tantangan dalam reformasi pendanaan iklim di Indonesia. Investasi asing dalam proyek energi fosil, terutama dari Jepang dan Tiongkok, memperkuat ketergantungan Indonesia pada modal internasional.
Syarat-syarat investasi asing sering kali merugikan Indonesia, seperti dalam kasus pendanaan proyek PLTU Cirebon 1 yang melibatkan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pinjaman sebesar US$250-300 juta untuk mengurangi emisi karbon pada proyek ini ternyata lebih banyak menguntungkan perusahaan multinasional dibandingkan masyarakat.
Ketergantungan yang berlebihan pada modal asing juga menciptakan ketegangan antara kebutuhan domestik untuk beralih ke energi terbarukan dan kepentingan geopolitik negara-negara besar.
Dalam banyak kasus, lembaga keuangan internasional mensyaratkan penggunaan teknologi dan sumber daya dari negara asal mereka, yang pada akhirnya menghambat pengembangan teknologi domestik. Situasi ini memperlihatkan bahwa reformasi pendanaan iklim tidak hanya soal teknologi, tetapi juga melibatkan pertarungan geopolitik untuk menguasai pasar energi.
Untuk mencapai reformasi pendanaan iklim yang adil dan berkelanjutan, Indonesia harus mampu memposisikan diri secara lebih mandiri. Ketergantungan pada investasi asing di sektor energi perlu dikurangi, dengan fokus pada pengembangan industri energi terbarukan domestik.
Langkah ini tidak hanya akan memperkuat kemandirian energi Indonesia, tetapi juga menciptakan peluang kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Reformasi pendanaan iklim yang efektif harus memastikan bahwa kebijakan energi dirancang untuk kepentingan jangka panjang masyarakat dan lingkungan, bukan hanya untuk memenuhi ambisi oligarki atau kepentingan geopolitik negara lain.