Si bungsu seringkali dikenal sebagai anak yang paling dimanja dan nakal, tetapi di balik itu semua, ia sering dituntut untuk berprestasi lebih dibandingkan kakak-kakaknya.
Hampir dua dekade yang lalu, ada lima bersaudara yang hidup rukun dan kompak. Namun, pada tahun 2024, hubungan mereka berubah. Ketegangan rumah tangga yang hebat membuat mereka tak lagi akur. Si sulung, seorang perempuan berusia tiga puluh lima tahun, menjadi martir keluarga. Ia mengorbankan banyak hal demi membantu orang tua dan menjadi teladan bagi adik-adiknya.
Anak kedua, seorang perempuan berusia tiga puluh dua tahun, juga menjalani perannya sendiri. Kemudian, ada anak tengah, satu-satunya laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun, yang menjadi kesayangan keluarga.
Anak keempat, seorang perempuan berusia dua puluh tujuh tahun, kini sudah memiliki keluarga sendiri. Terakhir, si bungsu, yang baru berusia dua puluh tahun, kerap dicap sebagai yang paling dimanja oleh orang tua.
Sebagai si bungsu, apa pun yang saya inginkan hampir selalu dituruti. Namun, jika permintaan itu tidak terpenuhi, saya kerap tantrum dan menangis selama berjam-jam hingga semua orang merasa lelah. Saya hidup bak seorang ratu yang setiap harinya merengek agar cerita saya didengar.
Meski demikian, saya juga membutuhkan perhatian dan pengertian, terutama dari kakak-kakak saya. Sayangnya, mereka menganggap saya terlalu banyak mengeluh. Mereka sering menuntut saya untuk menjadi lebih baik dari mereka, tetapi di sisi lain, mereka juga kerap menyalahkan saya atas banyak hal.
Akibatnya, saya tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan kurang percaya diri. Ketika harus berbicara di depan umum, saya merasa malu dan gemetar, seakan tidak mampu menghadapi pandangan orang lain. Bahkan orang tua saya sering menghakimi saya, membuat dunia terasa seolah tidak pernah berpihak kepada saya.
Saya mengakui bahwa anak bungsu sering dimanja, suka memberontak, dan terkadang menjadi badut keluarga yang mengundang tawa. Hidup saya terasa lebih ringan dibandingkan si sulung, yang kerap diposisikan sebagai “orang tua ketiga” dan harus berkorban demi adik-adiknya.
Namun, ada sisi lain dari kehidupan si bungsu yang jarang disorot. Lahir sebagai anak terakhir berarti saya tumbuh di tengah kondisi orang tua yang semakin sibuk mencari nafkah. Hal ini membuat kenangan indah bersama mereka menjadi lebih sedikit dibandingkan kakak-kakak saya.
Ketika kecil, keluarga kami tidak memiliki foto bersama, tidak pernah pergi ke taman bermain saat liburan sekolah, makan di restoran, atau piknik di pantai. Semua itu tidak pernah kami lakukan karena kondisi ekonomi keluarga yang terbatas.
Saya pernah berkata kepada ibu saya, “Ibu punya banyak foto kakak-kakak saat mereka masih bayi, tapi kenapa saya tidak punya?” Jawabannya sederhana: ibu sudah lelah mengambil foto. Meski terdengar sepele, hal ini menyisakan perasaan sedih dalam hati saya.
Selain itu, menjadi anak bungsu berarti memiliki waktu bersama orang tua yang lebih sedikit. Usia mereka semakin bertambah, dan ada kemungkinan mereka tidak sempat menyaksikan saya mencapai kesuksesan seperti yang mereka lihat pada kakak-kakak saya. Waktu yang terbatas ini menjadi pengingat untuk memanfaatkan setiap momen dengan sebaik-baiknya agar saya bisa membuat mereka bangga.
Sebagai anak bungsu, saya sering menghadapi ekspektasi tinggi, terutama dalam hal akademik. Keempat kakak saya adalah siswa berprestasi yang menjadi kesayangan guru di sekolah. Ketika saya masuk ke sekolah yang sama, para guru berasumsi bahwa saya akan mewarisi kecerdasan kakak-kakak saya.
Namun, ekspektasi itu hancur ketika saya ternyata biasa-biasa saja. Pertanyaan seperti, “Kenapa kamu tidak secerdas kakak-kakakmu?” menjadi luka yang membekas hingga dewasa.
Tidak hanya itu, saya sering merasa tidak memiliki ambisi karena setiap usaha yang saya lakukan selalu dibandingkan dengan pencapaian kakak-kakak saya. Rasanya seperti berjuang di medan yang tidak adil, di mana hasil akhir saya tidak pernah cukup baik.
Ada kalanya, saya merasa seperti harapan terakhir orang tua saat kakak-kakak saya dianggap tidak memenuhi ekspektasi mereka. Dalam banyak keluarga, anak sering dianggap sebagai “investasi masa tua”. Padahal, idealnya, anak bukanlah rencana cadangan. Isu finansial seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
Surat ini bukanlah ajang untuk mengadu siapa yang paling menderita di antara anak sulung, tengah, dan bungsu. Setiap posisi dalam keluarga memiliki tantangan dan dinamika tersendiri. Tidak semua anak bungsu menjalani cerita seperti saya. Ada anak bungsu yang pendiam, tidak memberontak, dan dengan patuh mengikuti arahan orang tua serta kakak-kakaknya.
Namun, bagi sesama anak bungsu yang kerap disebut manja, mari kita tepuk pundak sendiri. Kita telah melewati masa-masa sulit saat dibandingkan dengan saudara kita. Jangan lupa juga untuk berterima kasih kepada kakak-kakak yang telah membuka jalan agar hidup kita lebih mudah.
Julianti Rohmatul Adawyah adalah anak bungsu dari lima bersaudara yang bermimpi suatu hari dapat menjelajahi Ciwidey, Bandung, dan destinasi wisata lainnya.