Krajan.id – Mahasiswa KKN-PMD Unram melakukan eksplorasi di Desa Sesait yang terletak di Lombok Utara. Desa tersebut memiliki keunikan tersendiri dengan keberadaan Masjid Adat Kuno yang menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya lokal. Masjid ini tidak hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga sebuah penanda kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan.
Masjid loka sesait, loka yang berarti tua, dan dapat di definisikan sebagai masjid yang paling tua di wilayah sesait. Masjid ini berdiri sama dengan masjid-masjid kuno yang ada di pulau Lombok terdahulu sekitar pada abad ke 14-15. Masjid kuno atau masjid loka sesait merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat penyebaran agama islam yang dilakukan oleh para wali.
Miniatur tempat ibadah yang paling kecil dari masjid disebut sebagai langgar, yang fungsinya sama seperti pesantren. Tokoh yang berperan dalam berdirinya masjid adat ini tentu tidak lepas dari peran para sait, mubaligh, atau wali di masa lampau.
Struktur kepengurusan masjid adat tidak memiliki struktur kepengurusan tapi lebih menjadi tanggung jawab masyarakat adat, bagaimana supaya fungsi masjid itu tetap bisa berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah dan fungsi masjid. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan dimasjid kuno seperti:
- Tempat pelaksanaan sholat lima waktu.
- Untuk melaksanakan si’ar islam dizaman dulu sampai sekarang.
- Tempat pelaksanaannya kegiatan Hj. Makam dan Hj. Lawat.
- Digunakan sebagai tempat pelaksanaan maulid adat.
Berdasarkan keterangan yang diberikan Diva Balqis Syadina Sabathini, mahasiswa KKN-PMD Unram mengatakan bahwa kegiatan adat ini sudah mendarah daging di masyarakat adat jadi tanggapan dari masyarakat sekitar tentu akan melestarikan warisan dari leluhur, selama pakam masih selaras dengan Alquran dan Al-Hadis.
“Namun, apabila tidak selaras maka akan diperbaiki atau diluruskan oleh masyarakat sekitar,” tuturnya, Selasa (6/2/2024).
Ia melanjutkan, terkait konsep dari bangunan masjid kuno hampir semua sama bentuk bangunannya yang ada di Lombok yakni, permukaan atau pondasinya lebih tinggi dari pada rumah masyarakat yang ada di sekitar dan struktur bangunannya hampir bentuk segi empat, serta kontruksi bagian atas tumbang dua (mulo-mulo), serta bagian ujung memiliki simbol krata (ayam hutan).
Pada awalnya lantai masjid adat kuno ini masih sama dengan masjid-masjid kuno di tempat lain seperti di Bayan, Pejanggik dan Selaparang. Masjid ini mencerminkan arsitektur klasik dengan sentuhan seni dan detail yang menggambarkan keindahan estetika pada masanya. Dinding-dinding masjid yang kokoh menahan sejarah panjang Desa Sesait, pemeliharaan tradisi dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh penduduk desa menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi masjid ini.
Mahasiswa Prodi Kehutanan itu juga menceritakan, dahulu lantai masjid kuno ini masih berlantaikan tanah belum menggunakan keramik namun seiring dari perkembangan zaman khususnya di Desa Sesait, bentuk yang semula lantai dari tanah berubah menjadi keramik, masyarakat Sesait tidak terlalu mempertahankan bentuk tetapi bagaimana menjaga dan menghadirkan nilai dan fungsinya.
“Lantas mengapa lantai dari tanah berubah menjadi keramik? itu memiliki tujuan supaya masjid tersebut berfungsi sesuai dengan fungsi masjid, dengan Masjid Adat Kuno Desa Sesait tidak hanya menjadi destinasi wisata religi, tetapi juga menyuguhkan pengalaman mendalam tentang sejarah dan kearifan lokal yang masih terjaga dengan baik hingga kini. Tentu harapannya ketika kenyamanan yang dihadirkan masjid dan fasilitas yang lebih baik akan mendatangkan daya tarik bagi masyarakat luar atau pendatang,” ujarnya.