Ancaman Keselamatan Kerja Dokter di India

Bangunan R. G. Kar Medical College & Hospital/scienceindiamag.in
Bangunan R. G. Kar Medical College & Hospital/scienceindiamag.in

Dokter residen perempuan berusia 31 tahun ditemukan meninggal dunia pada Jumat, 9 Agustus 2024 di lantai salah satu ruang kelas R. G. Kar Medical College and Hospital. Awalnya, pihak kampus mengabarkan kepada orang tua bahwa korban melakukan bunuh diri. Namun, segera setelah orang tua korban diizinkan masuk ke tempat kejadian perkara, mereka meminta pihak otoritas melakukan otopsi.

Secara kasat mata, ada beberapa alasan yang melandasi validnya permintaan otopsi keluarga. Pertama, adanya jejak pendarahan di mata, mulut, dan area kemaluan korban. Kedua, patahnya tulang panggul korban yang mengakibatkan kaki korban bengkok ke arah yang mustahil dilakukan oleh dirinya sendiri.

Bacaan Lainnya

Terakhir, ditemukannya sisa air mani di area kemaluan korban yang mengindikasikan pemerkosaan. Hasil otopsi memverifikasi adanya upaya membela diri dari korban yang saat itu sebenarnya sedang tertidur lelap ketika orang lain masuk dan melakukan kekerasan fisik dan seksual.

Brutalitas kekerasan yang dilakukan tersangka serta adanya dugaan kampus menutup-nutupi kasus ini membuat kelompok feminis dan dokter di seluruh negeri turun ke jalan pada Rabu, 14 Agustus 2024, yang merupakan malam kemerdekaan India. Aksi unjuk rasa bertajuk “Reclaim the Night” merupakan bentuk solidaritas terhadap korban dan menuntut agar kepala sekolah R. G. Kar Medical College mengundurkan diri.

Jalanan di Sreerampore, Chunchura, Santiniketan, dan 8 kota lainnya di India ramai dengan nyanyian “We Want Justice”, yang digemakan atas kemarahan dan kesedihan kolektif dari para pengunjuk rasa. Menyusul aksi turun ke jalan, dokter-dokter junior di Kolkata melakukan aksi mogok kerja sebagai bagian dari tuntutan keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan dan perempuan. Aksi mogok tersebut berakhir setelah chief minister West Bengal, Mamata Banerjee, bersedia berdiskusi dan menerima sebagian besar tuntutan pengunjuk rasa.

Apabila fenomena unjuk rasa dilihat dari teori psikologi kelompok, pengalaman afektif dapat memfasilitasi pembentukan ikatan kelompok (Spoor & Kelly, 2004). Meninjau dari emotion tone negatif yang ditunjukkan secara konsisten oleh para pengunjuk rasa dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan dokter residen Kolkata, terdapat perasaan sedih dan kecewa terhadap pihak otoritas yang gagal menunjukkan komitmen untuk mengatasi kekerasan seksual di India. Oleh karena itu, kesamaan pengalaman afektif yang dirasakan oleh para pengunjuk rasa meningkatkan kohesi dan identifikasi mereka terhadap kelompoknya.

Robinson dan Clore (2002) menjelaskan bahwa dalam membangun rapor emosi, manusia menggunakan banyak sumber informasi. Pertama, experiential knowledge adalah ketika individu mengakses emosi berdasarkan pengalaman langsung yang dirasakannya. Misalnya, Dr. Madhuparna Nandi merefleksikan pengalamannya bekerja sebagai dokter residen di rumah sakit India di mana fasilitas seperti kamar istirahat dan toilet terpisah untuk perempuan tidak disediakan.

Baca Juga: Peran Suami Istri Sebagai Mitra Setara dalam Rumah Tangga di Tengah Isu Gender

Kedua, episodic memory adalah emosi yang dirasakan saat individu mengingat kembali momen spesifik di masa lalu. Dr. Nandi menyampaikan bahwa ia pernah mengalami kejadian serupa di mana seorang laki-laki menerobos kamar istirahat dan membangunkannya dengan menyentuhnya untuk meminta penanganan pasien.

Ketiga, situation-specific belief adalah emosi yang muncul ketika individu memiliki keyakinan tertentu tentang situasi. Dr. Nandi berempati dengan korban yang sedang beristirahat di ruang kelas setelah shift kerja 36 jam. Minimnya fasilitas untuk dokter perempuan membuatnya merasa tidak aman di tengah tuntutan profesi untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Terakhir, identity-related beliefs adalah emosi yang muncul saat individu mengakses keyakinan moral secara umum. Dr. Nandi tidak menyangka akan banyak kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap dokter perempuan di dalam rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat kerja.

Baca Juga: Gizi Buruk dan Pentingnya Makanan Sehat bagi Anak di NTT

Kasus kejahatan lain yang mengejutkan India adalah Aruna Shanbaug, seorang perawat di Mumbai yang meninggal pada 2015 setelah 42 tahun dalam kondisi vegetatif akibat pemerkosaan. Kasus lainnya terjadi di Kerala, di mana Vandana Das, seorang dokter magang berusia 23 tahun, ditikam secara fatal dengan gunting bedah oleh pasien yang sedang mabuk. Kasus Kolkata kemudian menjadi momentum bagi aktivis untuk meluapkan kekesalan atas janji palsu pemerintah dalam menjamin kesejahteraan dan keselamatan dokter di India.

Group-Based Emotion and Collective Action

“The righteous anger that puts fire in the belly and iron in the soul” (Gamson, 1992, hlm. 3)

Gamson et al. (1982) mengutip psikolog Robert Zajonc yang menegaskan bahwa reaksi afektif bisa muncul hanya dengan kepercayaan diri terhadap penilaian kognitif. Ini menunjukkan bahwa reaksi afektif tidak membutuhkan proses encoding perseptual dan kognitif yang ekstensif. Oleh karena itu, keputusan individu untuk terlibat dalam aksi kolektif seperti unjuk rasa bisa muncul cepat atau bahkan seperti keinginan impulsif tanpa perhitungan rasional.

Norma keadilan yang abstrak menjadi faktor eksternal pendorong keterlibatan individu dalam aksi kolektif. Emosi yang dimiliki oleh individu yang berkumpul dalam aksi kolektif memiliki dua kemungkinan penyebaran. Pertama, shared emotion terjadi saat muncul rasa solidaritas karena kesamaan atribut seperti latar belakang dan perasaan ketidakadilan.

Kedua, reciprocal emotion adalah saat setiap tindakan yang merepresentasikan emosi individu akan menguatkan emosi yang dimiliki individu lainnya. Saat individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok, mereka berusaha mengadopsi pikiran dan perasaan kelompok. Penyebaran emosi ini menjadi kunci dalam mengidentifikasi munculnya aksi kolektif (Jasper, 1998).

Baca Juga: Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia: Mengoptimalkan Potensi Ekonomi dan Strategi Geopolitik

Jika emosi erat terlibat dalam pembentukan aksi kolektif, maka emosi tersebut akan terlihat sepanjang unjuk rasa. Dalam kasus Kolkata, kekecewaan dan kesedihan menjadi emotion tone negatif yang lebih menonjol dibandingkan kemarahan pengunjuk rasa. Hal ini ditunjukkan dengan unjuk rasa yang damai, seperti di Biswa Bangla Gate, di mana sekitar 8 ribu orang berkumpul sambil membawa lilin dan memegang poster yang menyentuh hati.

Aksi unjuk rasa yang dipicu oleh kasus Kolkata dapat menjadi pengingat bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan lebih banyak dipicu oleh emosi-emosi negatif. Kemudahan kognisi dalam memunculkan reaksi afektif dan cepatnya penyebaran emosi antar individu membuat pemerintah dan media perlu berhati-hati dalam membingkai kasus.

Jika tindakan yang dilakukan otoritas tidak tersampaikan dengan baik kepada publik, itu hanya akan menambah ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan kasus. Oleh karena itu, di samping komitmen nyata, pemerintah juga perlu melakukan penyaringan berita palsu agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat.

Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *