Saya pernah mengikuti sebuah diskusi dan bedah film bertema pendidikan yang mengangkat judul Freedom Writers (2007). Film ini merupakan adaptasi dari buku The Freedom Writers’ Diary of Student Room 203, yang ditulis oleh seorang guru bernama Erin Gruwell bersama murid-muridnya.
Erin, yang kala itu ditugaskan mengajar di sekolah setingkat Sekolah Menengah Kejuruan bernama Woodrow Wilson High School, harus menghadapi kenyataan pahit: sekolah tersebut berada di tengah situasi konflik rasial yang tinggi. Latar tempat California pada tahun 1992 adalah masa ketika ketegangan antar-ras dan kekerasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk di sektor pendidikan.
Diskriminasi antar kelompok etnis menyebabkan munculnya geng-geng pelajar yang saling bermusuhan. Ini bukanlah kenakalan remaja biasa, tetapi telah sampai pada level ekstrem seperti penembakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan antar kelompok etnis yang dipicu oleh rasisme dan intoleransi.
Di tengah situasi kacau tersebut, Erin menyadari bahwa mengajar mata pelajaran bahasa dan sastra bukanlah hal yang mudah. Kebijakan integrasi pemerintah yang mewajibkan penyatuan siswa tanpa memandang latar belakang justru berbuah konflik. Alih-alih memperkuat toleransi, keberagaman yang dipaksakan malah memperkeruh suasana dan melahirkan diskriminasi serta kekerasan fisik. Namun, Erin tak menyerah.
Literasi sebagai Media Pendidikan Karakter
Alih-alih menerapkan pendekatan disipliner militer, Erin memilih jalan lain: literasi. Ia percaya bahwa membaca dan menulis bisa menjadi media pembebasan dan pemberdayaan, sebagaimana konsep pendidikan menurut Paulo Freire (1968). Menurut Freire, pendidikan adalah alat untuk membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasan struktural.
Erin memahami bahwa anak-anak didiknya adalah korban dari lingkungan sosial yang keras dan tidak ramah anak. Kekerasan, diskriminasi, dan rasisme yang diwariskan orang dewasa telah menjadi lingkaran setan yang terus berulang. Erin pun memutuskan untuk memutus rantai tersebut melalui pendekatan literasi.
Ia memperkenalkan The Diary of Anne Frank, buku harian yang ditulis oleh gadis Yahudi korban Holocaust. Erin melihat adanya kesamaan antara kehidupan Anne Frank dan para muridnya yang kerap menghadapi diskriminasi. Awalnya, para siswa enggan membaca, namun perlahan-lahan mereka mulai terhubung secara emosional dengan kisah Anne. Mereka mulai melihat bahwa diskriminasi adalah musuh bersama yang harus dilawan.
Erin lalu menugaskan siswa menulis diari pribadi, sebagaimana Anne Frank. Ia juga mengajak mereka mengunjungi Museum Toleransi di Los Angeles, serta menghimpun dana untuk membantu para penyintas diskriminasi. Di puncaknya, mereka berhasil menyusun dan menerbitkan buku The Freedom Writers Diary pada tahun 1999. Buku ini menjadi bukti nyata bahwa literasi mampu mengubah jalan hidup seseorang.
Refleksi untuk Indonesia
Mari kita kembali ke tanah air. Belakangan ini, pembinaan kenakalan remaja kembali menjadi isu hangat. Salah satu kebijakan yang menimbulkan perdebatan adalah keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirimkan anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer untuk dibina. Kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Sementara itu, di DKI Jakarta, pendekatan yang diambil justru lebih edukatif. Gubernur Pramono Anung memperkenalkan model pembinaan melalui perpustakaan dan taman belajar, yang dianggap dapat menyalurkan energi anak-anak ke arah yang lebih positif dan produktif.
Kedua pendekatan tersebut memang mencerminkan visi yang berbeda. Namun demikian, sesungguhnya yang paling berwenang untuk memetakan arah pembinaan kenakalan remaja adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti. Ia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh strategi pembinaan anak tetap sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Kenakalan remaja sendiri tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas masalah pendidikan yang saling terkait. Menurut data Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJP) 2025–2045, pada tahun 2023 terdapat 1.639 narapidana anak, 32.940 kasus kehamilan usia anak, dan 22,5% dari seluruh kasus penyalahgunaan narkoba terjadi pada usia 14–25 tahun. Data ini menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan kita sangat serius dan melibatkan banyak pihak.
Digitalisasi Literasi dan Kontrol Perilaku
Dalam artikelnya berjudul Desentralisasi Pendidikan yang dimuat di Kompas (6 Mei 2025), Wakil Menteri Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq mengakui bahwa rendahnya kualitas guru, lemahnya kepemimpinan kepala sekolah, serta minimnya partisipasi masyarakat merupakan tantangan besar dalam sistem pendidikan kita. Ia juga mengungkapkan bahwa revisi UU Sisdiknas menjadi agenda penting untuk memperbaiki tata kelola guru dalam sistem pendidikan desentralistik.
Menurut saya, revisi tersebut harus dimanfaatkan untuk memperkuat kembali budaya literasi sekolah. Apalagi di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, literasi menjadi benteng yang sangat penting. Sayangnya, digitalisasi pendidikan di Indonesia sering kali hanya dipahami sebagai transformasi teknologi semata: soal asesmen, perangkat, dan platform digital.
Padahal, literasi digital harus menyentuh kebutuhan manusiawi siswa dan guru. Tanpa itu, kita hanya akan memperparah masalah. Kita melihat bagaimana anak-anak kini rentan terhadap cyberbullying, konten asusila, dan hoaks sejarah maupun politik karena rendahnya kemampuan literasi mereka.
Negara maju seperti Swedia bahkan sudah mengevaluasi kembali digitalisasi secara menyeluruh. Menteri Pendidikan Swedia, Lotta Edholm, seperti dikutip dari kompas.com (13 September 2023), menyatakan bahwa pembelajaran harus kembali difokuskan pada buku cetak dan interaksi langsung antara guru dan siswa.
Mereka menyadari bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan justru menurunkan keterampilan membaca dan menulis anak. Sebagai respon, Swedia mengalokasikan dana tambahan untuk pembelian buku cetak dan memperkuat peran guru di kelas.
Membangun Tradisi Literasi yang Kuat
Pelajaran penting dari Swedia dan kisah Erin Gruwell adalah bahwa budaya literasi yang kuat harus dimulai dari guru dan orang tua. Jika pendidik dan keluarga tidak membangun kebiasaan membaca dan menulis, maka anak-anak akan kehilangan arah. Di sinilah posisi strategis seorang menteri pendidikan seperti Prof. Abdul Mu’ti menjadi sangat penting.
Prof. Mu’ti dikenal sebagai sosok akademisi dengan akar tradisi intelektual yang kuat. Kita berharap beliau dapat menghidupkan kembali literasi bukan hanya sebagai bagian dari kurikulum, tetapi sebagai cara hidup dalam pendidikan. Anak-anak yang dilabeli nakal bisa berubah jika diberi ruang untuk berpikir, merasakan, dan mengekspresikan diri melalui tulisan.
Erin Gruwell berhasil bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena kekuatan kata. R.A. Kartini juga tidak akan mampu menginspirasi bangsa jika ia tidak menulis surat-surat yang menggugah kesadaran. Maka kita pun harus percaya bahwa literasi adalah alat yang ampuh untuk membangun karakter, empati, dan akal budi generasi muda.
Kini saatnya literasi tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi gerakan nasional untuk menyambut Indonesia Emas 2045. Dan itu dimulai dari rumah dan sekolah, dari orang tua dan guru, dari buku dan tulisan, bukan dari barak militer.