Menjaga Warisan Langka, Mushaf Al-Qur’an Tua di Pesantren Al-Yasir Jekulo, Kudus

Ilustrasi foto. (afsiralquran.id)
Ilustrasi foto. (afsiralquran.id)

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi dalam dunia keislaman, masih ada titik-titik cahaya yang diam-diam terus menjaga warisan luhur umat. Salah satunya terletak di sebuah tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota: Pondok Pesantren Al-Yasir Jekulo, Kudus. Di tempat ini, tersimpan sebuah manuskrip mushaf Al-Qur’an kuno—benda bersejarah yang mengandung nilai spiritual, seni, budaya, dan peradaban Islam masa lalu.

Sejarah Berdirinya Pesantren

Pondok Pesantren Al-Yasir berdiri pada sekitar tahun 1987 dan diasuh oleh KH. Ahmad Sa’iq bin Mahin bin Dahlan bin Yasir, seorang ulama yang merupakan keturunan dari tokoh karismatik Mbah Yasir. Sejak awal pendiriannya, pesantren ini tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai tradisi Islam yang kuat di wilayah Kudus.

Bacaan Lainnya

Keberadaan pesantren ini tidak lepas dari semangat kolektif masyarakat serta keluarga besar KH. Ahmad Sa’iq. Cikal bakal pondok bermula dari keinginan para santri yang ingin mengaji langsung kepada beliau. Dorongan dari wasiat sang ibu serta dukungan masyarakat sekitar—baik berupa lahan maupun material bangunan—menjadikan pondok ini tumbuh atas dasar keikhlasan dan kebersamaan. Kini, ratusan santri dari berbagai daerah menimba ilmu di sini, membentuk komunitas keilmuan yang terus berkembang.

Mushaf Kuno: Warisan Ilmu dan Spiritual

Salah satu kekayaan paling berharga dari pesantren ini adalah manuskrip mushaf Al-Qur’an kuno yang disimpan dalam etalase kaca di perpustakaan pondok. Naskah ini bukan sekadar kitab tua yang rapuh, melainkan peninggalan intelektual dan spiritual yang telah melintasi generasi. Mushaf ini diyakini berasal dari abad ke-19 dan ditulis di atas kertas Eropa dengan watermark khas yang hanya bisa terlihat ketika diterangi cahaya tertentu.

Berdasarkan cerita lisan, mushaf ini diberikan oleh KH. Dahlan kepada anaknya, KH. Mahin, dan kemudian diwariskan kepada KH. Ahmad Sa’iq. Oleh karena itu, mushaf ini bukan hanya benda fisik, tetapi juga simbol keberlanjutan transmisi ilmu dalam Islam—suatu praktik yang mengakar kuat dalam budaya pesantren.

Keindahan Fisik dan Estetika Mushaf

Meski telah berusia lebih dari seabad, kondisi fisik mushaf ini masih cukup baik dan teksnya tetap dapat dibaca dengan jelas. Mushaf ini terdiri dari 295 lembar halaman, masing-masing memuat 15 baris teks. Gaya penulisan yang digunakan adalah campuran antara rasm utsmani dan rasm imla’i, dengan qiraat ‘Ashim riwayat Hafṣ—standar bacaan Al-Qur’an yang umum digunakan di Indonesia.

Salah satu aspek yang paling menawan dari mushaf ini adalah iluminasi artistik yang menghiasi bagian awal, tengah, dan akhir. Motif floral khas Jawa dengan dominasi warna merah, hitam, dan hijau menjadi bukti bahwa sang penyalin mushaf tidak hanya memahami ilmu agama, tetapi juga memiliki sensitivitas artistik yang tinggi. Hal ini mencerminkan ciri khas para penyalin mushaf di wilayah Nusantara, yang menggabungkan keindahan estetika lokal dalam penyebaran wahyu ilahi.

Sayangnya, bagian sampul mushaf telah hilang, dan material aslinya tidak diketahui secara pasti. Namun, jejak warna hitam pada tepi mushaf mengindikasikan bahwa kemungkinan besar dahulu mushaf ini dibalut kulit hewan, bahan yang umum digunakan untuk menjaga ketahanan fisik manuskrip suci.

Mengapa Mushaf Ini Sangat Penting?

Melihat mushaf ini, kita tidak hanya sedang membaca wahyu, tetapi juga menelusuri jejak sejarah Islam Nusantara. Manuskrip ini menjadi saksi bisu tentang bagaimana umat Islam di masa lalu memuliakan Al-Qur’an dengan sepenuh hati—menulisnya dengan tangan, menghiasinya dengan cinta, dan merawatnya dengan penuh hormat.

Di tengah era serba digital, saat Al-Qur’an bisa diakses dengan satu sentuhan layar, keberadaan mushaf fisik seperti ini menjadi pengingat penting: bahwa interaksi dengan wahyu seharusnya tidak hanya bersifat praktis, tapi juga penuh penghargaan. Menyentuh Al-Qur’an tidak hanya melalui jari, tetapi juga dengan hati dan kesadaran akan nilai-nilai luhur yang dibawanya.

Lebih jauh, pelestarian mushaf kuno juga membuka ruang bagi para akademisi, sejarawan, dan pecinta budaya untuk mengeksplorasi perkembangan mushaf di Nusantara, baik dari sisi jenis kertas, gaya kaligrafi, hingga teknik iluminasi. Ini menjadi jembatan antara ilmu keislaman dan khazanah budaya lokal.

Merawat dan Merayakan Warisan

Apa yang dilakukan oleh Pesantren Al-Yasir adalah contoh konkret konservasi manuskrip Islam yang dimulai dari akar rumput. Tanpa menunggu intervensi lembaga besar, pesantren ini telah menjadi penjaga peradaban yang luar biasa. Mungkin masih banyak pesantren lain yang memiliki mushaf tua sejenis, namun belum semua menyadari pentingnya merawatnya.

Sudah saatnya dunia akademik, pemerintah, dan masyarakat luas memberikan perhatian serius terhadap manuskrip keislaman lokal, baik melalui digitalisasi, restorasi fisik, maupun kajian ilmiah. Bila tidak dirawat hari ini, bukan tidak mungkin warisan itu akan hilang dan hanya tersisa dalam cerita.

Dengan menggali kembali mushaf tua di pesantren-pesantren seperti Al-Yasir, kita tidak hanya menjaga masa lalu, tapi juga memperkaya masa depan peradaban Islam Indonesia. Ini adalah tugas kolektif yang tak boleh ditunda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *