Hukum perdata di Indonesia merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum nasional. Ia mengatur hubungan hukum antarindividu dalam masyarakat, meliputi aspek perjanjian, warisan, perikatan, hingga tanggung jawab perdata.
Namun, di tengah arus modernisasi dan kompleksitas sosial yang terus berkembang, muncul pertanyaan besar: masih relevankah hukum perdata kita saat ini?
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menjadi rujukan utama dalam sistem hukum perdata Indonesia, sejatinya merupakan warisan kolonial Belanda. Kitab ini mulai berlaku sejak masa Hindia Belanda dengan nama Burgerlijk Wetboek (BW).
Meskipun telah mengalami berbagai penyesuaian, keberadaannya hingga kini tetap dilandasi oleh asas konkordansi yang memungkinkan penerapan hukum kolonial pada sistem hukum nasional. Sayangnya, sistem ini justru melanggengkan pluralisme hukum yang kompleks dan seringkali memunculkan ketidakpastian hukum.
Permasalahan mendasar yang kerap muncul adalah adanya kesenjangan antara norma hukum yang tertulis dalam KUHPerdata dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Misalnya, asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata sangat menjunjung tinggi otonomi para pihak. Namun, dalam praktiknya, asas ini justru rentan disalahgunakan, terutama oleh pihak-pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat, sehingga memunculkan kontrak-kontrak yang timpang dan tidak adil.
Tantangan lain yang cukup kompleks adalah bagaimana hukum perdata berinteraksi dengan hukum Islam dan hukum adat, khususnya dalam perkara warisan. Di lapangan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada tiga sistem hukum yang hidup berdampingan: KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam, dan hukum adat. Ketiga sistem ini tidak jarang menimbulkan konflik yurisdiksi dan membingungkan masyarakat dalam menentukan hukum mana yang berlaku bagi mereka.
Kondisi ini memperkuat urgensi akan reformasi hukum perdata. Upaya revisi atau bahkan kodifikasi ulang harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya berfokus pada aspek formal hukum, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang dinamis.
Hukum perdata masa kini seharusnya lebih berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar mementingkan aspek legalistik yang kaku. Di sinilah pentingnya pembangunan Civil Code baru yang mampu mengakomodasi nilai-nilai modern, seperti perlindungan konsumen, hak-hak perempuan dan anak, serta perkembangan teknologi informasi.
Namun, proses reformasi hukum ini tidak boleh tergesa-gesa. Hukum perdata adalah fondasi hubungan privat di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan secara bertahap dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil.
Partisipasi publik sangat diperlukan agar hukum yang lahir benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu menjawab tantangan zaman.
Selain itu, pendidikan hukum juga harus mendapat perhatian khusus. Para praktisi hukum, termasuk hakim dan pengacara, perlu dibekali dengan perspektif progresif agar mampu menerjemahkan dan menerapkan hukum perdata secara kontekstual, sesuai dengan realitas sosial yang terus berubah.
Hukum perdata Indonesia kini berada di persimpangan antara mempertahankan warisan kolonial atau bertransformasi menuju sistem hukum yang lebih adaptif. Reformasi yang dibutuhkan bukan sekadar perubahan redaksional pada teks undang-undang, melainkan pembentukan kerangka hukum yang hidup, adil, dan relevan. Hukum harus menjadi alat perubahan sosial yang mampu menghadirkan keadilan nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menjadi kumpulan norma yang kehilangan makna.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H