Dalam sistem hukum, hakim memainkan peran yang sangat penting dalam menilai dan memutuskan perkara. Dalam sistem Civil Law, seperti yang dianut oleh banyak negara di Eropa, hakim bersifat aktif dalam mencari dan menemukan fakta hukum.
Sejak awal, hakim berusaha menggali dan memahami secara menyeluruh duduk perkara yang sedang ditanganinya. Profesionalisme, integritas, dan kecermatan dalam menilai alat bukti menjadi landasan utama sistem ini.
Indonesia secara formal menganut sistem Civil Law, yakni sistem hukum yang bertumpu pada kodifikasi atau pengumpulan hukum-hukum dalam bentuk undang-undang tertulis. Dalam praktiknya, seorang hakim tidak sekadar menjadi penengah pasif, tetapi aktif mencari dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menggali fakta-fakta hukum selama persidangan.
Hal ini membedakannya secara mendasar dari sistem Common Law, di mana hakim berperan lebih pasif dan putusan didasarkan pada preseden (putusan-putusan sebelumnya).
Namun demikian, perkembangan sistem peradilan di Indonesia menunjukkan adanya dinamika. Meskipun secara prinsip berlandaskan pada Civil Law, dalam praktiknya Indonesia juga menyerap beberapa karakteristik dari sistem Common Law.
Hal ini dapat terlihat dari kedudukan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang diakui. Dalam konteks ini, yurisprudensi merujuk pada putusan hakim terdahulu yang menjadi rujukan bagi perkara sejenis, terutama ketika belum ada aturan yang jelas dalam perundang-undangan.
Selain itu, Indonesia juga mengakui keberadaan hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Dalam terminologi Common Law, unsur ini dikenal dengan sebutan local rules atau kaidah-kaidah lokal. Kebiasaan yang telah lama dijalankan dan diterima oleh masyarakat bisa saja dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam suatu perkara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menariknya, menurut Prof. Mahfud MD dalam salah satu kuliah umumnya, Indonesia tidak dapat dikategorikan secara tegas sebagai negara penganut Civil Law maupun Common Law. Ia menyebut Indonesia sebagai negara hukum prismatik, yakni sistem hukum yang dibentuk berdasarkan cita-cita hukum bangsa Indonesia sendiri. Dalam sistem prismatik ini, unsur-unsur dari kedua sistem hukum besar dunia tersebut diadopsi dan disesuaikan dengan kebutuhan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Konsep sistem hukum terbuka menjadi penting di sini. Sebuah sistem hukum tidak dapat berdiri kaku terhadap perkembangan zaman. Masyarakat yang terus berubah, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya, memerlukan sistem hukum yang adaptif.
Oleh karena itu, penggabungan atau pengadopsian unsur dari berbagai sistem bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga menjadi kebutuhan agar hukum tetap relevan dan berpihak pada keadilan.
Dengan demikian, jika muncul pertanyaan, sistem hukum manakah yang dianut Indonesia? Maka jawabannya adalah Civil Law, namun dalam implementasinya tidak menutup diri terhadap pengaruh dan praktik dari sistem Common Law. Pengadopsian tersebut dilakukan secara selektif melalui proses penyaringan nilai, sehingga tetap sesuai dengan konteks hukum nasional.
Tidak ada larangan bagi suatu negara untuk menerapkan sistem hukum campuran, selama sistem tersebut mampu memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat. Inilah wajah sistem hukum Indonesia: fleksibel, adaptif, dan terbuka terhadap perubahan, namun tetap berpijak pada nilai-nilai dan jati diri bangsa.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H