Fenomena kebebasan berpendapat di era perkembangan teknologi komunikasi menembus batas wajar, setiap orang dengan mudah berasumsi. Salah satu faktor yang melatarbelakangi adalah ketersediaan informasi yang melimpah dengan akses yang mudah. Nadirsyah Hosen pernah menuliskan dalam cuitannya bahwa media sosial membuat orang menjadi setara, hirarki keilmuan tidak lagi dihargai setiap orang merasa menjadi pakar.
Perkembangan media telah melahirkan fenomena perang opini yang tarik-menarik dengan pangsa pasar yang berbeda. Hal itu mampu memberi warna pada masalah yang akan, sedang dan sudah terjadi. Medsos menjadi corong utama opini dibuat dan digulirkan serta dipercaya oleh mayoritas pengguna internet sebagai instrumen paling efektif dalam memengaruhi pembaca di seluruh dunia.
Media sosial telah meruntuhkan dinding regional informasi segala hal mampu go international dalam hitungan detik ke penjuru dunia. Bermunculan tanggapan yang reaktif baik kecurigaan, saling menyerang, menunjukkan dalam sisi yang konstruktif maupun desktruktif sehingga pertarungan opini dalam masyarakat global benar-benar terjadi.
Nurudin, M. Si. dalam buku Pengantar Komunikasi Massa (2007) menuliskan diakui atau tidak disebabkan oleh peran media massa. Namun sebaliknya, kekacauan, kemerosotan moral dan tindak kekerasan di masyarakat tidak lepas dari peran media massa. Hal tersebut jika dikorelasikan dengan kemunculan opini memang benar adanya kita sedang merasakan kemerosotan moral. Lebih lanjut Nurudin menggunakan istilah Global Village (desa global) sebuah konsep yang dikenalkan oleh Marshall McLuhan diibaratkan desa yang sangat besar sehingga mana perkembangan teknologi komunikasi kejadian dalam suatu negara dalam beberapa saat dapat diketahui seluruh penjuru dunia.
Jika kita melihat permasalahan dalam tatanan Global Village adalah saling bergesekan dalam dua kubu besar. Benturan opini (clash opinion) di antara para pendukung telah mengubah pola komunikasi kearah yang membahayakan. Percakapan selalu dibumbui kecurigaan, saling menyerang, menunjukkan kekurangan, menyalahkan lalu melebar dari inti permasalahan yang acap kali menyentuh suku, ras dan agama.
Perilaku manusia dalam Global Village perlombaan justifikasi tak berdasar cenderung masif dilakukan. Bayangkan, telah banyak bermunculan manusia-manusia yang tanpa henti merekayasa sebuah tipu daya, persekongkolan atau konspirasi bahkan tuduhan demi tuduhan dihempaskan dalam balutan opini ke mata publik. Kita dibuat terkejut, api permusuhan membara seketika, kemanusiaan menjadi hilang, akal tak lagi berdamai dengan hati, logika dan uang yang dituhankan. Banyak yang terluka hatinya, menjerit batinnya, ada juga yang terluka fisiknya padahal dalam ajaran agama jelas disebut tuduhan adalah lebih keji dari pembunuhan.
Kondisi yang seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan. Diperlukan kemantapan hati dan akal untuk menghadapi segala perbedaan. Agama punya jalur khusus dalam memberi sebuah perbaikan. Spiritualitas dan transedensi ketuhanan adalah dua hal yang harus mendapatkan perhatian. Dalam sisi yang lain, suka atau tidak suka upaya non-kekerasan oleh Mahatma Ghandi, kekuasaan merangkul oleh Sulaiman, pengetahuan organik oleh Gramschi adalah dari beberapa spirit yang diperlukan dalam menata pertarungan opini dalam komunikasi Global Village.
Kehadiran opini yang baik dengan dimensi kebermanfaatan dalam merapatkan persaudaraan berimplikasi pada sisi humanitas komunikasi Global Village, yang dihuni oleh beragam suku, etnis, dan golongan serta bangsa yang berbeda. Terhadap pertarungan opini tidak sehat itu, perlu merenungkan “menang jadi arang kalah jadi debu”. Jangan jadi arang! Jangan jadi debu! Opini harus menyatukan, memuliakan, menggembirakan dan saling menjaga batasan. Barangkali terlalu utopis, tetapi persaudaraan dalam kemanusiaan adalah sebuah keniscayaan.