Pada 30 Maret 2018 lalu, telah terjadi kasus penolakan terhadap warga Katolik di Dusun Karet, Bantul oleh warga setempat. Penolakan tersebut dialami oleh Slamet Juniarto dan keluarganya yang berasal dari Temanggung. Kasus tersebut dinilai mencederai nilai-nilai keadilan terhadap setiap pemeluk agama, mengingat Indonesia adalah negara dengan pemeluk agama yang majemuk. Untuk menilai kasus tersebut, dapat ditinjau dengan pendekatan surah Al-Mumtahanah ayat 8, yang berisi tentang keadilan terhadap pemeluk agama lain.
Kronologi Kasus
Kasus penolakan terhadap penganut agama Katolik yang dialami oleh Slamet Juniarto dan keluarganya terjadi di Dusun Karet, Pleret, Bantul pada 30 Maret 2018 lalu. Penolakan tersebut terjadi sehari setelah ia telah mengontrak sebuah rumah di wilayah tersebut. Saat Slamet hendak menyerahkan data diri ke pihak RT untuk laporan izin tinggal, izin tersebut ditolak dengan alasan warga setempat telah menyepakati bahwa warga non-Muslim tidak boleh bermukim di wilayah tersebut.
Mediasi telah dilaksanakan untuk mengatasi kasus tersebut. Akan tetapi, hasilnya tetap sama, yaitu Slamet dan keluarganya tidak diterima. Meski beberapa warga mendukung Slamet, pihak RT tetap menyarankan untuk mengurangi masa kontrak rumahnya menjadi 6 bulan dari yang semula selama setahun. Slamet sempat menolak saran tersebut jika tidak diberikan masa selama setahun, ia pun terpaksa mengalah dan memilih pindah.
Tinjauan Kasus Terhadap Surah Al-Mumtahanah Ayat 8
Kasus ini merupakan bentuk nyata dari pelanggaran nilai keadilan dan diskriminasi agama. Indonesia, sebagai negara majemuk dengan agama yang beragam, menjunjung tinggi prinsip toleransi dan saling menghargai. Dalam kasus Slamet, yang tidak mengancam agama lain, jelas bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Di dalam Al-Qur’an sendiri telah dibahas mengenai keadilan terhadap pemeluk agama lain yang tercantum dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8:
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini turun berdasarkan pada kisah Qatilah, mantan istri Abu Bakar yang non-Muslim, saat mengunjungi putrinya Asma. Qatilah datang dengan membawa hadiah untuk Asma, namun ditolak. Kemudian Abu bakar mengutus Aisyah untuk bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu. Aisyah pun kembali dan mengabarkan bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk menerima hadiah-hadiah itu dan membolehkan ibunya masuk kedalam rumah. Berdasarkan riwayat, ayat tersebut juga turun pada saat terjadinya masa gencatan senjata antara kaum Muslim dengan orang Quraisy. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa ayat tersebut turun dalam konteks masa yang tenang, bukan dalam kedaan konflik. Dapat disimpulkan, ayat tersebut tidak hanya berbicara mengenai toleransi saja, namun juga tentang menjaga hubungan baik dan besikap adil dengan non-muslim selama tidak mengancam agama.
Tinjauan Terhadap UUD 1945 Pasal 28E ayat 1
Di Indonesia, pengaturan kebebasan beragama dan beribadah telah ditetapkan dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan memilih pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan kembali ke tempat tinggalnya. Pasal ini menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih tempat tinggal.
Baca Juga: Pendekatan Agama dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Konflik di Papua
Surah Al-Mumtahanah Ayat 8 menekankan pentingnya berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi Islam. UUD 1945 juga meberikan regulasi mengenai hak seseorang untuk bebas memilih agama dan tempat tinggalnya. Dalam kasus penolakan warga Katolik yang dialami oleh Slamet, tentu tidak dibenarkan. Pasalnya ia tidak melakukan tindakan yang membahayakan agama Islam atau warga dusun, sehingga penolakan terhadapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam ayat ini. Penolakan tersebut juga mencederai hak Slamet sebagai warga negara untuk bebas dalam memilih agama dan tempat tinggalnya.
Referensi
- https://jogja.idntimes.com/news/jogja/daruwaskita/kronologi-slamet-umat-katolik-yang-ditolak-tinggal-di-dusun-karet?page=allhttps://daaral-atsar.com/tafsir-060-008
Semangat ,…..lanjutkan menulis