Peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tolikara hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan dan diskriminasi yang mengendap di Papua. Tidak hanya Tolikara, selama ini kasus kekerasan yang seringkali berpangkal pada persoalan diskriminasi di Papua tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Kasus-kasus yang ada dibiarkan menguap bahkan sepi dari pemberitaan media.
Konflik antar umat beragama seringkali mencerminkan ketegangan yang dalam dan rumit, dengan akar yang bisa mencapai berbagai hal, dari masalah sejarah dan budaya hingga masalah politik dan ekonomi. kita perlu memahami bahwa konflik agama sering kali disebabkan oleh ketidakpahaman antar kelompok agama yang berbeda. Ini bisa berupa perbedaan dalam keyakinan, praktik keagamaan, atau bahkan interpretasi terhadap teks-teks suci. Dalam kasus Tolikara, konflik antara umat Kristen dan umat Islam mungkin juga mencerminkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas di wilayah tersebut.
Pada tahun 2015 terjadi dalam konteks ketegangan antara sebagian masyarakat setempat dan aparat keamanan. Konflik tersebut terkait dengan perayaan Hari Idul Fitri di mana sekelompok warga melakukan salat di luar sebuah mushola yang masih dalam proses pembangunan. Warga setempat, yang mayoritas non-Muslim, merasa terganggu oleh kegiatan tersebut dan memprotesnya.
Ketegangan meningkat ketika aparat keamanan dituduh mengintervensi kegiatan keagamaan tersebut dengan cara yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Situasi semakin memanas saat massa yang marah terhadap aparat keamanan menyerang dan membakar mushola tersebut.
Latar belakang insiden ini mencakup dinamika antar-etnis dan agama di wilayah tersebut, serta ketegangan yang ada antara sebagian masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia. Insiden ini mencerminkan kompleksitas situasi sosial dan politik di Papua yang masih menjadi isu sensitif dalam dinamika kebangsaan Indonesia.
Pendekatan agama untuk menyelesaikan konflik seperti ini haruslah memggunakan dialog antar umat beragama yang saling menghormati dan memahami satu sama lain. Ini bisa dilakukan melalui dialog antar umat beragama, forum-forum dialog lintas agama, atau bahkan kerjasama proyek-proyek kemanusiaan yang melibatkan berbagai komunitas keagamaan. Penting untuk diingat bahwa kebanyakan agama mengajarkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan saling pengertian, dan pendekatan ini haruslah menggarisbawahi nilai-nilai tersebut.
Namun, pendekatan agama saja tidak cukup. Dalam konteks konflik Tolikara, kita juga perlu memperhatikan dimensi sosial, ekonomi, dan politik dari konflik tersebut. Ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, LSM, dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Teori Double Movement Fazlur Rahman merujuk pada dua arah gerakan yang saling bertentangan dalam masyarakat Muslim. Pertama, gerakan ke arah konservatisme atau tradisionalisme yang mencoba mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tradisional dalam agama. Kedua, gerakan ke arah reformisme atau modernisme yang berusaha untuk menafsir ulang dan menyesuaikan ajaran agama dengan tuntutan dan realitas zaman yang terus berubah.
Sekarang, mari kita tinjau pendekatan ini dari sudut pandang teori Double Movement oleh Fazlur Rahman. Dalam teori Double Movement, solusi yang efektif untuk konflik seperti ini adalah dengan mengintegrasikan kedua gerakan tersebut ke dalam sebuah sintesis yang konstruktif. Artinya, kita perlu mengakui kebutuhan untuk perubahan, namun juga harus memperhitungkan kekhawatiran dan kepentingan dari pihak-pihak yang mempertahankan status quo. Ini bisa dilakukan melalui dialog yang jujur dan terbuka, di mana semua pihak merasa didengar dan dihargai.
Dalam konteks konflik Tolikara, pendekatan ini mungkin melibatkan pembentukan forum dialog antar umat beragama yang inklusif, di mana semua pihak dapat berpartisipasi dalam merumuskan solusi yang dapat diterima oleh semua. Hal ini juga memerlukan komitmen dari pemerintah untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan sosial di wilayah tersebut, serta dukungan dari masyarakat sipil dan lembaga internasional dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang relevan dengan situasi ini adalah Surah Al-Hujurat (49:13):
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang perepmpuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”
Ayat ini menekankan pentingnya saling mengenal dan memahami satu sama lain di antara berbagai kelompok dan suku bangsa. Ini menggarisbawahi bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita seharusnya menjadi sumber pemahaman dan keberagaman yang memperkaya, bukan sumber konflik dan permusuhan. Dengan mengambil hikmah dari ayat ini, pendekatan dialog antar umat beragama dapat diperkuat, di mana umat Islam dan umat Kristen di Tolikara dapat saling mengenal dan memahami keyakinan dan praktik keagamaan satu sama lain dengan penuh rasa hormat.
Selain itu, Solusi lainnya adalah melalui pendekatan yang inklusif dalam pengambilan keputusan dan pembangunan. Ayat lain yang relevan adalah Surah Ash-Shura (42:38):
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, sedang hati mereka takut (kepada Allah), karena sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.”
Ayat ini menekankan pentingnya keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pemberian dan pengambilan keputusan. Dalam konteks konflik Tolikara, solusi yang inklusif harus memastikan bahwa semua pihak, tanpa memandang agama atau suku bangsa, memiliki akses yang sama dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masa depan mereka. Ini membutuhkan komitmen untuk membangun institusi-institusi yang adil dan transparan, di mana suara semua pihak didengar dan dihargai.
Baca Juga: Analisis Kepemimpinan Dalam Konsep Islam dengan Teori Fazlur Rahman
Dengan demikian, solusi untuk konflik di Tolikara haruslah mencakup pendekatan yang holistik, yang mencakup aspek-aspek agama, sosial, ekonomi, dan politik. Dengan memperkuat nilai-nilai perdamaian dan keadilan yang terdapat dalam ajaran agama, serta memastikan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat, kita dapat berharap untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan dan adil di wilayah tersebut.