Sistem Patriarki Dalam Hikayat Putroe Ijo

Ilustrasi Putri hijau
Ilustrasi Putri hijau

Sistem patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam suatu kepemimpinan. Dalam hal ini, perempuan dianggap kurang berpengaruh dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Menurut Pinem, 2004 (dalam Israpil, 2017) patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Akibat dari sistem patriarki ini adalah ketidakseimbangan gender dan akan menyebabkan pada kekerasan pada perempuan seperti kekerasan fisik, emosi, hingga psikologis.

Sikap-sikap patriarki dapat ditemukan di berbagai tempat, baik secara langsung maupun dalam tulisan. Sikap patriarki dalam tulisan dapat dilihat pada cerita-cerita rakyat atau legenda maupun karya sastra lainnya. Salah satu sikap patriarki yang ada dalam tulisan dapat dilihat pada hikayat berjudul Putri Hijau dalam buku berjudul “Alih Bahasa Hikayat Putroe Ijo (Bahasa Aceh Ke Indonesia” karya Hermansyah.

Bacaan Lainnya

Hikayat merupakan karya sastra berbentuk prosa lama yang menceritakan kehidupan istana dan raja atau ratu yang dihiasi dengan kekuatan atau kejadian yang ajaib. Hikayat juga merupakan kisah, dongeng, legenda maupun sejarah yang ditulis menggunakan bahasa pada zaman hikayat itu ditulis. Perbedaan antara bahasa lama dengan bahasa baru menyebabkan adanya kesulitan bagi pembaca awam untuk mengartikan tulisan sebuah hikayat. Maka dengan demikian, para ahli mengalih aksara dan mengalih bahasakan sebuah teks hikayat asli agar dapat dibaca dan dimengerti oleh generasi selanjutnya. Hikayat lama biasanya ditulis di atas batu, daun hingga kulit kayu.

Hikayat Putri Hijau merupakan salah satu dari beberapa hikayat tradisional yang terkenal di Indonesia. Hikayat ini bercerita tentang seorang putri raja Kerajaan Deli yang cantik jelita dan memancarkan cahaya hijau hingga ke ujung Barat. Putri Hijau merupakan anak kedua Raja Deli bernama Sultan Sulaiman. Atas kecantikan yang dimiliki oleh Putri Hijau, membuat Raja Aceh Syah Alam dari Kesultanan Aceh ingin mempersuntingnya secara resmi. Bermula pada saat Raja Syah Alam keheranan atas cahaya hijau yang terpancar dari tubuh Putri Hijau. Raja Syah Alam akhirnya mengutus menterinya untuk melamar Putri Hijau untuk dirinya. Raja Aceh berharap untuk dapat menjalin hubungan baik antara dua negeri (kerajaan). Namun, lamaran Raja Syah Alam ditolak oleh Putri Hijau karena ia masih berduka atas kematian ayahnya.

Hikayat Putri Hijau ini dialihbahasakan dari bahasa Aceh menjadi bahasa Indonesia oleh Hermansyah yang merupakan ahli dalam bidang tersebut. Dalam hikayat ini, Putri Hijau diceritakan sebagai perempuan yang kurang berpengaruh dalam kehidupan sosial. Ia hanya digambarkan sebagai perempuan yang menolak lamaran Raja Syah Alam sebelum akhirnya dibawa secara paksa oleh raja Aceh tersebut.

Dalam Hikayat Putroe Ijo, sistem patriarki terlihat sangat jelas pada salah satu karakternya. Dalam hal ini, laki-laki menjadi pemimpin yang memiliki kuasa penuh atas sistem sosial. Raja Syah Alam dari Kesultanan Aceh digambarkan sebagai raja yang menganut sistem patriarki. Raja Syah Alam memiliki kekuasaan penuh atas Kesultanan Aceh yang dipimpinnya, serta memiliki kuasa di berbagai daerah atas kejayaan dan kekuatan yang dimilikinya. Salah satu ciri-ciri sistem patriarki yang ada pada tokoh Raja Syah Alam dapat dilihat pada kutipan berikut.

Kalau bermaksud untuk selamat, adikmu antar ke saya

Putri Hijau engkau bawa cepat, saya maksud untuk jadi isteri

Kalau kamu permintaan saya, saya terima kamu sebagai famili

Dengan saya sah saudara, tiada dakwa barang apa saja

(Hal. 79)

Kutipan tersebut merupakan isi dari surat raja Syah Alam kepada Raja Deli atau kakak dari Putri Hijau. Surat tersebut ditulis setelah Raja Syah Alam ditolak oleh Putri Hijau. Dapat dilihat bahwa Raja Syah Alam mengancam Raja Deli untuk mengantarkan adiknya ke Kesultanan Aceh. dengan demikian, Raja Deli akan dianggap sebagai bagian dari keluarga oleh Raja Syah Alam.

Selain kutipan di atas, terdapat kutipan lain yang menunjukkan sikap patriarki dari Raja Syah Alam. Kutipan tersebut adalah sebagai berikut.

Saya masukkan dalam penjara engkau raja malu keji

Yang putri ini tetap saya bawa, mana laba coba katakan

Saya tinggal negeri dikelilingi laut, tiada saya takut siapa saja

Satu depa tidak saya surut, jangan engkau takuti saya tidak peduli

(Hal. 79)

Kutipan tersebut merupakan lanjutan isi surat yang ditulis Raja Syah Alam kepada Raja Deli. Dapat dilihat bahwa Raja Syah Alam kembali memberi ancaman kepada Raja Deli jika tidak memberikan adiknya yakni Putri Hijau kepada Raja Syah Alam. Raja Aceh tersebut mengancam akan memasukkan Raja Deli ke dalam penjara agar malu dan akan tetap membawa Putri Hijau ke Kesultanan Aceh. Raja Syah Alam juga mengatakan bahwa meskipun daerahnya dikelilingi lautan, ia tidak takut pada siapapun. Hal ini menunjukkan bahwa sikap patriarki terpancar sangat jelas pada diri Raja Syah Alam.

Sikap patriarki yang dimiliki Raja Syah Alam terlihat pada pemaksaan untuk menjadikan Putri Hijau sebagai istrinya. Meskipun telah ditolak, Raja Syah Alam tetap memaksakan kehendak pribadinya tersebut. Dalam hal ini, hak perempuan tidak berpengaruh dalam pengambilan suatu keputusan.

Selain itu, sikap lain yang menunjukkan bahwa Raja Syah Alam memiliki sikap patriarki adalah ia tidak terima bahwasannya dirinya ditolak oleh Putri Hijau. Ia langsung marah dan menyuruh para tentaranya untuk bersiap menyerang kerajaan Deli. Sikap egois ini juga merupakan salah satu bentuk patriarki terhadap perempuan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Raja Aceh dengar riwayat, amarah sangat tiada tara

Wadir menteri panggil segera, berkumpul semua tentara

Mengatakan besok jadi peperangan, kita goncang negeri Deli

Suruh persiapkan semua alat, senjata perang kuda Tiji

(Hal. 80)

Beberapa kutipan di atas memperlihatkan bahwa sistem patriarki bersumber dari egoisme dan keinginan pribadi. Sikap yang egois tidak akan memandang gender dan selalu ingin menang dari orang lain, hal ini juga merupakan salah satu bentuk dari ambisi manusia. Manusia tidak akan pernah puas atas segala ambisinya, ia akan terus merasa kurang dan kurang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *