Bulan Ramadan adalah momen istimewa yang penuh makna bagi umat Muslim di seluruh dunia. Di bulan suci ini, kebersamaan, kepedulian, dan semangat untuk berbagi menjadi nilai-nilai utama yang dijunjung tinggi.
Tak heran jika banyak tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tetap lestari hingga kini. Salah satunya adalah Tradisi Serabi Likuran yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Penggarit, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang.
Tradisi Serabi Likuran berlangsung setiap tahun pada sepuluh malam terakhir Ramadan, tepatnya pada tanggal ganjil antara tanggal 21 hingga 29. Dalam bahasa Jawa, istilah “Likuran” merujuk pada bilangan dua puluhan, meski uniknya pengecualian terjadi pada angka 25 yang tidak selalu termasuk dalam rangkaian ini. Tradisi ini bukan sekadar aktivitas kuliner, tetapi merupakan simbol kebersamaan, gotong royong, dan interaksi sosial yang mempererat hubungan antarwarga.
Menurut Imam Wibowo, Kepala Desa Penggarit, awal mula tradisi ini berasal dari keprihatinan tokoh masyarakat pada masa lampau yang ingin meningkatkan komunikasi dan kebersamaan antarwarga. Maka digagaslah kegiatan membuat dan membagikan serabi di malam-malam Ramadan.
“Dari zaman dahulu, warga membuat serabi menggunakan tungku tradisional dan menyajikannya dengan kuah kinca. Serabi-serabi itu kemudian dibagikan kepada tetangga sebagai bentuk silaturahmi,” jelasnya.
Kegiatan ini digelar di sepanjang Jalan R. Sudibyo, Desa Penggarit, sejauh kurang lebih 750 meter. Di sepanjang jalan tersebut, sekitar 30 pedagang turut serta menjajakan serabi. Menariknya, sebagian besar pedagang adalah pengrajin serabi tradisional yang sudah lanjut usia, namun tetap terampil.
Imam Wibowo berharap keberadaan mereka bisa menginspirasi dan mengedukasi generasi muda agar tidak melupakan warisan budaya ini.
Salah satu aspek yang membuat Tradisi Serabi Likuran semakin unik adalah cara transaksinya. Ketua pelaksana kegiatan, Hartoyo, yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), menjelaskan bahwa sistem pembelian menggunakan “Uang Klithik”—koin kayu seharga seribu rupiah yang dibeli dari panitia.
Dengan satu uang klithik, pembeli bisa mendapatkan setangkep atau dua buah serabi. Harga ini terbilang murah karena panitia memberikan subsidi, sementara pedagang tetap bisa menukarkan uang tersebut dengan nominal sesuai harga pasaran serabi, yakni dua hingga tiga ribu rupiah.
Antusiasme masyarakat terlihat dari ramainya pembeli dan cepatnya serabi habis terjual. Hal ini menandakan sambutan positif dari warga terhadap tradisi ini. Tak hanya sebagai ajang jual beli, Tradisi Serabi Likuran juga menjadi wahana pelestarian budaya lokal yang menggambarkan nilai-nilai luhur seperti semangat gotong royong, solidaritas, dan kepedulian sosial.
Dengan mempertahankan dan melestarikan tradisi ini, masyarakat Desa Penggarit memberikan teladan bahwa kebudayaan lokal tidak hanya bisa hidup berdampingan dengan zaman, tetapi juga menjadi fondasi kuat dalam membangun hubungan sosial yang harmonis. Diharapkan generasi muda dapat terus menjaga dan melanjutkan tradisi ini agar tidak tergerus oleh modernitas.