Di Balik Kemudahan Ojek Online: Luka Sosial dan Jerat Kapitalisme

Ilustrasi foto/doc. pribadi
Ilustrasi foto/doc. pribadi

Dalam beberapa tahun terakhir, ojek online telah merevolusi wajah transportasi di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung. Platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan InDrive hadir sebagai solusi praktis yang menawarkan layanan transportasi roda dua dan empat dengan hanya beberapa ketukan di layar ponsel.

Masyarakat dimanjakan dengan pilihan tarif beragam sesuai jarak tempuh dan platform yang digunakan, ditambah promo-promo menarik yang membuat layanan ini semakin digandrungi.

Bacaan Lainnya

Tak hanya terbatas pada jasa transportasi, platform ojek online juga merambah ke sektor pengantaran makanan melalui fitur seperti GoFood, GrabFood, dan ShopeeFood. Fitur ini sangat membantu masyarakat, khususnya para mahasiswa atau pekerja yang tidak sempat memasak dan ingin tetap bisa menikmati makanan tanpa harus keluar rumah.

Dari sisi pelaku usaha, khususnya warung makan kecil, kerja sama dengan platform-platform ini memperluas jangkauan konsumen mereka. Promo menarik seperti gratis ongkir dan diskon harga yang hampir tersedia setiap hari menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna.

Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, muncul sejumlah persoalan sosial yang tidak bisa diabaikan. Sejak awal kemunculannya, ojek memang dikenal sebagai moda transportasi informal yang populer di kawasan perkotaan.

Jika ditarik ke belakang, ojek sudah mulai eksis di Jakarta sejak tahun 1970-an, khususnya di kawasan Tanjung Priok. Namun, baru diakui secara luas pada tahun 1980-an ketika becak mulai dilarang beroperasi di Jakarta.

Kendati pernah dilarang karena dinilai tidak sesuai dengan konsep transportasi umum, eksistensinya tetap bertahan karena mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara cepat dan fleksibel.

Keberadaan ojek sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya kawasan-kawasan permukiman miskin di kota-kota besar. Dari sinilah muncul berbagai pekerjaan informal seperti tukang becak, ojek pangkalan, hingga taksi gelap. Lingkungan ini menjadi ladang subur bagi ekonomi informal yang tumbuh secara organik akibat keterbatasan akses terhadap lapangan pekerjaan formal.

Kemunculan Gojek sebagai pelopor ojek online tidak bisa dilepaskan dari keresahan Nadiem Makarim atas kemacetan Jakarta dan sulitnya mendapatkan ojek pada masa itu. Ide awal berupa layanan call center yang menghubungkan penumpang dengan tukang ojek perlahan berkembang menjadi aplikasi digital yang lebih praktis dan menjangkau lebih luas.

Sejak dirilisnya aplikasi Gojek pada Januari 2015, transformasi besar-besaran terjadi. Jumlah pengemudi meningkat tajam, dan masyarakat mulai beralih dari ojek pangkalan ke ojek berbasis aplikasi.

Di awal kemunculannya, profesi driver ojek online tampak menjanjikan. Pendapatan mereka disebut-sebut bisa mencapai Rp8,25 juta per bulan, jauh melampaui upah minimum kota seperti Surabaya saat itu.

Tak heran jika profesi ini menjadi pilihan banyak masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Namun, seiring waktu, kenyataan berkata lain. Potongan yang diambil oleh aplikator dari pendapatan driver bisa mencapai 30-40 persen, membuat penghasilan mereka terus tergerus. Semakin hari, pendapatan para driver makin mengecil, sementara biaya operasional tetap bahkan meningkat.

Sistem kerja yang diterapkan oleh aplikator cenderung timpang. Meskipun para pengemudi disebut sebagai “mitra”, mereka tidak mendapatkan perlindungan yang layak. Atribut kerja seperti jaket dan helm harus dibeli sendiri, kendaraan yang digunakan merupakan milik pribadi, dan jika terjadi kerusakan atau kecelakaan, seluruh risiko ditanggung sendiri oleh driver. Beberapa aplikator memang menyediakan opsi penyewaan kendaraan, namun ini justru menambah beban keuangan mereka.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme bekerja secara halus namun menekan. Di satu sisi, aplikator meraih keuntungan besar dari skema ini. Semakin banyak mitra yang bergabung, semakin besar pula profit yang dikantongi perusahaan. Namun di sisi lain, para driver justru terjebak dalam lingkaran kerja tanpa jaminan dan upah yang tidak sebanding. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap terpuruk.

Puncak keresahan para driver terjadi pada 10 Oktober 2024, ketika ratusan pengemudi ojol melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Mereka menuntut keadilan dari aplikator yang dinilai semakin semena-mena.

Salah satu tuntutan utama adalah menolak kebijakan penurunan tarif secara sepihak. Bayangkan saja, tarif yang sebelumnya Rp9.000 kini hanya Rp5.000 hingga Rp6.000 untuk jarak yang sama. Kondisi ini sangat tidak manusiawi, terlebih ketika beban operasional terus meningkat.

Kendati demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa ojek online tetap memberikan solusi praktis bagi masyarakat dalam hal mobilitas dan penghasilan alternatif. Namun, status “mitra” seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan hak-hak para driver.

Mereka adalah tulang punggung dari sistem ini, dan tanpa mereka, aplikator tak bisa menjalankan bisnisnya. Perlu ada kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan pengemudi.

Melihat realitas ini, sudah saatnya pemerintah turun tangan lebih tegas untuk mengatur regulasi dan perlindungan bagi pekerja di sektor ekonomi digital seperti ojek online. Jangan sampai pertumbuhan teknologi yang begitu cepat justru menciptakan luka sosial yang mendalam, alih-alih menjadi solusi atas permasalahan masyarakat urban.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *