Warisan Mbah Yai Mudhoffar: Naskah Kuno Amaliyah NU

ilustrasi foto. (penulis)
ilustrasi foto. (penulis)

Di sebuah pondok pesantren kecil di Jepara, tersimpan sebuah naskah kuno yang sangat berharga. Naskah tersebut merupakan tulisan tangan KH. Mudhoffar Fathurrahman—akrab disapa Mbah Yai Mudhoffar—seorang ulama kharismatik sekaligus pendiri Pondok Pesantren Ammar Nailun Najah.

Naskah ini menjadi bukti otentik warisan keilmuan dan spiritual beliau yang mendalam, terutama terkait amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang menjadi tradisi warga Nahdlatul Ulama (NU).

Bacaan Lainnya

Ditulis pada 16 Juli 1981, naskah ini kini telah berusia lebih dari 40 tahun. Meskipun usianya telah uzur, kondisi fisiknya masih sangat baik dan terjaga berkat perawatan dari cucu beliau, Abdul Rohman, yang kini menjadi pengasuh Ponpes Ammar Nailun Najah. Naskah ini terdiri dari 46 halaman yang ditulis dalam bahasa Arab menggunakan tinta hitam di atas kertas daluang—kertas tradisional yang dikenal kuat dan tahan lama.

Isi dari naskah tersebut mencakup amalan harian yang biasa dipraktikkan warga NU, seperti doa qunut dalam salat Subuh, tarawih 20 rakaat, talqin mayit, ziarah kubur, dan berbagai amalan lainnya. Semua praktik ini tidak hanya bersandar pada tradisi turun-temurun, tetapi diperkuat dengan dalil dari kitab-kitab klasik yang diakui di kalangan ulama empat mazhab. Hal ini menunjukkan bahwa amalan NU memiliki dasar yang kuat, baik secara spiritual maupun akademis.

Naskah ini terbagi menjadi dua bagian. Jilid pertama disajikan dalam bentuk syi’ir Jawa, semacam puisi atau tembang yang mudah dihafal dan sesuai dengan metode pembelajaran masyarakat desa pada masa itu. Sementara jilid kedua memuat penjelasan yang lebih mendalam mengenai prinsip-prinsip Aswaja beserta dalil-dalilnya.

Penulisan naskah ini dilatarbelakangi oleh banyaknya pertanyaan dari jamaah pengajian KH. Mudhoffar di berbagai daerah, seperti Margoyoso dan Porwogondo. Mereka ingin memahami secara lebih mendalam dasar dari amalan yang selama ini mereka jalankan. Oleh karena itu, Mbah Yai menulis naskah ini sebagai pedoman bagi para santri dan masyarakat umum.

Naskah ini juga dilengkapi dengan syarah atau komentar dari KH. Munawir Abdul Fatah, kakak ipar KH. Mudhoffar, yang semakin memperjelas isi kandungan naskah agar lebih mudah dipahami. Selain itu, KH. Ali Yafie Nur Ikhwan turut memberikan kata pengantar, menambah legitimasi dan nilai historis dari dokumen ini.

Dari sisi akademik, naskah ini telah sesuai dengan standar ilmiah karena mencantumkan referensi serta halaman dari berbagai kitab klasik, seperti I’anatuth Tholibin, Subulus Salam, al-Hawi lil Fatawa, Jami’ Ash-Shaghir, dan Fathul Wahhab.

Hal ini mencerminkan upaya KH. Mudhoffar agar masyarakat tidak hanya mengetahui hukum-hukum yang mereka praktikkan, tetapi juga mengenal sumber keilmuannya. Dengan demikian, naskah ini tidak hanya menjadi pedoman amaliah, melainkan juga media pendidikan keislaman yang berakar kuat pada khazanah ulama klasik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *