AI Dalam Perspektif Filsafat: Sebuah Upaya Mereduksi Daya Berpikir

Artificial Intellegence dalam perspektif filsafat: sebuah upaya mereduksi daya berpikir
Artificial Intellegence dalam perspektif filsafat: sebuah upaya mereduksi daya berpikir

Artificial Intelligence (AI) merupakan suatu aplikasi dan intruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan suatu hal yang dalam sudut pandang manusia adalah cerdas atau dapat dipahami sebagai sebuah studi tentang bagaimana membuat komputer dapat melakukan hal-hal yang pada saat ini dapat dilakukan lebih baik dari manusia. Ruang lingkup dan implementasi AI sangatlah luas termasuk juga didalamnya bidang pendidikan.

Kenyataan adanya kemajuan yang sangat pesat teknologi di satu pihak yang memberi kemudahan kepada umat manusia untuk menjalani kehidupannya. Menurut Abbas Hamami dan Koento Wibisono, pada saat pembangunan sedang digalakkan dengan dukungan ilmu pengengetahuan dan teknologi Filsafat sebagai Perisai untuk mewujudkan suatu masyarakat yang ideal, yakni masyarakat yang damai, sejahtera, adil dan makmur, baik materi maupun spritual, maka di saat itu pula berbagai masalah mendasar atau fundamental muncul yang harus dihadapi oleh umat manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pengaruh negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tadi.

Bacaan Lainnya

Filsafat menjadi acuan bagi kita untuk menelaah lebih dalam problematika artifisial manusia untuk menggantikan dan memudahkan manusia dalam melakukan sesuatu. Berbagai problematika yang menjadi konsekuensi bagi manusia dari pesatnya perkembangan teknologi terlebih khusus AI ialah manusia mengalienasi daya berpikirnya dan mereduksi hakikatnya sebagai makhluk berpikir yang berpikir menjadi makhluk berpikir yang tidak berpikir.

Pengertian Kecerdasan Buatan

Pada 1950-an, Alan Turing, seorang pionir AI dan ahli matematika Inggris melakukan percobaan. Turing (turing test) yaitu sebuah komputer melalui terminalnya ditempatkan pada jarak jauh. Di ujung yang satu ada terminal dengan software AI dan di ujung lain ada sebuah terminal dengan seorang operator. Operator   itu   tidak   mengetahui   kalau   di   ujung terminal lain dipasang software AI.

Mereka  berkomunikasi  di  mana  terminal  di ujung memberikan respon terhadap serangkaian pertanyaan   yang   diajukan   oleh   operator. Sang operator itu mengira bahwa ia sedang berkomunikasi dengan operator lainnya yang berada pada terminal lain. Turing beranggapan bahwa jika mesin dapat membuat seseorang percaya bahwa dirinya mampu berkomunikasi dengan orang lain, maka dapat dikatakan bahwa mesin tersebut cerdas (seperti layaknya manusia)[1].

AI merupakan suatu aplikasi dan intruksi yang terkait dengan pemrograman komputer untuk melakukan suatu hal yang dalam sudut pandang manusia adalah cerdas atau dapat dipahami sebagai sebuah studi tentang bagaimana membuat komputer dapat melakukan hal-hal yang pada saat ini dapat dilakukan lebih baik dari manusia. Ruang lingkup dan implementasi AI sangatlah luas termasuk juga didalamnya bidang pendidikan.

Kecerdasan buatan atau lebih di kenal sebagai AI, memiliki beberapa definisi, antara lain : (a) Menurut Kusumadewi (2003), “Kecerdasan buatan atau AI merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia”;

(b) Menurut Avron Barr dan Edward E. Feigenbaum (1982), AI adalah sebagian dari komputer sains yang mempelajari (dalam arti merancang) sistem komputer yang berintelegensi, yaitu sistem yang memiliki karakteristik berpikir seperti manusia; (c) Menurut Rich  dan  Knight  (1991)  kecerdasan  buatan merupakan sebuah studi tentang bagaimana membuat komputer melakukan hal-hal yang pada saat ini dapat dilakukan lebih baik oleh manusia. Dari beberapa definisi diatas maka kecerdasan buatan menawarkan media maupun uji teori tentang kecerdasan. Teori-teori ini nantinya dapat dinyatakan dalam bahasa pemrograman dan eksekusinya dapat dibuktikan pada computer nyata.

Layaknya manusia yang memiliki otak, komputer juga dapat memiliki perangkat lunak yang bekerja sebagai otak. Manusia dapat menyelesaikan berbagai masalah bukan hanya karena manusia memiliki  otak yang mampu menalar dan menganalisa, tapi manusia juga memiliki basis data, pengetahuan, kumpulan informasi, yang semuanya itu diperoleh dari pengalaman, dan belajar[2].

Kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan ke sistem yang dapat diatur dalam konteks ilmiah, juga dikenal sebagai intelegensiartifisial (Artificial Intelligence). Kecerdasan buatan dapat didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, belajar dari data ini, dan menggunakan pembelajaran ini untuk mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel. Sistem seperti itu umumnya dianggap komputer.

Komputer adalah alat untuk mengolah data menurut Kecerdasan dibuat dan dimasukkan ke dalam komputer sehingga berfungsi seperti manusia. Berbagai bidang yang menggunakan kecerdasan buatan antara lain sistem pakar, permainan komputer, logika fuzzy, jaringan syaraf tiruan, dan robotika. Secara teknis, kecerdasan buatan adalah model statistik yang digunakan untuk mengambil keputusan dengan menggeneralisasikan sifat-sifat objek berdasarkan database dan dipasang di berbagai perangkat elektronik[3].

Pengertian Filsafat

Pengertian filsafat secara etimologis

Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata majemuk Philosophia atau Philosophos.Kata tersebut terdiri dari dua kata yakni philos (philein) dan Sophia. Kata Philos berarti cinta (love), sedangkanSophia atau sophosberarti pengetahuan, kebenaran, hikmat atau kebijaksanaan (wisdom). Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta akan pengetahuan, kebenaran ayau kebijaksanaan. Makna cinta yang seluas-luasnya mengandung arti keinginan secara mendalam, atau bahkan kehausan luar biasa untuk mendapatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sampai keakar-akarnya atau pada taraf yang radikal. Suhartono (2005:50-51) kata cinta (Philos) dan kebijaksanaan (sophia) bisa bermakna secara terus-menerus menyatu dengan pengetahuan yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan guna mewujudkan kebijaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pengertian filsafat secara terminologis Pemahaman pengertian filsafat secara terminologis sangat beragam tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya. Contohnya pengertian filsafat secara terminologi dari Poedjawiatna (1982) yang mengemukakan filsafat adalah ilmu yang mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

Pengertian filsafat sebagai pandangan hidup Seseorang yang acap/bijaksana harus memiliki anutan atas suatu filsafat (Woodhouse, 2000). Hal ini berarti bahwa dia memiliki suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai yang meresapinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara guna mewujudkan tujuan hidup yang diidealkan.

Pemaknaan filsafat dapat diterima berkenaan filsafat sebagai hasil olah pikir yang kritis, interogatif, dan reflektif, memang berwujud ide, gagasan atau teori dalam konteks pemaknaan akan apa yang ada di kekinian, dikelampauan, dan sekaligus juga mimpi-mimpi masa depan. Gagasan ini dapat ditunjukan pada Pancasila yang menurut pendapat Ismail (1999) Pancasila adalah refleksi kritis para pendiri republik terhadap dinamika sejarah dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politis masyarakat Indonesia yang terjajah yang bercorak multikultural, tanpa mengabaikan gagasan lain yang berkembang pada lingkungan global, misalnya nasionalisme, kapialisme, sosialisme, marxisme, Islam, dll.

Pengertian filsafat sebagai ilmu Filsafat sebagai ilmu memiliki beberapa persyaratan antara lain dasar ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Menurut Prawironegoro (2010:19) ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis yang memberikan jawaban atas pertanyaan: (1) ontologi yakni “Apa” yang ingin diketahui, (2) epistimologi yakni “Bagaimana” cara memperoleh pengetahuan, dan (3) aksiologis yakni untuk apa “Kegunaan” dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia[4].

Peran Filsafat

Irmayanti  M  Budianto  pernah  mencatat  beberapa  peran  filsafat,  baik  dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:

pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas terdapat berbagai masalah yang dihadapinya, dan manusia diharapkan mampu untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah.

Kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.

Ketiga, filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.

Keempat, terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika berbagai kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu pengetahuan berikut para ilmuannya[5].

Implementasi Artificial Intelligence

AI merupakan buah dari teknologi yang telah banyak diadopsi di era industri 5.0 ini. AI mampu menghubungkan  setiap perangkat, hingga seseorang dapat mengotomatisasi semua perangkat tanpa harus berada di lokasi. Lebih dari itu, saat ini telah banyak mesin yang dapat menginterprestasi suatu kondisi atau kejadian tertentu dengan bantuan AI.

Salah satunya ialah ChatGpt. ChatGPT OpenAI merupakan teknologi mesin berbasis kecerdasan buatan yang dilatih untuk bisa menirukan percakapan manusia menggunakan teknologi NLP (Natural Language Processing). Pada kenyataannya ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu tulisan yang cukup ilmiah atau bahkan buku dengan prompt yang dirumuskan di awal dengan teknik yang baik dan efektif. Sehingga peluang inovasi menggunakan teknologi ini terbuka lebar untuk pendidikan di Indonesia, salah satunya dalam meningkatkan kemampuan menulis peserta didik di sekolah/kampus untuk meraih enam kompetensi yang dibutuhkan di Era Education 5.0.

A. Sejarah ChatGPT

ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) adalah model deep learning yang dikembangkan oleh OpenAI pada tahun 2018. ChatGPT dikembangkan sebagai model generatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan teks yang sesuai dengan konteks percakapan.

B. Prinsip kerja ChatGPT

ChatGPT menggunakan arsitektur Transformer yang dikenal sebagai model selfattention, Arsitektur ini memungkinkan ChatGPT untuk menangani percakapan yang kompleks dengan mengacu pada konteks percakapan sebelumnya. Selain itu, ChatGPT dilatih dengan data yang cukup besar sehingga mampu mengenali inten dan ekspektasi pengguna dengan baik.

C. Aplikasi ChatGPT

ChatGPT dapat digunakan dalam berbagai bidang, seperti layanan pelanggan, pembuatan konten, dan pengembangan aplikasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh OpenAI, ChatGPT digunakan dalam pembuatan konten otomatis dan menunjukkan hasil yang sangat baik dalam menghasilkan teks yang sesuai dengan konteks percakapan[6].

Gambar 1. Screenshot Respons ChatGPT Pertama Berupa Outline
Gambar 1. Screenshot respons ChatGPT pertama berupa outline (sumber gambar [7])

Upaya Mereduksi Daya Berpikir

Pada hakekatnya manusia merupakan homo rationale (makhluk rasional atau makhluk berakal budi). Dikatakan makhluk rasional karena hanya manusia yang memiliki akal budi dari semua makhluk ciptaan lainnya. Dengan akal budi, manusia dapat berpikir dan terus menggeluti dunia ini dengan berbagai macam cara untuk mencari sebab-akibat realitas dunia.

Perkembangan teknologi sering kali melupakan faktor kemanusiaanya, di mana  bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun juga justru sebaliknya manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang terkadang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya[8].

Padahal teknologi sebenarnya bertujuan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya, namun kelihatannya yang terjadi malah berbeda. Manusia kesulitan untuk meletakkan teknologi pada jalur tujuannya dengan benar. Manusia kelihatan bukan lagi pemilik dan pengguna teknologi, tapi hamba dari keduanya. Dewasa ini, ilmu  pengetahuan bahkan telah berada di ambang kemajuan yang mampu untuk mempengaruhi reproduksi dan penciptaan akal budi manusia sendiri.

Perkembangan teknologi dewasa ini sangatlah pesat. Para ahli telah menemukan banyak inovasi guna memudahkan dan mempercepat pekerjaan manusia. Salah satu inovasi tersebut ialah ChatGpt. Inovasi ini merupakan temuan terkini yang dapat mengerjakan segala hal terlebih khusus tugas-tugas ilmiah. Aplikasi ini dapat menulis baik artikel maupun buku dengan mudah dalam durasi waktu yang cukup singkat. Namun, beranjak dari inovasi teknologi ini, terdapat suatu benang merah yang dapat membuat manusia dininabobokan oleh akalnya sendiri.

Baca Juga: Penolakan Warga Katolik di Dusun Karet, Dalam Sudut Pandang Surah Al-Mumtahanah: 8

Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh manusia secara positif- konstruktif  maupun  secara  negatif-destruktif  tergantung  kepada  moral  dan  mental manusia yang berperan sebagai pencipta, pengembang, dan penggunanya. ilmu pengetahuan dan teknologi selalu terkait dengan pemilik dan pemakainya yakni manusia yang seringkali tidak mampu untuk mengendalikan nafsu serakahnya sendiri dalam artian moral.

Kemajuan teknologi yang pesat merongrong sikap dasar manusia “yang terbatas, mudah tergoda dan tak terlepas dari impuls-impuls kebinatangan.” Sikap dasar manusia ini menjadi lobang besar bagi masuknya mental instan untuk memanfaatkan teknologi ChatGpt sebagai akal dalam berpikir dan menemukan pengetahuan. Manusia hanya menjadi makhluk berpikir tanpa berpikir. Kegunaan akal budinya ditiadakan dan hanya berpatok pada artificial intelligence. Terdapat banyak bukti bahwa manusia lebih tertarik dengan ChatGpt daripada menggunakan akalnya untuk berpikir.

Manusia dewasa ini akan selalu mengandalkan AI untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah seperti artikel ilmiah, opini, paper dan lain sebagainya. Manusia pasti akan berpikir untuk apa mengerjakan tulisan yang sulit dan membutuhkan daya nalar yang ekstra? Lebih baik menggunakan AI yang mudah dan menjamin karya tulis tanpa plagiat. Manusia akan menjadi terbiasa menggunakan AI karena kemudahan dalam mengerjakan segala sesuatu.

Adapun, Manusia modern yang bermental ponyijah “pokoknya ijasah” akan selalu mengandalkan AI dalam merumuskan dan menemukan sesuatu. Manusia model ini sudah tak jarang ditemukan dalam kehidupan. Mereka adalah tubuhnya AI yang hidup dalam dunia dengan berakal prompt.

Kesimpulan

Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia untuk selalu berpikir agar dapat menemukan buah pikir atau pengetahuan sehingga dapat menjadi manusia yang berwawasan luas dan mampu menghadapi problematika kehidupan serta mampu untuk memecahkan masalah-masalah. berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul karena keinginannya.

Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan. Filsafat membina manusia untuk  menganalisis,  analisis  kritis secara komprehensif dan sistematis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya.

Baca Juga: Tidak Ada Kebebasan Non Muslim Dalam Beragama Ditengah Maraknya Bisnis Kos Khusus Muslim

AI menjadi pembunuh yang terus mencoba membunuh daya nalar manusia dan mereduksi manusia sebagai makhluk berpikir yang tak berpikir. Dari ilmu filsafat, dapat dengan jelas kita menemukan problematika konkret yang akan dihadapi manusia jika seutuhnya manusia menyandarkan diri pada tembok kecerdasan buatan.

Artikel sebaiknya dipelajari dan dipahami agar kita mengetahui bahaya dari AI yang menyembunyikan upaya untuk mereduksi daya berpikir dan kita senantiasa dapat memanfaatkan peran dari berkembangnya teknologi dewasa ini. Artikel ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya kritik dan saran kami haturkan agar makalah ini dapat lebih baik dan kami dapat mengevaluasi dalam dalam ranah perbaikan.


[1] M Sobron and Lubis, ‘Implementasi Artificial Intelligence Pada System Manufaktur Terpadu’, Seminar Nasional Teknik (SEMNASTEK) UISU, 4.1 (2021), 1–7 <https://jurnal.uisu.ac.id/index.php/semnastek/article/view/4134>.

[2] Luh Putu Ary Sri Tjahyanti and Dkk, ‘Peran Artificial Intelligence (Ai) Untuk Mendukung  Pembelajaran Di Masa Pandemi Covid-19’, Jurnal Komputerdan Teknologi Sains(KOMTEKS), 1.1 (2022), 1–7.

[3] Anggi Dwiyanto, ‘Potensi Dan Kekurangan Dari Adanya Robot Dengan AI (Artificial Intelligence)’, October, 2022, 1–4.

[4] Samuji, ‘Pengertian, Dasar-Dasar Dan Ciri-Ciri Filsafat’, Jurnal Pradigma, 13 No.1.April 2022 (2022), 1–16.

[5] M H TAMRIN, ‘Pengaruh Pemikiran Filsafat Terhadap Pola Pikir Dan Pola Hidup Manusia Di Era Globalisasi’, Academia.Edu <https://www.academia.edu/download/56308896/Pengaruh_Pemikiran_Filsafat_Terhadap_Pola_Pikir_Dan_Pola_Hidup_Manusia_di_Era_Globalisasi.pdf>.

[6] Adi Setiawan and Ulfah Khairiyah Luthfiyani, ‘Penggunaan ChatGPT Untuk Pendidikan Di Era Education 4.0: Usulan Inovasi Meningkatkan Keterampilan Menulis’, JURNAL PETISI (Pendidikan Teknologi Informasi), 4.1 (2023), 49–58 <https://doi.org/10.36232/jurnalpetisi.v4i1.3680>.

[7] Setiawan and Luthfiyani.

[8] TAMRIN.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *