Dampak Ekologis Proyek Perkebunan Sawit oleh PT. IAL di Wilayah Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan

Dampak ekologis proyek perkebunan sawit oleh PT. Indo Asiana Lestari (IAL) di wilayah Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan. (doc. pixabay.com)
Dampak ekologis proyek perkebunan sawit oleh PT. Indo Asiana Lestari (IAL) di wilayah Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan. (doc. pixabay.com)

Di Papua Selatan, terjadi perdebatan antara pemerintah yang memberikan izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) kepada PT. Indo Asiana Lestari (IAL) dan masyarakat adat Suku Awyu. Seharusnya, sebelum izin tersebut dikeluarkan, pemerintah perlu melakukan konsolidasi terlebih dahulu dengan Suku Awyu.

Namun, pada kenyataannya, Suku Awyu tidak mampu melakukan perlawanan terhadap PT. IAL, yang sudah melakukan intervensi di wilayah mereka untuk dijadikan lokasi proyek perkebunan sawit. Suku Awyu hanya meminta pemerintah untuk mencabut izin AMDAL tersebut, karena dikhawatirkan akan mengubah kondisi ekologis di wilayah mereka.

Bacaan Lainnya

Masyarakat hukum adat Papua juga telah melakukan protes terhadap pemberian izin AMDAL untuk proyek perkebunan sawit, atau yang dikenal sebagai Proyek Tanah Merah, yang akan dijalankan oleh PT. IAL. Suku Awyu berusaha mempertahankan wilayah adat yang akan diakuisisi oleh perusahaan, dengan luas mencapai lebih dari 39.000 hektar. Wilayah ini bukan hanya tempat tinggal manusia, tetapi juga habitat bagi berbagai makhluk hidup.

Proyek perkebunan sawit ini dilakukan tanpa persetujuan dari masyarakat adat setempat. Walaupun pemerintah telah memberikan izin AMDAL kepada PT. IAL, masyarakat adat masih sangat bergantung pada wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti tanah, air, dan tumbuhan yang semuanya bersumber dari hutan adat.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan serius keberadaan hutan tersebut yang dihuni oleh Suku Awyu, karena masyarakat adat sangat bergantung pada hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hutan adat tidak hanya berfungsi sebagai sumber daya alam, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat adat.

Lebih lanjut, Pasal 48 UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan tegas menjelaskan tentang sanksi terhadap pelanggaran dalam pengelolaan hutan. Dengan adanya rencana konversi lahan seluas lebih dari 39.000 hektar menjadi perkebunan sawit, jelas bahwa akan terjadi perubahan ekologis yang signifikan. Perubahan ini tidak hanya akan berdampak negatif pada lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat Suku Awyu yang menggantungkan hidup pada hutan adat.

Meskipun potensi dampak yang merugikan ini sudah jelas, pemerintah tetap memberikan izin AMDAL kepada PT. IAL. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa perusahaan belum melakukan negosiasi yang layak dengan masyarakat adat Suku Awyu. Proses negosiasi yang transparan dan inklusif sangat penting agar hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi, serta untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Di samping itu, Pasal 78 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap orang dan badan hukum berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Baca Juga: Pilar Ketersediaan Pangan: Fondasi Ketahanan Pangan Indonesia

Setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan harus melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pentingnya keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah tidak hanya mematuhi ketentuan perundang-undangan yang ada, tetapi juga mendengarkan suara dan aspirasi masyarakat adat. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam akan memperkuat prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial, serta melindungi keanekaragaman hayati yang merupakan aset berharga bagi bangsa.

Menurut pendapat saya, perlindungan hutan adat dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat hukum adat, seperti Suku Awyu. Meskipun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan, implementasinya di lapangan masih kurang optimal.

Baca Juga: Pemimpin Berkarakter Pancasila: Menjawab Tantangan Kepemimpinan Era Modern

Terutama dalam hal komunikasi dan negosiasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat setempat. Rencana konversi hutan menjadi perkebunan sawit tanpa melibatkan masyarakat adat dapat mengakibatkan dampak ekologis dan sosial yang merugikan.

Kepentingan yang mengancam suatu wilayah seharusnya diatasi melalui musyawarah antara kedua belah pihak tanpa adanya tekanan terhadap salah satu pihak. Pemerintah perlu mengkaji ulang dampak dari proyek yang berpotensi mengancam lingkungan hidup masyarakat adat. Terutama karena masyarakat adat masih berada di wilayah yang akan diakuisisi oleh PT. IAL untuk kepentingan komersial tanpa mempertimbangkan aspek sosial, hak asasi manusia, dan keberlanjutan masyarakat adat.

Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *