Krajan.id – Pada hakikatnya demokrasi di Indonesia harus diimplementasikan secara integral. Inilah yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia agar tercipta keadilan yang merata dalam segala aspek atau bidang kehidupan. Keadilan yang merata dalam segala aspek dan bidang kehidupan itu dapat dicapai, salah satunya dengan pemilihan umum yang merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi yang memungkinkan terbentuknya representasi masyarakat di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Kegiatan pemilihan umum yang berladaskan pada demokarsi ini pada hakikatnya bertujuan untuk mencari pemimpin yang berkualitas, baik yang akan menjabat di lembaga legislatif maupun eksekutif. Keterpilihan mereka sebagai pemimpin akan memberikan makna atau dampak bagi masyarakat, karena merekalah yang akan menjalankan tugas mengatur dan membuat kebijakan yang membawa keadilan dan kedaulatan.
Namun realitas yang terjadi saat ini menunujukan kondisi sebaliknya dari pengertian dan tujuan demokrasi. Di mana, Indonesia dewasa ini sedang diguncang oleh problematika politik klasik yakni politik dinasti. Hal secara jelas menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Problematika poltik dinasti ini telah disorot oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia sebagai tindakan yang melanggar etika negara Indonesia yang menganut prinsip demokrasi.
Seperti yang dilansir dari media Tribunnews sebagian besar mahasiswa menolak politik dinasti, dengan alasan yang beragam salah satu di antaranya adalah puluhan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menggelar aksi demo dengan membagikan koran bergambar wajah pelaku atau agen poltik dinasti. Alasan mereka adalah, pemerintah melihat politik dinasti sebagai sesuatu yang urgen, dengan bertolak dari putusan Makamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu yang secara jelas mengindikasikan politik dinasti. Singkatnya politik dinasti bagi mereka merusak wajah demokrasi Indonesia[1].
Perusakan wajah demokrasi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak yang tidak paham mengenai konsep demokrasi Indonesia. Indonesia sejatinya menganut paham demokrasi yang berasaskan pada Pancasila, yakni keputusan atau kebijakan dibuat melalui metode atau cara musyawarah dan mufakat. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa dalam membuat suatu keputusan ataupun suatu kebijakan perlu adanya diskursus antara pemerintah dan juga masyarakat. Aspirasi atau suara dari masyarakat merupakan suatu seruan yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah agar kebijakan atau keputusan yang dibuat tidak merugikan salah satu pihak, melaikan menciptakan kedaulatan bersama atau kebaikan bersama (bonum commune).
Oleh karena itu dalam penulisan karya tulis ini penulis berusaha melihat atau mengkaji problematika demokrasi di atas dari sudut pandang atau perpektif Thomas More dengan teorinya Konsep Utopia (pemerintahan yang ideal). Penulis dalam karya tulis ini berusaha merelevansikan konsep atau pemikiran Thomas More dengan situasi politik Negara republik Indonesia saat ini, Serta menguraikannya dengan jelas agar bisa membuka cakrawala berpikir masyarakat mengenai situasi poltik saat ini.
Dengan demikian penulis memberi judul “Konsep Utopia (Pemerintahan yang Ideal) Menurut Thomas More dan Relevansinya Bagi Demokrasi di Indonesia”. Penulis sadar bahwa karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna dan dengan rendah hati penulis menerima usul, saran serta kritik yang membangun dari para khalayak pembaca sekalian.
Biografi dan Pemikiran Thomas More
Thomas More adalah seorang tokoh yang mencerminkan kecemerlangan intelektual, keteguhan moral, dan pengabdian pada prinsip-prinsip yang diyakininya. Lahir pada tahun 1478 di London, Inggris, More dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai intelektual dan keagamaan. Pendidikan yang diterimanya di St. Anthony’s School dan Universitas Oxford membekali dirinya dengan fondasi yang kokoh dalam ilmu pengetahuan dan filsafat.
Setelah meniti karier hukum yang sukses, More memasuki dunia politik Inggris dan dengan cepat naik pangkat. Ia menjadi anggota parlemen dan kemudian mencapai puncak kariernya sebagai Lord Kanselir di bawah pemerintahan Raja Henry VIII. Namun, keberhasilannya dalam dunia politik tidak mengaburkan prinsip-prinsipnya yang teguh, terutama dalam hal keyakinan agama.
Pemikiran politik dan sosial More tercermin dalam karyanya yang paling terkenal, “Utopia.” Melalui karyanya ini, More menggambarkan masyarakat ideal di pulau fiktif bernama Utopia, di mana keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial menjadi landasan utamanya. Kritik sosial yang tajam terhadap ketidakadilan dan korupsi dalam masyarakat Inggris kontemporer juga menjadi ciri khas dari karya ini.
Keberanian More dalam mempertahankan prinsip-prinsipnya mencapai puncaknya ketika ia menolak mengakui klaim otoritas kepausan Raja Henry VIII atas Gereja di Inggris. More mengundurkan diri dari jabatan politiknya sebagai Lord Kanselir sebagai protes terhadap kebijakan raja yang bertentangan dengan keyakinan agamanya. Meskipun dihadapkan pada konsekuensi yang mengerikan, More tetap teguh pada prinsipnya. Kehidupan dan akhir tragis More sebagai martir mencerminkan komitmen yang tak tergoyahkan pada prinsip-prinsip moral dan agama.
Pada tahun 1535, More dihukum mati atas tuduhan pengkhianatan, namun keputusannya untuk mempertahankan kebenaran dan keyakinannya dalam menghadapi kematian membawa dampak yang mendalam bagi sejarah dan budaya. Pemikiran More tentang keadilan, kesetaraan, dan keadilan sosial tetap relevan hingga hari ini. Karya-karyanya memberikan inspirasi bagi banyak orang dalam mempertimbangkan struktur masyarakat yang lebih adil dan merata. Keberaniannya dalam menghadapi kekuasaan yang otoriter dan ketidakadilan sosial merupakan teladan yang menginspirasi generasi setelahnya. Dengan demikian, warisan Thomas More sebagai filsuf, politisi, dan martir tetap hidup dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pemikiran dan tindakan manusia[2]
Pengertian Utopia dan Demokrasi
Secara etimologi, kata utopia berasal dari kata ‘ou‘ dari bahasa Yunani, yang berarti ‘tidak‘, dan ‘topos‘ yang berarti ‘tempat‘ , dikatakan bahwa kata utopia secara spesifik menjelaskan tentang tempat imajiner atau negara dimana semuanya berjalan sempurna. Kata ini digagas untuk pertama kalinya oleh Sir Tomas More di tahun 1516, yang menceritakan tentang sebuah pulau imajiner dengan kesempurnaan sistem hukum, sosial, dan politik. Tahun 1610, istilah ini menjadi penyebutan untuk setiap tempat yang sempurna. Sejak dari konsepsi aslinya, utopia telah dipahami sebagai tempat yang kita hanya bisa bermimpi tentang realitas yang ideal. Dengan kata lain utopia dapat dikatakan sebagai sebutan tentang sebuah tempat, negara, atau kondisi yang ideal sempurna dalam hal kini telah berkembang menjadi kota kreatif [3].
Dalam “Utopia”, Thomas More mempresentasikan suatu gambaran masyarakat yang bebas dari kekacauan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan. Ia menggambarkan sebuah pulau bernama Utopia di mana penduduknya hidup dalam harmoni dan kesetaraan. Pemerintahan Utopia diatur secara demokratis, di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam pembuatan keputusan politik. Sistem ekonomi yang diusungnya bersifat kolektif, di mana harta benda dimiliki secara bersama-sama dan distribusinya dilakukan secara adil [4]. Selain itu, dalam Utopia, terdapat juga ketertiban sosial yang kuat, di mana kebebasan individu dijaga sejauh tidak mengganggu keharmonisan masyarakat secara keseluruhan.
Utopia menyajikan gagasan tentang masyarakat ideal yang terorganisir dengan baik, di mana keadilan dan kesejahteraan menjadi prioritas utama. Pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang dengan bijaksana dan adil dengan dengan pemimpin yang di pilih secara demokratis dan bertanggungjawab atas kepentingan rakyat[5]. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan dijalankan demi kepentingan rakyat.
Istilah demokrasi berasal daribahasa Yunani (demokratia) yang brarti “kekuasaan rakyat” yang dibentuk dari kata (demos) ‘rakyat’ dan (kratos/kratein) ‘kekuasaan’. Maka, demokrasi berarti adalah kuasa berada di tangan rakyat atau government by the people. 34 Negara yang menjalankan prinsip demokrasi sebagai roh dari sistem politiknya menunjukkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa di suatu negara setiap warga negara menghidupi semangat kebebasan dalam seluruh aspek kehidupan sosialnya[6]. Demokrasi dalam arti umum yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara sederhana, demokrasi yang dimaksud melibatkat segenap bangsa, baik yang tergabung dalam pemerintahan maupun warga biasa, kemudian peran rakyat diutamakan [7].
Realitas Demokrasi Indonesia saat ini
Situasi demokrasi Indonesia saat ini sedang dalam suatu fase yang tidak baik-baik saja. Di mana tatanan negara seakan tidak berjalan pada asas demokrasi melainkan pada asas mobokrasi, yang di dalamnya bukan untuk kepentingan rakyat melaikan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan menghalalkan segala cara demi mencapai suatu jabatan atau kedudukan tertentu. Hal ini dirancang sedimikian rupa dengan manipulasi politik bahkan sampai pada di ubahnya konstitusi. Politik dinasti dijadikan sebagai sarana untuk menjembatani Gibran untuk masuk dalam kontestasi pemilu tahun 2024 sebagai calon wakil presiden. Ini menunjukan bahwa Indonesia sedang di hadapkan pada legitimasi nilai-nilai dalam demokrasi [8].
Dalam perspektif politik tanah air dapat dinyatakan bahwa politik dinasti mnjadi tantangan bagi semua elemen politik karena berimplikasi pada terciptanya pemerintahan yang kurang berkualitas. Hal ini terjadi karena citra politik dinasti sangan kuat mengarah pada upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang kurang baik, seperti mengedepankan kekeluargaan, golongan, dan kekerabatan [9].
Familisme sebagai budaya politik merupakan ketergantungan yang terlalu besar terhadap ikatan keluarga, yang melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya. Familisme juga dapat dipahami sebagai new social order, yaitu dorongan psikologis bagi seseorang untuk mampu berkarir dalam maupun nepotisme merupakan salah satu varian dari budaya politik familisme [10]. Hal ini merupakan suatu manipulasi politik dari oknum-oknum ataupun kelompok-kelompok berkepentingan dengan menghalalkan segala cara demi mencapai sebuah jabatan atau kedudukan tertentu.
Relevansi Konsep Utopia (Pemerintahan yang Ideal) Bagi Demokrasi di Indonesia
Thomas More dalam karyanya tentang Utopia yang diterbitkan pada tahun 1516 merupakan karya fiksi yang yang menggambarkan tentang masyarakat ideal yang di atur secara berbeda. Utopia menyajikan tentang masyarakat ideal yang teorganisir dengan baik, di mana keadilan dan kesejahteraan menjadi prioritas utama. Pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang yang di atur dengan bijaksana dan adil dengan pemimpin yang dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab atas kepentingan rakyat. Maka konsep Utopia sangat relevan bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Oleh karena itu, konsep Utopia memberi gambaran menarik tentang praktik demokrasi yang benar dan bertanggungjawab demi kepentingan rakayat.
Saat melihat dinamika politik di Indonesia saat ini, konsep utopia seringkali bertentangan dengan realitas politik yang kompleks. Dinasti politik, di mana kekuasaan politik dan kendali pemerintahan diwariskan secara turun-temurun dalam satu keluarga atau lingkaran kekuasaan tertentu, menjadi salah satu tantangan besar dalam mencapai cita-cita utopia dalam konteks politik Indonesia. Berikut beberapa relevansi konsep utopia dengan dinasti politik di Indonesia
- Keadilan dan Kesetaraan: Dalam konsep utopia, semua individu dianggap setara di mata hukum dan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan. Namun, dalam dinasti politik, kekuasaan dan pengaruh seringkali terkonsentrasi di tangan kelompok atau keluarga tertentu, yang dapat menghasilkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan
- Partisipasi Politik: Utopia menggambarkan partisipasi politik yang aktif dan inklusif dari seluruh warga negara. Namun, dalam dinasti politik, terkadang terdapat hambatan bagi partisipasi politik yang bebas dan adil, karena kekuatan politik yang terkonsentrasi dalam kelompok tertentu dapat menghambat suara dan aspirasi masyarakat umum.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Konsep utopia menekankan transparansi dan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat. Namun, dalam dinasti politik, terdapat risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, karena koSSntrol yang kuat dari kelompok atau keluarga tertentu dapat menghalangi transparansi dan akuntabilitas yang memadai.
- Inovasi dan Pembaharuan: Utopia sering kali dihubungkan dengan inovasi dan pembaharuan yang terus-menerus dalam sistem politik dan sosial. Namun, dinasti politik cenderung mempertahankan status quo demi mempertahankan kekuasaan dan keuntungan kelompok atau keluarga tertentu, yang dapat menghambat kemajuan dan pembaharuan yang diperlukan untuk mencapai masyarakat yang lebih baik.
Dengan memahami konsep utopia dan mengevaluasi relevansinya terhadap dinasti politik di Indonesia, kita dapat melihat bahwa tantangan besar masih ada dalam menciptakan pemerintahan yang lebih ideal dan berkeadilan. Upaya untuk mengatasi dominasi dinasti politik dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan keadilan merupakan langkah-langkah penting dalam mengarahkan masyarakat Indonesia menuju cita-cita utopia politik.
KESIMPULAN
Dalam tulisan ini, telah dibahas konsep utopia yang dipresentasikan oleh Thomas More melalui karyanya yang terkenal, “Utopia”, serta relevansinya dengan situasi politik dan demokrasi di Indonesia. Konsep utopia menggambarkan masyarakat ideal di mana keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial menjadi landasan utamanya. Pemerintahan yang ideal dalam konsep utopia adalah pemerintahan yang diatur secara bijaksana dan adil, dengan pemimpin yang dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab atas kepentingan rakyat.
Namun, di Indonesia, realitas politik saat ini dipenuhi oleh tantangan politik dinasti yang mengancam prinsip-prinsip demokrasi. Politik dinasti, di mana kekuasaan politik dan kendali pemerintahan diwariskan secara turun-temurun dalam satu keluarga atau lingkaran kekuasaan tertentu, menjadi hambatan besar dalam mencapai cita-cita utopia politik. Dinasti politik cenderung menciptakan ketidakadilan, ketidaksetaraan, kurangnya partisipasi politik yang bebas, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Meskipun demikian, konsep utopia memberikan arahan yang penting bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan politik dinasti dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Dengan mengikuti prinsip-prinsip utopia, seperti keadilan, kesetaraan, partisipasi politik yang inklusif, transparansi, akuntabilitas, inovasi, dan pembaharuan, Indonesia dapat mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi dalam menciptakan pemerintahan yang lebih ideal dan berkeadilan.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi dominasi politik dinasti dan memperkuat fondasi demokrasi menjadi sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai cita-cita utopia politik. Melalui kesadaran akan prinsip-prinsip utopia dan komitmen untuk melaksanakannya dalam praktik politik, Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil, merata, dan demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rendy Rutama, ‘Puluhan Mahasiswa UNJ Gelar Aksi Tolak Politik Dinasti, Bagikan Koran Berwajah Prabowo’, Wartakota.Tribunnews.Com, 2024 <https://wartakota.tribunnews.com/2024/01/11/puluhan-mahasiswa-unj-gelar-aksi-tolak-politik-dinasti-bagikan-koran-berwajah-prabowo> [accessed 25 April 2024].
[2] Gerard Wegemer, ‘Thomas More’, Rabu 15 November 2023, 2023 <https://plato.stanford.edu/entries/thomas-more/> [accessed 26 April 2024].
[3] Tri Rahayu and others, ‘KOTA KREATIF : UTOPIA ATAUKAH DISTOPIA ? Pendahuluan Antara Mimpi , Imajinasi Dan Fantasi Sejenak Otak Yang Kelelahan . Ketika Yang Mampu Mampu Menerjemahkan Kompleksitas Realitas . Hasil Renungan Disana . Kota Kreatif Menjelma Dari Seringkali Konkret Jus’, pp. 3–15.
[4] Madung Gusti Otto, Filsafat Politik: Negara Dalam Bentangan Diskursus Filosofis, 1st edn (Yogyakarta: Penerbit LEDALERO, 2013).
[5] Rahayu and others.
[6] Romanus Piter and . Valentinus, ‘Konsep Kebebasan Menurut Jean-Jacques Rousseau Dan Relevansinya Bagi Demokrasi Indonesia Saat Ini (Sebuah Kajian Filosofis – Kritis)’, Forum, 50.1 (2021), 15–33 <https://doi.org/10.35312/forum.v50i1.364>.
[7] Tjaja Pater Doro Broery dkk, Pancasila Rumah Bersama (Jakarta: Libri PT BPK Gunung Mulia, 2017).
[8] Rendy Rutama, ‘Puluhan Mahasiswa UNJ Gelar Aksi Tolak Politik Dinasti, Bagikan Koran Berwajah Prabowo’.
[9] Agus Dedi, ‘Politik Dinasti Dalam Perspektif Demokrasi’, Moderat : Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 8.1 (2022), 92–101 <https://doi.org/10.25157/moderat.v8i1.2596>.
[10] Djoni Gunanto, ‘Tinjauan Kritis Politik Dinasti Di Indonesia’, Sawala : Jurnal Administrasi Negara, 8.2 (2020), 177–91 <https://doi.org/10.30656/sawala.v8i2.2844>.